Rinduku terus bermetamorfosa
Menganyam kisah sedih
Dari puing kenangan
Di tubuhku
Sisa pelukanmu
kala itu
Pagi ini aku tidak menemukan Sri di
pasar. Biasanya ia nampak lalu lalang di dalam pasar. Hilir mudik mengangkat
karung-karung beras di warung Abah di ujung pasar, atau sekedar membantu
ibu-ibu yang keberatan membawa belanjaan. Ia lakukan apa saja, asal ada yang
bisa ia bantu pasti dengan cekatan Sri bertindak. Sri tak butuh uang banyak,
asal bisa mengisi perutnya itu sudah cukup. Sebab yang ia butuhkan saat ini,
hanyalah Tong. Harta berharga paling akhir dalam hidupnya. Sri sudah miskin,
sejak Tong pergi maka jelas makin miskin jiwa raganya. Kurasa Sri adalah
pemilik definisi kesedihan paling hakiki, tapi rupanya tidak sebab ia selalu punya
senyum saban pagi, setiap hari, meski batinnya merintih. Semenjak Tong
menghilang, fisik Sri menjadi lebih kuat walaupun kehilangan terus
menginjak-injak batinnya.
Pukul 09.00 pasar hampir sepi, tinggal beberapa
kios sembako yang masih terlihat
melayani pembeli. Pemilik Kios sayur, buah, dan ikan sudah bersiap meninggalkan
pasar. Dagangan mereka hampir habis, kalaupun ada beberapa sayuran nampak tidak
segar karena hampir siang. Kecuali warung nasi di pasar bagian depan, masih
ramai sampai menjelang ashar. Tapi Sri belum juga menampakkan batang hidungnya.
Mungkinkah Sri sakit? Massa rindu yang ia tampung mungkin terlalu berat. Tapi
bukankah fisik Sri sangat kuat? Pun ia tak pernah telat makan barang sehari
saja. Seberat apapun pilu yang ia tanggung masih mampu ia mengangkut beras
puluhan karung. Bu Balok, pemilik warung nasi juga bertanya-tanya mengapa Sri belum juga datang ke warungnya,
biasanya Sri tak pernah terlambat sarapan dan makan siang.
Hampir pukul 10 kulihat Sri dari
kejauhan, membawa beberapa kertas sambil mengusap peluh di dahinya. Matanya terlihat
sembab, masih ada bekas kesedihan di sana. Kuhampiri Sri, ia nampak sangat
kelelahan. Aku hendak bertanya namun urung kulakukan sebab kurasa Sri sedang
teramat sedih, bukan waktunya untuk bertanya macam-macam. “Sudah makan?” hanya
itu yang harus kutanyakan kepadanya saat ini, ia menggeleng. Kubantu Sri
berjalan, ketika sampai di depan warung aku hendak berteriak memesankan makanan
untuk Sri. Tapi rupanya Bu Balok sudah mengetahui kedatangan Sri yang tanpa
disuruh langsung mengambil piring dan menyiapkan menu sarapan untuk Sri. Setelah
sarapan Sri mengusap keringat di dahinya, sambal Bu Balok terlalu pedas tapi
cocok untuk membangkitkan semangat. “Nikmat”, katanya. Rupanya Sri sudah lebih
baik setelah makan. Bu Balok menghampiri kami yang duduk di dalam, tidak jauh
dari tempatnya memasak. Bu Balok yang sangat baik hati memperbolehkan kami
makan di dalam, tidak berdesakan dengan pembeli lain di bagian depan, “supaya
makannya lebih leluasa”, katanya kepada kami sebulan lalu. Aku dan Sri adalah
pembeli tetap Bu Balok setiap sarapan maka dari itu beliau memberi kami
keistimewaan.
