4 tahun 7 bulan setelah kita berpisah
Pagi itu aku
sedang menggendong anak pertamaku yang baru saja berumur seminggu. Matanya sayu
seperti mata ayahnya. Ayahnya mengambil bagian 70% di wajah anakku, sisanya
adalah bagianku. Menurutku ia tampan–bukan karena ia anakku, tapi kurasa ia
mewarisi ketampanan Ayahnya hampir seratus persen. Sejak aku tahu bahwa akan
punya anak lelaki, aku selalu berdoa ia menjadi lelaki yang bertanggung jawab
dengan apa yang diucapkannya. Ayahnya ingin dia jadi jagoan, menolong orang
banyak. Bagiku itu berlebihan, cukup tidak menyakiti orang lain saja, terutama
kedua orangtuanya sendiri.
Setiap hari
kubacakan ia ayat-ayat suci. Kuberi nasihat dan kalimat-kalimat baik. Agar ia
pandai bersikap baik kepada orang lain. Tujuh hari lalu ia keluar dari tubuhku
dengan ejanan terkuat yang bisa kubuat. Ia telah melewati labirin gelap melihat
cahaya dan ayah ibunya. Menanggalkan segala kenyamanan lelap di rahimku untuk
kemudian menikmati kerasnya dunia. Hiruk pikuk manusia yang sibuk melukai. Ia
menangis kencang pun demikian denganku. Aku hampir kehabisan tenaga tapi
tangisannya menguatkanku, seperti aspirin. Kemudian ia adalah candu bagi
hidupku, setelah suamiku. Kala itu, telah kudeklarasikan diriku lepas dari
patah hati terhebat. Lepas dari semua kenangan tentangmu yang beriak sesekali di
ingatanku.
3 tahun 3 bulan setelah kita
berpisah
Dengan mantap
ia menjabat tangan ayahku. Kata “Sah” beriringan terucap. Aku telah mengambil
langkah baru untuk melenyapkan kenangan tentangmu. Setahun belakangan ia
berusaha merajut hatiku kembali, meyakinkan orang tuaku. Hingga kemudian aku
berkata bahwa hatiku siap untuk ia tempati. Suamiku sudah bekerja, ia kuliah
dengan sungguh-sungguh tidak sepertimu. Aku dengar dari Nanda – sahabatku, kau
baru menyelesaikan studimu setahun setelah aku wisuda, bukankah dulu kau pernah
berjanji akan wisuda bersama? Haha rupanya kau menikmati hari-hari tanpa
tekanan dariku. Bukankah kau senang hidup tanpa celotehku lagi?
2 tahun 50 hari setelah kita berpisah
Malam itu dua
orang menarik paksa laptopku ketika aku berjalan sendirian menuju kampus. Sebenarnya tanpa paksaan, karena gerakan
mereka cukup lembut dan sangat cepat. Hanya dalam waktu 5 detik laptopku raib,
kemudian di detik keenam kudapati kakiku gemetar. Aku terduduk lemas, beberapa orang yang
menyadari hal itu berteriak dan mengejar dua orang jahat itu. Tapi lari mereka
terlalu cepat untuk dikejar, orang-orang itu kembali dengan tangan kosong dan
tatapan iba. Aku masih tidak berkata apapun ketika orang-orang disekelilingku
menepuki pundakku dan memberi ucapan
bela sungkawa. Sebagian dari mereka adalah teman kuliahku, dibantunya aku
berdiri dan ditemani kembali ke rumah kost. Aku masih saja gemetar dan tidak
mengucapkan apapun. Setelah setengah jam dalam kebisuan, Nanda – sahabatku
memeluk tubuhku dan selanjutnya aku tenggelam di pelukannya, aku menangis sejadinya.
Kembaliku berduka. Aku kehilangan lagi.
