Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Senin, 21 Agustus 2017

PARAU #3

Rinduku terus bermetamorfosa
Menganyam kisah sedih
Dari puing kenangan
Di tubuhku
Sisa pelukanmu kala itu


Pagi ini aku tidak menemukan Sri di pasar. Biasanya ia nampak lalu lalang di dalam pasar. Hilir mudik mengangkat karung-karung beras di warung Abah di ujung pasar, atau sekedar membantu ibu-ibu yang keberatan membawa belanjaan. Ia lakukan apa saja, asal ada yang bisa ia bantu pasti dengan cekatan Sri bertindak. Sri tak butuh uang banyak, asal bisa mengisi perutnya itu sudah cukup. Sebab yang ia butuhkan saat ini, hanyalah Tong. Harta berharga paling akhir dalam hidupnya. Sri sudah miskin, sejak Tong pergi maka jelas makin miskin jiwa raganya. Kurasa Sri adalah pemilik definisi kesedihan paling hakiki, tapi rupanya tidak sebab ia selalu punya senyum saban pagi, setiap hari, meski batinnya merintih. Semenjak Tong menghilang, fisik Sri menjadi lebih kuat walaupun kehilangan terus menginjak-injak batinnya.

Pukul 09.00 pasar hampir sepi, tinggal beberapa kios sembako yang  masih terlihat melayani pembeli. Pemilik Kios sayur, buah, dan ikan sudah bersiap meninggalkan pasar. Dagangan mereka hampir habis, kalaupun ada beberapa sayuran nampak tidak segar karena hampir siang. Kecuali warung nasi di pasar bagian depan, masih ramai sampai menjelang ashar. Tapi Sri belum juga menampakkan batang hidungnya. Mungkinkah Sri sakit? Massa rindu yang ia tampung mungkin terlalu berat. Tapi bukankah fisik Sri sangat kuat? Pun ia tak pernah telat makan barang sehari saja. Seberat apapun pilu yang ia tanggung masih mampu ia mengangkut beras puluhan karung. Bu Balok, pemilik warung nasi juga bertanya-tanya  mengapa Sri belum juga datang ke warungnya, biasanya Sri tak pernah terlambat sarapan dan makan siang.

Hampir pukul 10 kulihat Sri dari kejauhan, membawa beberapa kertas sambil mengusap peluh di dahinya. Matanya terlihat sembab, masih ada bekas kesedihan di sana. Kuhampiri Sri, ia nampak sangat kelelahan. Aku hendak bertanya namun urung kulakukan sebab kurasa Sri sedang teramat sedih, bukan waktunya untuk bertanya macam-macam. “Sudah makan?” hanya itu yang harus kutanyakan kepadanya saat ini, ia menggeleng. Kubantu Sri berjalan, ketika sampai di depan warung aku hendak berteriak memesankan makanan untuk Sri. Tapi rupanya Bu Balok sudah mengetahui kedatangan Sri yang tanpa disuruh langsung mengambil piring dan menyiapkan menu sarapan untuk Sri. Setelah sarapan Sri mengusap keringat di dahinya, sambal Bu Balok terlalu pedas tapi cocok untuk membangkitkan semangat. “Nikmat”, katanya. Rupanya Sri sudah lebih baik setelah makan. Bu Balok menghampiri kami yang duduk di dalam, tidak jauh dari tempatnya memasak. Bu Balok yang sangat baik hati memperbolehkan kami makan di dalam, tidak berdesakan dengan pembeli lain di bagian depan, “supaya makannya lebih leluasa”, katanya kepada kami sebulan lalu. Aku dan Sri adalah pembeli tetap Bu Balok setiap sarapan maka dari itu beliau memberi kami keistimewaan.

