Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Jumat, 02 Februari 2018

Hari-hari Setelah Perpisahan

4 tahun 7 bulan setelah kita berpisah

Pagi itu aku sedang menggendong anak pertamaku yang baru saja berumur seminggu. Matanya sayu seperti mata ayahnya. Ayahnya mengambil bagian 70% di wajah anakku, sisanya adalah bagianku. Menurutku ia tampan–bukan karena ia anakku, tapi kurasa ia mewarisi ketampanan Ayahnya hampir seratus persen. Sejak aku tahu bahwa akan punya anak lelaki, aku selalu berdoa ia menjadi lelaki yang bertanggung jawab dengan apa yang diucapkannya. Ayahnya ingin dia jadi jagoan, menolong orang banyak. Bagiku itu berlebihan, cukup tidak menyakiti orang lain saja, terutama kedua orangtuanya sendiri.

Setiap hari kubacakan ia ayat-ayat suci. Kuberi nasihat dan kalimat-kalimat baik. Agar ia pandai bersikap baik kepada orang lain. Tujuh hari lalu ia keluar dari tubuhku dengan ejanan terkuat yang bisa kubuat. Ia telah melewati labirin gelap melihat cahaya dan ayah ibunya. Menanggalkan segala kenyamanan lelap di rahimku untuk kemudian menikmati kerasnya dunia. Hiruk pikuk manusia yang sibuk melukai. Ia menangis kencang pun demikian denganku. Aku hampir kehabisan tenaga tapi tangisannya menguatkanku, seperti aspirin. Kemudian ia adalah candu bagi hidupku, setelah suamiku. Kala itu, telah kudeklarasikan diriku lepas dari patah hati terhebat. Lepas dari semua kenangan tentangmu yang beriak sesekali di ingatanku.

3 tahun 3 bulan  setelah kita berpisah
                
Dengan mantap ia menjabat tangan ayahku. Kata “Sah” beriringan terucap. Aku telah mengambil langkah baru untuk melenyapkan kenangan tentangmu. Setahun belakangan ia berusaha merajut hatiku kembali, meyakinkan orang tuaku. Hingga kemudian aku berkata bahwa hatiku siap untuk ia tempati. Suamiku sudah bekerja, ia kuliah dengan sungguh-sungguh tidak sepertimu. Aku dengar dari Nanda – sahabatku, kau baru menyelesaikan studimu setahun setelah aku wisuda, bukankah dulu kau pernah berjanji akan wisuda bersama? Haha rupanya kau menikmati hari-hari tanpa tekanan dariku. Bukankah kau senang hidup tanpa celotehku lagi?

2 tahun 50 hari setelah kita berpisah

Malam itu dua orang menarik paksa laptopku ketika aku berjalan sendirian menuju kampus.  Sebenarnya tanpa paksaan, karena gerakan mereka cukup lembut dan sangat cepat. Hanya dalam waktu 5 detik laptopku raib, kemudian di detik keenam kudapati kakiku gemetar.  Aku terduduk lemas, beberapa orang yang menyadari hal itu berteriak dan mengejar dua orang jahat itu. Tapi lari mereka terlalu cepat untuk dikejar, orang-orang itu kembali dengan tangan kosong dan tatapan iba. Aku masih tidak berkata apapun ketika orang-orang disekelilingku menepuki pundakku dan memberi  ucapan bela sungkawa. Sebagian dari mereka adalah teman kuliahku, dibantunya aku berdiri dan ditemani kembali ke rumah kost. Aku masih saja gemetar dan tidak mengucapkan apapun. Setelah setengah jam dalam kebisuan, Nanda – sahabatku memeluk tubuhku dan selanjutnya aku tenggelam di pelukannya, aku menangis sejadinya. Kembaliku berduka. Aku kehilangan lagi.

Dua minggu setelah kehilangan laptop, Nanda menemaniku membeli laptop baru. Beruntung selama bekerja aku pandai menyimpan uang, tabunganku cukup. Selepas itu aku menyadari, mungkin laptop yang hilang adalah cara Tuhan membantuku melupamu. Setiap shubuh aku berdoa diberi cara terbaik untuk lepas dari belenggu tentangmu, dan ini jawabannya. Dua orang itu tak hanya membawa lari laptopku tapi beserta kenangan tentangmu di dalamnya. Tidak ada lagi kesempatan bagiku melihat sisa kebahagiaan kita. Sudah lenyap semuanya. Kenangan yang tersisa hanya yang bersembunyi di girus-girus otakku, atau pada hatiku dengan penggal-penggal cintamu akibat kau patahkan.

1 tahun 1 hari setelah kita berpisah
           
Aku wisuda. Kalimatmu kala itu benar,  lambat laun aku akan terbiasa tanpamu. Kamu benar, tanpamu aku akan tetap bisa menyelesaikan studiku. Meski hati-hati yang patah itu masih kugenggam erat. Kuganti air mata akibat kehilanganmu itu dengan kesuksesan satu persatu. Aku belajar lebih keras dari apapun sebab suatu hari kau harus menyesali keputusanmu pergi dariku. Aku tidak lagi mendengar kabarmu, sekalipun tidak. Aku berusaha tak acuh, menutup semua akses menujumu, tidak satupun. 

