Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Senin, 10 Juli 2017

PARAU #2

Kecamuk
Ini aku diperdaya rindu
Terkapar
Ini tanganku kehilangan kamu
Menggelepar
Ini otakku alzheimer
Sunyi
Itu kamu berdiri tanpa aku

Untuk kesekian kali Sri menghanyutkan suratnya di tepi pantai. Membiarkan ombak menelan tiap sajak sedih dalam suratnya-yang ketika Sri pergi ombak membawa kembali suratnya ke tepi. Seorang nelayan diam-diam memperhatikan Sri dari balik batu besar. Ia hafal betul di tiap sepertiga senja, Sri datang mengapit gulungan rindu, menghanyutkannya dengan harapan sampai pada yang terkasih, Tong. Tapi Sri tak pernah tahu bahwa ombak selalu membawa suratnya kembali, kemudian dipungut oleh nelayan yang patah hati melihat pujaan hatinya sedang bersedih. Maka surat itu tak pernah sampai pada yang terkasih. Kisah ini tetap jadi sedih. Begitu rupanya, Sri bersikukuh mengirim surat. Nelayan itu tak pernah lelah menunggui Sri dibalik batu besar-kemudian memungut kembali surat Sri. Dengan hati sedih dibacanya surat pilu itu. Ia mati rasa, mati gaya, mati apa sajalah melihat pujaan hatinya begitu cinta pada yang telah tiada. Sedangkan ia adalah keberadaan yang tak pernah nampak di mata Sri.
Nelayan itu, yang belakangan kuketahui namanya adalah Amron, lelaki jangkung dengan usia sedikit lebih tua dari Sri mungkin, entahlah. Bisa saja wajahnya yang dirundung kesedihan berhari-hari itu disertai hatinya yang carut marut menambah jerat usia di kelopak matanya. Tapi ia nampak tetap muda, menurutku. Atau cinta yang menyala-nyala saban pagi itulah penyebabnya. Menciptakan gairah dan semangat, sehingga wajahnya tetap bercahaya meski luka menghujani hatinya. Rumahnya tak jauh dari pantai, tempat rindu Sri berlabuh dan muara kesedihan bagi jiwa yang sering kali menitipkan luka. Maka tubuh Sri saban senja adalah mata jendela bagi rumahnya, yang di depannya singgah dengan kokoh sebuah batu besar. Batu itu nampak tak sedikitpun terkikis, sebab ombak tak pernah sampai menghantamnya. Juga hujan asam tak pernah sekalipun rela jatuh ke desa miskin itu, sehingga tak ada alasan yang mengurangi besarnya batu tempat nelayan itu bersembunyi. Dari situ ia menyaksikan Sri, mengenang kekasihnya sambil berurai air mata. Kemudian ia menyaksikan dirinya sendiri yang lapar cinta tak punya kekuatan untuk jadi sandaran bagi pujaan hatinya, Sri. Kisah ini terlalu pilu untuk ia nikmati di tiap senja. Tapi ia terlalu rindu untuk tak menemukan Sri sehari saja. Setelah Sri pergi bersama air mata yang membekas di pipi, ia berlarian kecil memungut surat Sri. Lalu masuk ke dalam rumah, menutup pintu dan jendela memastikan tak ada siapapun mengetahuinya berenang-renang luka. Surat itu terlalu rahasia baginya untuk diketahui orang lain. Tapi ia lupa, pantai itu teramat sepi sebab tak ada lagi nelayan membangun rumah di sana.

Ikan-ikan di sana sudah lihai menghindari jala, atau mungkin malas kawin sehingga tak beranak pinak lagi. Musim sudah berganti, ikan-ikan bermigrasi. Laut itu seperti kehilangan nutrisi, ikan tak mudah lagi ditemui pasca seorang nelayan meledakkan bom besar-besaran di tengah laut, kemudian ikan-ikan mengambang, tergelepar dan ia merasa itu adalah prestasi terhebat. Didapatkannya ikan berkuintal-kuintal, seluruh nelayan berbondong membuka karung menyisipkan ribuan ikan di dek kapal. Mereka tidak pernah sadar bahwa itu adalah kekayaan terakhir bagi penghuni pantai kala itu. Seminggu berselang perlahan jumlah ikan berenang terus berkurang. Nelayan harus ke tengah laut, mendamaikan ombak buas yang siap kapanpun menelannya, terlalu beresiko merelakan nyawa hanya demi rupiah, demi perut anak istri yang meronta-ronta. Maka nelayan-nelayan memilih pergi mencari laut lain untuk dihabiskan lagi kekayaannya. Kecuali Amron begitu cinta pada gubuk beratap rumbia, tempat ia mencumbui segala kenangan. Maka santai saja meski seorang diri, ia tetap ke tengah laut mencari ikan dengan cara paling manusiawi. Jika tak ada ikan ia pergi ke pasar membersihkan apa saja, kemudian ia tukar peluhnya dengan sarapan atau makan siang. Hidupnya cukup sederhana, tak ada yang bisa dibanggakan di depan mata Sri. 