Warung sudah agak sepi, setengah jam lagi waktunya makan siang dan Bu Balok akan kembali kuwalahan melayani pembeli. Sesekali aku dan Sri membantu jika sedang tidak ada pekerjaan. “Kau dari mana saja, Sri?”, tanya Bu Balok tiba-tiba. Sri menghela napas, aku menanti jawabannya. “Ini, menempelkan selebaran di tiang-tiang kesedihan,” katanya “barangkali ada yang baru saja dari kota kemudian tidak sengaja bertemu Tong”. Aku menarik napas panjang, sedih mendengar kalimat Sri. Ia masih saja keras hati, berusaha mencari suaminya. Ternyata benar, Sri adalah definisi kesedihan yang hakiki. “Kok sampai siang begini?”, Bu Balok bertanya lagi. “Iya, kutempelkan sampai ke ujung kampung seberang. Semua orang harus tahu, kalau aku sangat kehilangan Tong”. Aku hampir menangis melihat Sri, tapi tidak mungkin kulakukan itu. Aku hanya diam menyaksikan kesedihan di balik wajah Sri.

Kemudian Sri bercerita, terlihat jelas bahwa ia berusaha menyembunyikan air mata. Katanya, semalam ia memimpikan Tong lagi. Ini sudah kali kesekian mimpi itu datang. Tapi Sri senang, sebab ia bisa bertemu dengan kekasihnya itu walau hanya sebatas mimpi. Dua bulan sejak Tong pergi, Sri tidur sendirian. Setiap hari sepulang dari pasar ia bersihkan rumahnya dari kenangan-kenangan bersama Tong. Sore harinya ia pergi ke laut, menghanyutkan surat yang ternyata tidak pernah sampai ke tengah laut. Pagi tadi Sri memutuskan menempelkan selebaran itu setelah sebulan lalu dibuatnya. Ditempelkannya pelan-pelan bersamaan dengan kenangan tentang Tong yang terus berlarian di kepalanya. Kesedihan terus mengiringinya sampai ujung kampung sebrang. Sri kembali ke kampungnya dengan tertatih-tatih. Disaksikan oleh orang-orang yang ikut bersedih tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk membantunya. Tong benar-benar pergi tanpa satu pesan apapun. Tidak ada seorangpun yang menangkap basah kepergiannya. Jejaknya tidak sekalipun ditemui oleh seluruh warga kampung. Kepala kampung sesekali mendatangi rumah Sri, untuk memastikan kesehatan Sri sekaligus menanyakan perkembangan kabar Tong. Namun Sri selalu menyambutnya dengan isak tangis. Jika sudah begitu tidak ada yang bisa dilakukan oleh kepala kampung, selain pulang dan membiarkan Sri menikmati kesendiriannya. Di akhir ceritanya, Sri menangis. Ditumpahkannya segala kesedihan yang selama ini ia pendam. Bu Balok ikut menangis sambil mengaduk teh hangat untuk Sri. Suasana warung itu berubah menjadi mendung.

Sudah dua bulan Sri kehilangan, selama itu pula Sri berusaha menutup kesedihan. Tapi Sri tetaplah wanita berperasaan. Ia tetap keberatan jika harus menanggung rindu yang massanya tiap hari bertambah. Kebahagiaan yang ia bangun bertahun-tahun bersama Tong hilang begitu saja. Hidupnya kemudian berantakan, hatinya tersiksa, pikirannya carut marut tapi ia tetap tegar. Besok jika Tong belum juga datang dihadapan Sri, ia akan tetap sedih. Dan Sri akan kembali mengulang rutinitasnya. Menyulam senyum setiap pagi, bekerja keras hingga bercucuran keringat di pasar, petangnya ia kirimkan sajak-sajak kerinduan kepada Tong yang ia hanyutkan di lautan, sayangnya ia tidak pernah tahu bahwa sajak itu tidak pernah sampai. Sajak itu hanya berenang di bibir pantai yang kemudian dipungut Amron dengan bulir air mata. Sri tidak pernah sadar, diam-diam ada yang menginginkannya. Entah berapa lama kisah sedih ini  terus berulang.

Jumat, 18 Agustus 2017

TENTANG NOVEL TERLARIS GUBAHAN PIDI BAIQ

REVIEW BUKU Dilan (Dia adalah Dilanku Tahun 1990), Dilan (Dia adalah Dilanku Tahun 1991), Milea (Suara dari Dilan).

