Kecamuk
Ini aku diperdaya rindu
Terkapar
Ini tanganku kehilangan kamu
Menggelepar
Ini otakku alzheimer
Sunyi
Itu kamu berdiri tanpa
aku
Untuk kesekian kali Sri
menghanyutkan suratnya di tepi pantai. Membiarkan ombak menelan tiap sajak
sedih dalam suratnya-yang ketika Sri pergi ombak membawa kembali suratnya ke
tepi. Seorang nelayan diam-diam memperhatikan Sri dari balik batu besar. Ia
hafal betul di tiap sepertiga senja, Sri datang mengapit gulungan rindu,
menghanyutkannya dengan harapan sampai pada yang terkasih, Tong. Tapi Sri tak
pernah tahu bahwa ombak selalu membawa suratnya kembali, kemudian dipungut oleh
nelayan yang patah hati melihat pujaan hatinya sedang bersedih. Maka surat itu
tak pernah sampai pada yang terkasih. Kisah ini tetap jadi sedih. Begitu
rupanya, Sri bersikukuh mengirim surat. Nelayan itu tak pernah lelah menunggui
Sri dibalik batu besar-kemudian memungut kembali surat Sri. Dengan hati sedih
dibacanya surat pilu itu. Ia mati rasa, mati gaya, mati apa sajalah melihat
pujaan hatinya begitu cinta pada yang telah tiada. Sedangkan ia adalah
keberadaan yang tak pernah nampak di mata Sri.
Nelayan itu, yang
belakangan kuketahui namanya adalah Amron, lelaki jangkung dengan usia sedikit
lebih tua dari Sri mungkin, entahlah. Bisa saja wajahnya yang dirundung
kesedihan berhari-hari itu disertai hatinya yang carut marut menambah jerat
usia di kelopak matanya. Tapi ia nampak tetap muda, menurutku. Atau cinta yang
menyala-nyala saban pagi itulah penyebabnya. Menciptakan gairah dan semangat,
sehingga wajahnya tetap bercahaya meski luka menghujani hatinya. Rumahnya tak
jauh dari pantai, tempat rindu Sri berlabuh dan muara kesedihan bagi jiwa yang
sering kali menitipkan luka. Maka tubuh Sri saban senja adalah mata jendela
bagi rumahnya, yang di depannya singgah dengan kokoh sebuah batu besar. Batu
itu nampak tak sedikitpun terkikis, sebab ombak tak pernah sampai
menghantamnya. Juga hujan asam tak pernah sekalipun rela jatuh ke desa miskin
itu, sehingga tak ada alasan yang mengurangi besarnya batu tempat nelayan itu
bersembunyi. Dari situ ia menyaksikan Sri, mengenang kekasihnya sambil berurai
air mata. Kemudian ia menyaksikan dirinya sendiri yang lapar cinta tak punya
kekuatan untuk jadi sandaran bagi pujaan hatinya, Sri. Kisah ini terlalu pilu
untuk ia nikmati di tiap senja. Tapi ia terlalu rindu untuk tak menemukan Sri
sehari saja. Setelah Sri pergi bersama air mata yang membekas di pipi, ia
berlarian kecil memungut surat Sri. Lalu masuk ke dalam rumah, menutup pintu
dan jendela memastikan tak ada siapapun mengetahuinya berenang-renang luka.
Surat itu terlalu rahasia baginya untuk diketahui orang lain. Tapi ia lupa,
pantai itu teramat sepi sebab tak ada lagi nelayan membangun rumah di sana.
Ikan-ikan di sana sudah
lihai menghindari jala, atau mungkin malas kawin sehingga tak beranak pinak
lagi. Musim sudah berganti, ikan-ikan bermigrasi. Laut itu seperti kehilangan
nutrisi, ikan tak mudah lagi ditemui pasca seorang nelayan meledakkan bom
besar-besaran di tengah laut, kemudian ikan-ikan mengambang, tergelepar dan ia
merasa itu adalah prestasi terhebat. Didapatkannya ikan berkuintal-kuintal,
seluruh nelayan berbondong membuka karung menyisipkan ribuan ikan di dek kapal.
Mereka tidak pernah sadar bahwa itu adalah kekayaan terakhir bagi penghuni
pantai kala itu. Seminggu berselang perlahan jumlah ikan berenang terus
berkurang. Nelayan harus ke tengah laut, mendamaikan ombak buas yang siap
kapanpun menelannya, terlalu beresiko merelakan nyawa hanya demi rupiah, demi
perut anak istri yang meronta-ronta. Maka nelayan-nelayan memilih pergi mencari
laut lain untuk dihabiskan lagi kekayaannya. Kecuali Amron begitu cinta pada
gubuk beratap rumbia, tempat ia mencumbui segala kenangan. Maka santai saja
meski seorang diri, ia tetap ke tengah laut mencari ikan dengan cara paling
manusiawi. Jika tak ada ikan ia pergi ke pasar membersihkan apa saja, kemudian
ia tukar peluhnya dengan sarapan atau makan siang. Hidupnya cukup sederhana,
tak ada yang bisa dibanggakan di depan mata Sri.