Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Kamis, 10 Juli 2014

Bahagia itu Lapang

Saya mencoba berpikir lapang. Mengikhlaskan bahwa apa yang Allah rencanakan memang yang terbaik. Ketika dia pergi dengan seribu kebisuan, tanpa pesan dan alasan hingga belakangan ini saya ketahui dia kembali bersama kebahagiaan masa lalunya, saya hanya bisa mengucap hamdalah berkali-kali. Iya alhamdulillah, kepergiannya membuat saya sadar dan tahu siapa yang pantas dipertahankan. Alhamdulillah, Allah telah membelalakkan mata saya bahwa sebenarnya dia memang tidak dipantaskan bersanding dengan saya. Dia bukan untuk saya. Ikhlaskan saja. Semua yang telah terjadi beberapa bulan terakhir dan semua kebodohan belakangan ini, memberikan saya banyak pelajaran tentang kehidupan. Intinya yaa, jangan jatuh ke lubang yang sama. 

Nah, setelah pelajaran berharga itu, setelah dia menjadi kenangan. Ada sosok yang kembali muncul perlahan. Saya sadar, secuil kenangan itu tidak benar-benar hilang dari ingatan saya. Kenangan kecil itu hanya terdesak di dalam sudut otak saya, kemudian setelah otak saya kembali lapang kenangan itu hadir mengingatkan dan menyadarkan bahwa kenangan kecil itulah yang pantas saya pertahankan. 

Gaes, lagi-lagi saya harus bilang. Semua yang sudah berlalu ikhlaskan saja. Kebahagiaan itu ga sempit. Jika dia pergi, sadar saja dia bukan yang terbaik untukmu. Karena yang terbaik tidak akan pergi gaes. Karena yang terbaik itu yang telah Allah tetapkan untukmu. Ketika saatnya tepat, yang terbaik akan menemui kita. Sekali lagi, untuk mengakhiri postingan ga penting saya ini. Bahagia itu lapang gaes!

Jumat, 04 Juli 2014

Pada Jumat Malam yang Panjang, Rindu itu Tercipta!

Rindu yang menembus lapis-lapis langit itu, membelah biru pada kelam senja lampau tak pernah sunyi meski hasrat mati—membeku.

Rindu yang terjepit diantara adzan dan iqomah itu telah membaui basah sajadah berkawan sayup dengkur tetangga dibalik selimut yang ditarik menutup dada.

Rindu sembunyi dibalik batu, seirama dengan riak hujan fajar terakhir, menyusup diantara desah nafas pengais rezeki, membahana ditengah tawa budak alas kaki lusuh. Yang dengannya itu ditaruhlah semangkuk harapan, untuk tak lekang menyerap sajak.

Rindu menciptakan samudera pengharapan, untuk jarak yang membunuh kilau kerendahan. Megahnya rindu menyerupai istana sultan dahulu.

Aku ingin mencintaiMu dengan benar, seperti jawaban di soal ulangan sejarah. Tapi manusia tak ubahnya guru-guru yang enggan menyertakan angka 10 dalam garis hitam raport seniku.

Akan kucoba merengkuhMu dengan benar-benar, seperti usahaku menghapus angka enam di ujung kertas kimia yang tak tega untuk kuhadirkan di pelupuk mata.

Kesepuluh jemari mungilku berjuang memelukMu dengan benar lewat kalam yang didengungkan dalam kegelapan yang panjang, menyerupai tundukan bulan pada bintang.

Rindulah aku....
Mengecup bibir diujung dzikir “lailahaillallah”
Bercinta dengan tatap yang berlinang “Astaghfirullah”
Aku beku—nanar—melepuh—horisonMu tak kuasa kusentuh 

Dan kesemuanya itulah mengantarkan kedua tangan untuk tetap menengadah, diulurkan-Nya sebuah jembatan memanjang dari seutas tali kebekuan yang dibawahnya mengalir coklat dahaga. Kepada-Nya lah semua rindu bermuara.

Kupeluk langit, sebelum fajar beranjak menyekap hitam. Pada langit yang sama, Adam dan Hawa dipertemukan, jumat—berjuta tahun silam.


Rindu mengotori jalanku padaMu, maafkan aku....