Sudah pernah baca buku karya Pidi Baiq ini? Setelah buku ini beredar di pasaran banyak sekali yang mengutip quotes-quotes atau petikan puisi Dilan untuk Milea, tokoh utama dalam novel ini. Dilan menjadi semakin terkenal ketika ternyata puisi-puisinya banyak membuat “baper” (bawa perasaan). Tahun ini gubahan Pidi Baiq yang kerap disapa “Ayah” oleh penggemarnya diangkat menjadi sebuah film, yang kabarnya akan ada 3 film ( satu buku satu film ). Film ini meskipun belum rilis sudah menjadi perbincangan di berbagai lini media massa, selain itu film yang disutradarai oleh Fajar Bustami ini menimbulkan pro kontra di kalangan penggemar Dilan dan Milea. Banyak yang tidak setuju tokoh Dilan diperankan oleh Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, personil boyband CJR dengan berbagai alasan. Namun banyak juga yang mendukung langkah Pidi Baiq dalam pemilihan pemeran film untuk tokoh dalam novel yang kini menjadi best seller. Pada tulisan kali ini, saya akan paparkan opini saya tentang buku Dilan (Dia adalah Dilanku Tahun 1990), Dilan (Dia adalah Dilanku Tahun 1991), Milea (Suara dari Dilan). Bagaimana pandangan saya tentang novel ini semoga tidak dianggap spoiler karena sedikit mengisahkan alur ceritanya. Selamat membaca!

TENTANG DILAN, DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990

 Novel Dilan ( Dia adalah Dilanku Tahun 1990 ) adalah karya pertama dari Ayah Pidi yang saya baca, sebelumnya saya sama sekali belum pernah membaca tulisannya baik di media sosial ataupun di buku yang lain. Ekspetasi saya tentang novel ini adalah tidak jauh dengan novel-novel karya Andrea Hirata atau Tere Liye, dengan gaya bahasa yang khas dan diksi yang kaya. Namun ternyata setelah membacanya novel ini benar-benar jauh dari ekspetasi saya. Pidi Baiq menuliskannya dengan bahasa yang sangat ringan dan mudah dipahami. Pembaca dibawa seolah-olah sedang membaca buku diary, dengan prolog yang dituliskan oleh tokoh utama itu sendiri, Milea. Kisah yang diangkat juga tidak jauh berbeda dengan kisah masa remaja kebanyakan, namun Pidi Baiq berhasil membuat saya sebagai pembacanya tidak bisa berhenti untuk terus membaca kelanjutan kisahnya. Novel ini berisi kisah cinta Milea dengan Dilan di masa SMA, Milea menceritakan semuanya dengan sangat rinci termasuk latar tempat, waktu, dan suasana dengan detail. Hal itu berhasil membawa saya seolah-olah berada di sana. Menyaksikan kisah itu berlangsung bahkan menjadi bagian dari mereka. Agak berlebihan mungkin bagi beberapa orang, namun saya selalu demikian setiap membaca sebuah karya, memposisikan diri saya menjadi bagian dari cerita itu. Hal yang saya senangi dari membaca novel dibandingkan dengan menonton film adalah ketika membaca imajinasi kita tidak dibatasi oleh apapun. Membaca memang melelahkan, karena bukan hanya mata yang bekerja tapi juga otak membayangkan situasi yang dikisahkan oleh penulis.


Di novel yang pertama ini, Milea menceritakan pertemuannya dengan Dilan juga menceritakan orang-orang yang ada di sekelilingnya mendukung kisah cinta mereka menjadi semakin unik dan seperti tidak ada duanya. Novel ini masih berisi kisah-kisah yang menyenangkan. Cara Dilan mendekati Milea yang unik. Kejutan-kejutan yang Dilan berikan sehingga membuat Milea senang. Hal-hal yang dilakukan Dilan membuat Milea semakin jatuh cintanya. Milea menemukan dunia baru dari Dilan. Keputusannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Beni kemudian dekat dengan Dilan merupakan keputusan yang benar untuk Milea saat itu. Keluarga Dilan sangat menerima Milea, pun sebaliknya keluarga Milea menerima kehadiran Dilan sebagai kekasih Milea.  