PARAU

Teruntuk yang terkasih, Tong.
Ini aku
Kau tinggalkan
Hempas bersama rindu
Hampa tanpa kamu


Hai Tong, apa kabar? Kau masih hidup atau sudah pindah alam? Hidung kau berubah jadi pesek kah? Kau masih suka jailin tukang sate yang lewat tengah malam di taman kota? Tong, kau masih suka menjelma jadi monyet pencuri pisang di ladang sebelah rumah? Ah, Tong aku masih dengan rindu yang sama sejak kau pergi. Pergi dari aku, pergi dari kita Tong. Sejauh ini kau masih saja bisu. Sejak kau pergi, aku jadi bodoh Tong. Hendak saja aku menampang fotomu dengan tulisan besar “DICARI”. Aku masih berantakan Tong. Kau bilang akan menitipkan rindu pada hujan. Haha kau jangan gila Tong, hujan saja tidak mampu membawa dirinya bagaimana hendak membawa rindu?. Setiap kali hujan datang dan mampir di teras rumah kita selalu kutanyakan adakah titipan rindu dari kekasihku, Tong? Mereka acuh saja Tong, lalu untuk apa kau menitipkan rindu pada yang acuh? Kau juga pernah bilang, senja bisa sekali membawakan rindu dalam jingganya. Sayangnya senja tak mau bicara Tong, lalu sia-sia kau titipkan rindu pada kebisuan. Tong, tolonglah berpikir panjang bila hendak menitipkan rindu. Jangan pergi seenak kau mau. Aku ini hanya hidup denganmu, tiba-tiba saja aromamu tak pernah menggelikan bulu hidungku. Tiba-tiba saja suaramu tak memenuhi gendang telingaku. Semuanya serba tiba-tiba Tong. Aku belum siap, bahkan tak akan pernah siap Tong. Sejak kau pergi aku miskin seketika, Tong. Bagaimana tidak? kamu kan kekayaanku satu-satunya. Untungnya aku masih bisa hidup meskipun setiap hari harus makan dengan rindu. Tong maumu itu apa? Menggeletakkan kebahagiaan yang sudah kita bangun mati-matian. Jangan bodoh Tong, sekalipun aku biasa bekerja keras mengangkat karung-karung beras di pasar tapi aku tak cukup kuat untuk membangun kebahagiaan dengan sendiri begini. Tak lucu lah Tong, rumah bahagia yang kita bangun itu baru separuh. Lalu kau biarkan saja begitu? Menganga, menerima hujatan-hujatan luka akibat kau tinggalkan. Sudah separuh, hampir roboh pula. Bangunan itu terlalu rapuh lah, Tong. Aku ini sudah miskin malah kau buat makin miskin. Bosan Tong setiap hari makan nasi berlauk rindu, sekali-kali lah kau pulang, mewarnai sarapanku hingga tak jadi sesunyi ini. Kau kemana, Tong? Mulutmu itu kau museumkan kah? Pergi tak bilang-bilang, belum ada persiapanku untuk kesepian begini.  Tong, aku lelah menangisi kesendirian ini saban hari. Remuklah aku, Tong, kau titipi kenangan yang menyeret-nyeret langkahku untuk tetap tinggal di sini. Pulanglah Tong, pintu rumah kita selalu menganga, siap menelanmu dengan berbagai rupa kerinduan yang mahal. Bayar semua kesalahanmu Tong, cumbui rinduku. Jangan kau pasung aku begini, hidup dalam ketidakpastian tanpa matamu dan sumpah serapahmu yang romantis. Jangan sadis Tong, cepatlah pulang. Sebelum rumah kita usang, dan aku tergeletak didalamnya lalu kukuburkan diriku sendiri dalam gundukan kenangan yang kau ciptakan. Pulang Tong, Pulang!


*Tulisan ini diposting ulang dengan sedikit perubahan*

Catatan penulis : Terimakasih untuk yang sudah berkenan membaca. Akan sangat bahagia jika Anda berkenan meninggalkan saran dan komentar :)