Dua minggu
setelah kehilangan laptop, Nanda menemaniku membeli laptop baru. Beruntung
selama bekerja aku pandai menyimpan uang, tabunganku cukup. Selepas itu aku
menyadari, mungkin laptop yang hilang adalah cara Tuhan membantuku melupamu.
Setiap shubuh aku berdoa diberi cara terbaik untuk lepas dari belenggu
tentangmu, dan ini jawabannya. Dua orang itu tak hanya membawa lari laptopku
tapi beserta kenangan tentangmu di dalamnya. Tidak ada lagi kesempatan bagiku
melihat sisa kebahagiaan kita. Sudah lenyap semuanya. Kenangan yang tersisa
hanya yang bersembunyi di girus-girus otakku, atau pada hatiku dengan
penggal-penggal cintamu akibat kau patahkan.
1 tahun 1 hari setelah kita berpisah
Aku wisuda.
Kalimatmu kala itu benar, lambat laun
aku akan terbiasa tanpamu. Kamu benar, tanpamu aku akan tetap bisa
menyelesaikan studiku. Meski hati-hati yang patah itu masih kugenggam erat. Kuganti
air mata akibat kehilanganmu itu dengan kesuksesan satu persatu. Aku belajar
lebih keras dari apapun sebab suatu hari kau harus menyesali keputusanmu pergi
dariku. Aku tidak lagi mendengar kabarmu, sekalipun tidak. Aku berusaha tak
acuh, menutup semua akses menujumu, tidak satupun.
Tidak ada luka yang sehat, ia tetap melahirkan sekat. Termasuk egoku yang tinggi untuk melupamu sama sekali. Kamu harus tahu aku sedang berusaha keras menyembuhkan lukaku. 366 hari aku menata hati. Menyiapkan jalan untuk kepergianmu.
150 hari setelah kita berpisah
Mama masih
sering menanyakanmu ketika meneleponku yang kemudian menyiramkan hujan-hujan di
hati. Aku kembali berduka atas kepergianmu. Barangkali kau tahu aku adalah
gadis yang cukup berani pergi kemanapun sendirian, tapi aku tidak cukup kuat
kehilanganmu. Semua pertanyaan Mama
tentangmu kujawab dengan kebohongan. Betapa pengecutnya aku! Tepat 150 hari setelah kehilanganmu, Mama
meneleponku. Seperti biasa menceritakan kenakalan adik dan tingkah nenek yang
marah-marah di depan televisi, tidak terima dengan jalan cerita sinetron
kesayangannya. Mungkin Nenek punya bakat terpendam menjadi sutradara, karena
kisah apapun yang ia tonton selalu kurang sesuai baginya. Ia punya jalan cerita
sendiri – yang menurutnya lebih pantas diangkat menjadi sinetron. Oiya, Mama
juga bercerita tentang menu barunya di
restoran yang ternyata disukai banyak orang. Aku berhasil meyakinkan Mama
setelah 10 kali mencoba menu barunya di rumah. Bahasan terakhir kami adalah
pertanyaan Mama tentangmu, aku menarik napas panjang. Membiarkan hujan-hujan
itu memasuki rongga paruku. Merasakan diorama jantungku tak beraturan. Sudah
saatnya aku menyelesaikan kebohonganku. “Ma, aku sudah putus.” Akhirnya setelah
aku terdiam cukup lama di telepon. “Iya, Mama sudah tahu.” itu saja jawabannya,
kemudian Ia mengakhiri percakapan kami.
30 hari setelah kita berpisah
Aku masih
sangat ingat bagaimana Nanda dengan mata merah merobek semua fotomu – foto kita
di dinding. Kala itu aku hampir kehabisan tenaga karena menangis seharian,
Nanda masuk kamarku mendapatiku dengan rambut acak-acakan dan mata sembab sisa
menangis seharian. Tanpa izin apapun ia menghancurkan semua tentang kita dengan
harapan kenangan yang tergantung di sana ikut robek dan hancur. Aku hanya diam
memeluk guling menyaksikan Nanda beringas.