TENTANG DILAN, DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1991

Tidak berhenti di novel pertama, Milea melanjutkan kisahnya dengan Dilan di novel kedua. Di sini kisah-kisah sedih mulai bermunculan. Pertengkaran-pertengkaran Milea dengan Dilan, hingga akhirnya mereka harus berpisah. Milea mengakhiri hubungannya dengan Dilan ketika mengetahui Dilan kembali berulah dengan geng motornya. Menurut Milea itu merupakan peringatan keras yang pantas diberikan kepada Dilan supaya tidak melakukan kegiatan yang membahayakan keselamatannya. Rasa cinta Milea yang besar kepada Dilan membuat Milea melakukan segala cara untuk menghentikan Dilan dari kegiatan geng motornya. Ia mulai menciptakan peraturan-peraturan yang membatasi ruang gerak Dilan. Semua didasari kecemasan Milea terhadap keselamatan Dilan.

Sayangnya setelah diputuskan oleh Milea, Dilan tidak melakukan tindakan apapun. Ia sangat menghargai keputusan Milea, walaupun masih mencintai wanita cantik itu. Setelah putus, Milea dan Dilan hidup dalam kesalahpahaman. Mereka hidup dalam prasangka yang dibuat-buat sendiri. Saling menjauh karena saling menganggap sudah tidak menginginkan, namun ternyata semua prasangka itu adalah salah. Pada tahun itu komunikasi mereka hanya sebatas telepon, tidak seperti saat ini yang kehidupan orang lain bisa diketahui hanya dari media sosialnya. Setelah putus mereka menghentikan komunikasi mereka, Dilan tidak pernah lagi menelepon Milea, pun sebaliknya. Pernah sekali Dilan menelepon Milea, namun yang mengangkat adalah pembantu Milea. Dari percakapan itu Dilan mendapatkan informasi kurang lengkap yang memunculkan praduga salah. Sejak saat itu Dilan menghapus segala harapannya untuk dekat dengan Milea, walaupun sebenarnya masih ingin bersama.

Di novel ini Milea yang kerap disapa Lia menceritakan kehidupannya setelah putus dengan Dilan. Bertemu dengan kekasih barunya, datang ke pemakaman Ayah Dilan, hingga akhirnya Lia menikah dengan suaminya saat ini dan itu bukan Dilan. Saya sempat kecewa membaca akhir kisah ini. Ternyata kisah cinta Milea dan Dilan harus berakhir menyedihkan. Keduanya harus saling merelakan walaupun masih ingin saling memiliki.

TENTANG MILEA, SUARA DARI DILAN.  

Seperti yang tertera dalam judul “ Suara dari Dilan “, novel ketiga ini berisi cerita yang berasal dari Dilan. Isi ceritanya masih sama tentang hubungan Milea dan Dilan namun dari sudut pandang Dilan. Dari buku ini saya jadi tahu bahwa prasangka Milea yang diceritakan di dua buku sebelumnya adalah prasangka yang salah. Saya jadi mengetahui kebenaran-kebenaran baru yang diceritakan oleh Dilan. Saya jadi tahu bahwa Dilan telah berbuat banyak untuk Milea, ia telah mengurangi waktunya berkumpul dengan teman geng motornya untuk menemani Milea. Dilan dengan senang hati menerima aturan-aturan yang dibuat oleh Milea, bahkan ia sampai dikeluarkan dari sekolah karena membela Milea (sebenarnya ini karena Dilan baku hantam dengan Anhar, kawannya karena telah menampar Milea). Dilan juga menceritakan kehidupannya setelah putus dari Milea. Ia terus berusaha merelakan Milea untuk orang lain. Pada akhirnya Dilan menemukan pengganti Milea, walaupun sebenarnya ia masih ingin bersama Milea.

Saya sangat menyayangkan keputusan Milea yang gegabah, menurut saya. Ia dengan sangat cepat memutuskan Dilan hanya karena kecemasannya yang berlebihan. Menurut Milea itu adalah peringatan keras bagi Dilan agar meninggalkan geng motornya, namun tidak bagi Dilan. Dilan sangat menghargai keputusan Milea untuk berpisah. Bahkan ketika Bunda Dilan mempertemukan mereka berdua, Dilan sama sekali tidak berusaha untuk meminta Milea kembali. Saya juga kecewa dengan keputusan mereka yang terus hidup dalam praduga yang dibuat-buat sendiri tanpa mengetahui kebenarannya. Meskipun berakhir menyedihkan, kisah Dilan dan Milea mampu menginspirasi banyak orang.