Warung sudah agak sepi, setengah jam
lagi waktunya makan siang dan Bu Balok akan kembali kuwalahan melayani pembeli. Sesekali aku dan Sri membantu jika
sedang tidak ada pekerjaan. “Kau dari mana saja, Sri?”, tanya Bu Balok
tiba-tiba. Sri menghela napas, aku menanti jawabannya. “Ini, menempelkan
selebaran di tiang-tiang kesedihan,” katanya “barangkali ada yang baru saja
dari kota kemudian tidak sengaja bertemu Tong”. Aku menarik napas panjang,
sedih mendengar kalimat Sri. Ia masih saja keras hati, berusaha mencari
suaminya. Ternyata benar, Sri adalah definisi kesedihan yang hakiki. “Kok
sampai siang begini?”, Bu Balok bertanya lagi. “Iya, kutempelkan sampai ke
ujung kampung seberang. Semua orang harus tahu, kalau aku sangat kehilangan
Tong”. Aku hampir menangis melihat Sri, tapi tidak mungkin kulakukan itu. Aku hanya
diam menyaksikan kesedihan di balik wajah Sri.
Kemudian Sri bercerita, terlihat jelas
bahwa ia berusaha menyembunyikan air mata. Katanya, semalam ia memimpikan Tong
lagi. Ini sudah kali kesekian mimpi itu datang. Tapi Sri senang, sebab ia bisa
bertemu dengan kekasihnya itu walau hanya sebatas mimpi. Dua bulan sejak Tong
pergi, Sri tidur sendirian. Setiap hari sepulang dari pasar ia bersihkan
rumahnya dari kenangan-kenangan bersama Tong. Sore harinya ia pergi ke laut,
menghanyutkan surat yang ternyata tidak pernah sampai ke tengah laut. Pagi tadi
Sri memutuskan menempelkan selebaran itu setelah sebulan lalu dibuatnya. Ditempelkannya
pelan-pelan bersamaan dengan kenangan tentang Tong yang terus berlarian di
kepalanya. Kesedihan terus mengiringinya sampai ujung kampung sebrang. Sri kembali
ke kampungnya dengan tertatih-tatih. Disaksikan oleh orang-orang yang ikut
bersedih tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk membantunya. Tong benar-benar
pergi tanpa satu pesan apapun. Tidak ada seorangpun yang menangkap basah
kepergiannya. Jejaknya tidak sekalipun ditemui oleh seluruh warga kampung. Kepala
kampung sesekali mendatangi rumah Sri, untuk memastikan kesehatan Sri sekaligus
menanyakan perkembangan kabar Tong. Namun Sri selalu menyambutnya dengan isak
tangis. Jika sudah begitu tidak ada yang bisa dilakukan oleh kepala kampung,
selain pulang dan membiarkan Sri menikmati kesendiriannya. Di akhir ceritanya,
Sri menangis. Ditumpahkannya segala kesedihan yang selama ini ia pendam. Bu
Balok ikut menangis sambil mengaduk teh hangat untuk Sri. Suasana warung itu
berubah menjadi mendung.
Sudah dua bulan Sri kehilangan, selama
itu pula Sri berusaha menutup kesedihan. Tapi Sri tetaplah wanita berperasaan. Ia
tetap keberatan jika harus menanggung rindu yang massanya tiap hari bertambah. Kebahagiaan
yang ia bangun bertahun-tahun bersama Tong hilang begitu saja. Hidupnya kemudian
berantakan, hatinya tersiksa, pikirannya carut marut tapi ia tetap tegar. Besok
jika Tong belum juga datang dihadapan Sri, ia akan tetap sedih. Dan Sri akan
kembali mengulang rutinitasnya. Menyulam senyum setiap pagi, bekerja keras
hingga bercucuran keringat di pasar, petangnya ia kirimkan sajak-sajak
kerinduan kepada Tong yang ia hanyutkan di lautan, sayangnya ia tidak pernah
tahu bahwa sajak itu tidak pernah sampai. Sajak itu hanya berenang di bibir
pantai yang kemudian dipungut Amron dengan bulir air mata. Sri tidak pernah
sadar, diam-diam ada yang menginginkannya. Entah berapa lama kisah sedih ini terus berulang.