“ Ayo buka mulut, makan! Mau
berapa lama kamu seperti ini? Laki-laki macam dia itu tidak perlu ditangisi.
Masa depan tidak jelas, tidak berpenghasilan, tidak serius kuliah, mau jadi apa
kamu kalau dengan dia! ” Nanda terus saja berbicara dan aku masih diam tak
mengindahkan usahanya.
“ Ayo makan! Sudah bagus dia itu
meninggalkan kamu. Sudah diberi perempuan baik begini masih ditinggalkan. Tidak
mau mensyukuri hidup. “
Lelah memaksaku makan, Nanda
mencari usaha lain. Ia ambil boneka di sampingku, boneka itu juga menyimpan
kenangan. Dilemparnya boneka itu ke luar. Entah ke mana jatuhnya, tak
dipedulikannya. Belakangan ini ku tahu boneka itu dipungut tetangga rumah
kostku dulu untuk kado anaknya yang berulang tahun – atas pengakuannya beberapa
hari lalu ketika aku berkunjung ke sana bersama suamiku.
7 hari setelah kita berpisah
Aku bangun
dengan mata sembab. Air mataku kering. Teman-temanku terus berbela sungkawa
atas hatiku. Kurasai usaha mereka membuatku tersenyum. Tapi hatiku masih
terpatah-patah, aku berjuang keras menata serpihannya. Masih tidak bisa aku menerima alasanmu untuk
pergi. Dari semua pertengkaran kita yang tak berujung, pergi bukanlah satu
solusi terbaik. Bagaimana mungkin kamu berhenti mencinta seketika, hanya dalam
waktu beberapa detik saja? Kemudian kamu memilih menghentikan semuanya.
Menyelesaikan kita. Menyakiti aku. Aku selalu siap menjadikanmu yang terakhir,
tapi rupanya kamu masih butuh yang selain aku. Kala itu kau menyalahkan jarak
dan keadaan yang tidak bersahabat, tapi aku sepenuhnya menaruh kesalahan itu
padamu atas selesainya kita. Aku telah sepakat dengan hatiku bahwa yang paling
bersalah atas patah hati terhebat ini adalah kamu. Kalau saja kamu lebih kuat
merindu, kalau saja kamu masih mencintaiku, kalau saja gadis itu tidak
memalingkanmu dariku, kalau saja kamu memercayai isi hatimu yang butuh aku,
kalau saja kamu tidak egois, kalau saja.
Sayangnya segala kalau dan andaiku hanyalah aku yang ingin, pada akhirnya kamu tidak pernah benar-benar menginginkanku.
******************************************************************
Aku-Amelia. Bukan Milea. Aku
tidak melewati perpisahan dramatis dengan Dilanku. Milea-Dilan berpisah kemudian
tetap saling menginginkan–walau tidak bisa. Tapi aku, Amelia berpisah karena
telah tidak diinginkan, mari kita garisbawahi tidak diinginkan. Setelah
tidak denganmu aku melewati hari patah hati terhebat. Meski demikian caramu
pergi itu tidak cukup menyelesaikan hidupku. Aku terus berderma dengan
perasaanku agar tetap bungah. Ada waktu tiga tahun lebih untuk berislah dengan
kepahitan. Aku menikah, tapi kamu tidak. Setelah lepas dari hubungan kita yang
katamu mengikat itu, kudengar kau beberapa kali berganti pasangan. Mereka
benar, kau belum cukup dewasa untuk tetap denganku.
Aku selalu belajar banyak hal
darimu kecuali tentang kehilangan. Kamu menguatkanku termasuk kepergianmu.
Sekalipun aku tidak pernah siap untuk patah hati ini, tapi tak kubiarkan hatiku
membusuk dalam kesedihan. Kini, aku telah selesai dari lara yang kau bangun
untukku. Bagaimana harimu tanpa aku? Semoga bahagia seperti yang kau mau dulu.
Kita telah rembas–habis sama sekali.