Novel ini mengisahkan segala sesuatunya dengan sangat detail, dari situ kita tahu bahwa novel ini diangkat dari kisah nyata. Entah dengan tambahan beberapa kisah fiksi atau tidak novel Ayah Pidi benar-benar dikemas dengan apik. Banyak tanda tanya besar dari saya untuk novel ini. Setelah saya tahu bahwa Milea benar-benar ada apalagi terlibat dalam film yang saat ini sedang digarap, lalu saya jadi bertanya bagaimana perasaan suami Milea bahwa istrinya pernah teramat mencintai Dilan? Bagaimana perasaan suami Lia ketika kisah cinta istrinya dipublikasikan kemudian digandrungi oleh banyak orang? Lalu, siapa Dilan sebenarnya? Sosok Dilan asli sama sekali tidak pernah muncul ke media sosial. Pernah terbesit dalam pikiran saya bahwa Ayah Pidi Baiq adalah Dilan melihat dari gaya tulisannya di media sangat mirip dengan gaya tulisan Dilan di novel.

Saat membaca tiga novel itu terkesan bahwa karya tersebut ditulis langsung oleh Milea dan Dilan dari sudut pandang mereka masing-masing. Padahal jelas bahwa novel tersebut gubahan Pidi Baiq, artinya ditulis oleh Ayah Pidi Baiq dengan cerita yang bersumber dari Milea dan Dilan. Jadi, sampai novel ini selesai saya baca masih banyak pertanyaan saya yang belum terjawab.  Tapi terlepas dari itu semua kisah Dilan dan Milea mampu menginspirasi. Bahwa sesungguhnya cinta tak harus memaksa, Dilan juga bisa menyampaikan rasa sayangnya kepada Milea dengan berbagai cara unik. Dilan sangat menghargai Milea sebagai kekasihnya. Rasanya sedang banyak cewek yan pro Dilan, ingin punya sosok laki-laki seperti Dilan. Tapi saya tidak. Sebab saya sedikit kecewa dengan Dilan. Ia tidak melakukan apapun ketika Milea memutuskan hubungan mereka. Tidak berusaha menahan Milea, ia membiarkan Milea pergi, mereka berdua tidak berusaha menjelaskan apapun meski sebenarnya ingin. Dari Dilan dan Milea saya mendapat banyak pelajaran tentang saling menghargai dan menerima orang-orang di sekitar kita. Melihat sesuatu tidak dari satu sudut pandang saja, juga tentang bagaimana mengambil keputusan yang tidak terburu-buru.



Begitulah pandangan saya mengenai novel Ayah Pidi Baiq yang kata-katanya sedang banyak dikutip anak muda masa kini. Dilan dianggap sebagai laki-laki romantis yang digemari banyak wanita. Semua ingin Dilan. Tapi saya tidak. Karena Dilan sudah tua. Tahun 1990 saja dia sudah SMA, jadi ya terka sendiri sekarang usianya berapa. Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat J

Rabu, 16 Agustus 2017

FULLDAY SCHOOL? Mengapa tidak? (Cerita Saya Tentang Fullday School yang Menyenangkan)

Assalamualaikum, para pembaca! Tulisan saya kali ini agak berbeda dari  tulisan-tulisan sebelumnya. Lebih panjang juga dari tulisan saya yang lain. Seluruhnya berisi opini saya mengenai program Menteri Pendidikan yaitu Fullday School yang diterapkan sejak tahun ajaran baru Juli 2017. Tulisan ini tercetus melihat keluhan-keluhan adik-adik kelas, saudara, kerabat yang sedang menjalani Fullday School.

Program ini diterapkan berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy Nomor 23 tahun2017 tentang Hari Sekolah. Secara umum Permen (Peraturan Menteri) ini mengatur tentang sekolah 8 jam sehari selama 5 hari. (Untuk lebih lengkapnya bisa cek di internet ya teman-teman). Pada saat awal program ini diterapkan saya biasa saja melihat adik-adik yang mengeluh karena pulang terlalu sore, mungkin mereka belum terbiasa. Namun setelah sebulan program ini berjalan sepertinya keluhan ini belum habis juga. Nah saya mau bercerita tentang pengalaman saya dengan Fullday School selama di jenjang SMP dan SMA. Semoga bisa bermanfaat bagi yang membaca, lebih senang lagi kalau bisa menghilangkan keluhan adik-adik tentang Fullday School.

