Rindu yang menembus lapis-lapis langit itu, membelah biru
pada kelam senja lampau tak pernah sunyi meski hasrat mati—membeku.
Rindu yang terjepit diantara adzan dan iqomah itu telah
membaui basah sajadah berkawan sayup dengkur tetangga dibalik selimut yang
ditarik menutup dada.
Rindu sembunyi dibalik batu, seirama dengan riak hujan fajar
terakhir, menyusup diantara desah nafas pengais rezeki, membahana ditengah tawa
budak alas kaki lusuh. Yang dengannya itu ditaruhlah semangkuk harapan, untuk
tak lekang menyerap sajak.
Rindu menciptakan samudera pengharapan, untuk jarak yang
membunuh kilau kerendahan. Megahnya rindu menyerupai istana sultan dahulu.
Aku ingin mencintaiMu dengan benar, seperti jawaban di soal
ulangan sejarah. Tapi manusia tak ubahnya guru-guru yang enggan menyertakan
angka 10 dalam garis hitam raport seniku.
Akan kucoba merengkuhMu dengan benar-benar, seperti usahaku
menghapus angka enam di ujung kertas kimia yang tak tega untuk kuhadirkan di
pelupuk mata.
Kesepuluh jemari mungilku berjuang memelukMu dengan benar
lewat kalam yang didengungkan dalam kegelapan yang panjang, menyerupai tundukan
bulan pada bintang.
Rindulah aku....
Mengecup bibir diujung dzikir “lailahaillallah”
Bercinta dengan tatap yang berlinang “Astaghfirullah”
Aku beku—nanar—melepuh—horisonMu tak kuasa kusentuh
Dan kesemuanya itulah mengantarkan kedua tangan untuk tetap
menengadah, diulurkan-Nya sebuah jembatan memanjang dari seutas tali kebekuan
yang dibawahnya mengalir coklat dahaga. Kepada-Nya lah semua rindu bermuara.
Kupeluk langit, sebelum fajar beranjak menyekap hitam. Pada
langit yang sama, Adam dan Hawa dipertemukan, jumat—berjuta tahun silam.
Rindu mengotori jalanku padaMu, maafkan aku....