SAYA DAN FULLDAY SCHOOL 2010-2013

Saya menikmati program ini sejak tahun 2010. Tepatnya tahun ajaran 2010/2011 di MTsN Lumajang. Jadi saat itu ada 2 program di MTsN Lumajang, kelas Fullday dan kelas reguler. Nah untuk masuk kelas Fullday harus lolos tes tulis dan tes baca al-qur’an. Seingat saya waktu itu saya sudah diterima di MTsN Lumajang sebelum UN SD berlangsung, jadi sudah masuk SMP sebelum lulus SD kurang lebih begitulah. Nah bedanya kelas Fullday dan Reguler adalah, banyak sih perbedaannya, saya kupas beberapa saja ya.

Yang pertama dari biaya SPP, awal saya masuk itu Rp 110.000 kemudian terus naik sampai saya kelas 9 itu biayanya sebesar Rp 130.000. Nah, untuk kelas reguler saya kurang tahu berapa biayanya. Seingat saya sih Rp 30.000 atau Rp 50.000, duh saya benar-benar lupa soal ini (tolong dikoreksi jika ada yang tahu kebenarannya). Kedua, kelas Fullday berakhir sampai pukul 16.00 di hari senin-kamis, sedangkan kelas reguler pukul 13.30. Untuk hari jumat Fullday dan Reguler berakhir pukul 13.00 (setelah sholat jumat) dan hari sabtu pukul 10.00. Ketiga, kelas Fullday mendapatkan makan siang, les bahasa arab 2 hari dalam seminggu (bekerja sama dengan lembaga diniyah), les bahasa inggris 2 hari dalam seminggu (bekerja sama dengan salah satu bimbingan belajar bahasa inggris di Lumajang), dan pelajaran diniyah 4 hari dalam seminggu (bekerja sama dengan lembaga diniyah di Lumajang), sedangkan kelas reguler tidak mendapatkan itu. Gara-gara kelas diniyah ini saya jadi belajar mengeja kitab dan menulis huruf pego.  Selain itu juga mendapatkan sertifikat les bahasa inggris juga raport diniyah. Keempat, kelas Fullday mendapatkan outbound di sekitar kota Lumajang saat liburan semester 1, dan tadabur alam di luar kota Lumajang pada saat semester 2, sedangkan kelas reguler tidak. Kelima, saat itu Fullday hanya 2 kelas sedangkan reguler 5 kelas. Dan yang saya tahu sekarang kelas reguler sudah berkurang jauh, Fullday sudah sampai 4 kelas atau 5 kelas ya? Ditambah lagi kelas akselerasi (sekolahnya agak kilat, cuma 2 tahun).

Melihat keluhan adik-adik tentang Fullday School, saya jadi ingat saat SMP dulu. Berangkat sekolah pukul 06.15 dengan mengendarai sepeda pancal (bahasa indonesianya apa ya?), jarak tempuh rumah-sekolah sejauh 6km. Kemudian pulang pukul 16.00, biasanya sampai di rumah pukul 16.30. Hari Jumat walaupun pulangnya siang, biasanya masih ada kegiatan lain seperti pramuka dan organisasi yang mengharuskan tetap pulang sore bahkan kadang malam. Oh iya, di MTsN sholat dhuhur dan ashar berjamaah, jadi sampai rumah tidak perlu terburu-buru sholat ashar. Tinggal istirahat dan bersih diri menunggu maghrib. Bahkan waktu saya kelas 9 juga ada sholat dhuha berjamaah pukul 06.30 dan itu wajib (jadi berangkatnya lebih pagi), saya masih ingat yang terlambat sholat dhuha diberi sanksi sholat dhuha di lapangan sekolah. Belum lagi pada saat kelas 8 ditambah les di salah satu bimbingan belajar, jadi ibaratnya baru sampai rumah sudah berangkat lagi. Dan saya menikmati itu semua. Bahkan ada beberapa teman saya yang rumahnya jauh dari sekolah dengan jarak tempuh sampai 30 menit, mereka harus berangkat pagi-pagi sekali dan sampai di rumah menjelang malam. Hebatnya tidak ada teman-teman yang mengeluhkan kegiatan ini.

Keluhan kedua juga tentang tugas yang menumpuk, saya lupa bagaimana tugas-tugas saya waktu itu. Yang jelas saya juga tetap dapat tugas dan sepertinya tidak sedikit. Saya masih ingat harus menghafalkan hadits-hadits, nahwu sharaf, menghafal kosa kata dalam bahasa inggris dan bahasa arab, dan lain-lain. Semuanya menyenangkan saat itu, walaupun capek tapi menurut saya tidak ada yang harus diragukan dari Fullday School.

SAYA DAN FULLDAY SCHOOL 2013-2016

Setelah lulus dari MTsN Lumajang, saya menempuh jenjang selanjutnya di SMA Negeri 1 Lumajang. Tidak ada program Fullday di sekolah ini tapi saya tetap pulang sore bahkan malam. Kenapa? Karena banyaknya kegiatan termasuk organisasi, jadi ceritanya tetap Fullday School, dan saya menikmati itu semua. Pelajaran berakhir pukul 13.30 di hari senin-kamis, pukul 10.45 di hari Jumat, dan 11.30 di hari sabtu, namun saya masih sering pulang sore sekali. Ketika saya kelas 11, saat itu sedang gencar-gencarnya lomba PBL (Problem Based Learning) yang diadakan oleh Sampoerna Foundation saya semakin sering pulang sampai malam dengan aktivitas yang begitu padat. Capek? Iya. Sempat mengeluh tapi saya senang dengan kegiatan yang bikin pulang sore itu. Kelas 12 menjelang ujian, ada program intensif yang dimulai pukul 05.45 dengan tambahan les di sore hari sampai pukul 15.00, biasanya saya berangkat pukul 05.30 dan teman-teman yang rumahnya jauh dari sekolah harus berangkat lebih pagi dari itu. Semuanya saya nikmati dan sangat menyenangkan bagi saya.

SAYA DAN FULLDAY SCHOOL 2016-SEKARANG

Lulus dari SMA saya kuliah di Prodi D-IV Gizi Klinik Politeknik Negeri Jember. Kuliah tidak membuat jadwal saya lebih baik. Saya masih tetap Fullday, bahkan terkadang saya mendapat kelas pukul 07.00-20.00, sehari penuh. Di Politeknik tidak seperti Universitas, di sini semua jadwal diatur oleh lembaga, sedangkan di Universitas mahasiswa bisa mengatur jadwalnya sendiri. Belum lagi ditambah praktikum-praktikum yang lumayan bikin capek, tapi lagi-lagi saya menikmati dan semuanya menyenangkan.

Jadi tidak ada pengalaman buruk menurut saya tentang Fullday School seperti yang dikeluhkan banyak orang saat ini. Bagi saya tidak ada salahnya berlama-lama menuntut ilmu. Lelah? Iya. Jenuh? Iya. Tapi selama kita menjalaninya dengan ikhlas dan hati yang lapang, insyaAllah kita bisa melewati semuanya. Tidak ada yang buruk dari menuntut ilmu dengan acuan waktu selama 8 jam sehari, tidak ada yang buruk dari banyaknya tugas, karena dari banyaknya tugas itu sangat bermanfaat bagi saya sekarang. Saya jadi terbiasa mengerjakan tugas dan laporan yang lebih banyak dari itu ketika kuliah. Dengan Fullday School itu juga saya jadi tidak kaget ketika harus kuliah sehari penuh, bisa diistilahkan “lebih tahan banting” begitu. Apalagi kegiatan PBL oleh Sampoerna Foundation, itu benar-benar memupuk keberanian, tanggung jawab, dan rasa percaya diri saya. Semua kegiatan “pulang sore” sejak 2010 itu sangat bermanfaat bagi saya sekarang.

Begitulah cerita dan pendapat saya tentang Fullday School yang berjalan di beberapa sekolah saat ini. Percayalah adik-adik, semua kegiatan baik yang melelahkan itu akan bermanfaat bagi kalian kedepannya. Tidak ada salahnya menuntut ilmu lebih lama dalam sehari, semuanya pasti bermanfaat nantinya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk siapapun yang membacanya. Mohon maaf jika ada kesalahan atau ada pihak-pihak yang tersinggung. Terimakasih.


Wassalamualaikum Wr, Wb.