Tidak ada luka yang sehat, ia tetap melahirkan sekat. Termasuk egoku yang tinggi untuk melupamu sama sekali. Kamu harus tahu aku sedang berusaha keras menyembuhkan lukaku. 366 hari aku menata hati. Menyiapkan jalan untuk kepergianmu.

150 hari setelah kita berpisah

Mama masih sering menanyakanmu ketika meneleponku yang kemudian menyiramkan hujan-hujan di hati. Aku kembali berduka atas kepergianmu. Barangkali kau tahu aku adalah gadis yang cukup berani pergi kemanapun sendirian, tapi aku tidak cukup kuat kehilanganmu.  Semua pertanyaan Mama tentangmu kujawab dengan kebohongan. Betapa pengecutnya aku!  Tepat 150 hari setelah kehilanganmu, Mama meneleponku. Seperti biasa menceritakan kenakalan adik dan tingkah nenek yang marah-marah di depan televisi, tidak terima dengan jalan cerita sinetron kesayangannya. Mungkin Nenek punya bakat terpendam menjadi sutradara, karena kisah apapun yang ia tonton selalu kurang sesuai baginya. Ia punya jalan cerita sendiri – yang menurutnya lebih pantas diangkat menjadi sinetron. Oiya, Mama juga bercerita tentang  menu barunya di restoran yang ternyata disukai banyak orang. Aku berhasil meyakinkan Mama setelah 10 kali mencoba menu barunya di rumah. Bahasan terakhir kami adalah pertanyaan Mama tentangmu, aku menarik napas panjang. Membiarkan hujan-hujan itu memasuki rongga paruku. Merasakan diorama jantungku tak beraturan. Sudah saatnya aku menyelesaikan kebohonganku. “Ma, aku sudah putus.” Akhirnya setelah aku terdiam cukup lama di telepon. “Iya, Mama sudah tahu.” itu saja jawabannya, kemudian Ia mengakhiri percakapan kami.

30 hari setelah kita berpisah

Aku masih sangat ingat bagaimana Nanda dengan mata merah merobek semua fotomu – foto kita di dinding. Kala itu aku hampir kehabisan tenaga karena menangis seharian, Nanda masuk kamarku mendapatiku dengan rambut acak-acakan dan mata sembab sisa menangis seharian. Tanpa izin apapun ia menghancurkan semua tentang kita dengan harapan kenangan yang tergantung di sana ikut robek dan hancur. Aku hanya diam memeluk guling menyaksikan Nanda beringas.

“ Ayo buka mulut, makan! Mau berapa lama kamu seperti ini? Laki-laki macam dia itu tidak perlu ditangisi. Masa depan tidak jelas, tidak berpenghasilan, tidak serius kuliah, mau jadi apa kamu kalau dengan dia! ” Nanda terus saja berbicara dan aku masih diam tak mengindahkan usahanya.

“ Ayo makan! Sudah bagus dia itu meninggalkan kamu. Sudah diberi perempuan baik begini masih ditinggalkan. Tidak mau mensyukuri hidup. “
Lelah memaksaku makan, Nanda mencari usaha lain. Ia ambil boneka di sampingku, boneka itu juga menyimpan kenangan. Dilemparnya boneka itu ke luar. Entah ke mana jatuhnya, tak dipedulikannya. Belakangan ini ku tahu boneka itu dipungut tetangga rumah kostku dulu untuk kado anaknya yang berulang tahun – atas pengakuannya beberapa hari lalu ketika aku berkunjung ke sana bersama suamiku.

7 hari setelah kita berpisah

Aku bangun dengan mata sembab. Air mataku kering. Teman-temanku terus berbela sungkawa atas hatiku. Kurasai usaha mereka membuatku tersenyum. Tapi hatiku masih terpatah-patah, aku berjuang keras menata serpihannya.  Masih tidak bisa aku menerima alasanmu untuk pergi. Dari semua pertengkaran kita yang tak berujung, pergi bukanlah satu solusi terbaik. Bagaimana mungkin kamu berhenti mencinta seketika, hanya dalam waktu beberapa detik saja? Kemudian kamu memilih menghentikan semuanya. Menyelesaikan kita. Menyakiti aku. Aku selalu siap menjadikanmu yang terakhir, tapi rupanya kamu masih butuh yang selain aku. Kala itu kau menyalahkan jarak dan keadaan yang tidak bersahabat, tapi aku sepenuhnya menaruh kesalahan itu padamu atas selesainya kita. Aku telah sepakat dengan hatiku bahwa yang paling bersalah atas patah hati terhebat ini adalah kamu. Kalau saja kamu lebih kuat merindu, kalau saja kamu masih mencintaiku, kalau saja gadis itu tidak memalingkanmu dariku, kalau saja kamu memercayai isi hatimu yang butuh aku, kalau saja kamu tidak egois, kalau saja.

Sayangnya segala kalau dan andaiku hanyalah aku yang ingin, pada akhirnya kamu tidak pernah benar-benar menginginkanku.

******************************************************************

Aku-Amelia. Bukan Milea. Aku tidak melewati perpisahan dramatis dengan Dilanku. Milea-Dilan berpisah kemudian tetap saling menginginkan–walau tidak bisa. Tapi aku, Amelia berpisah karena telah tidak diinginkan, mari kita garisbawahi tidak diinginkan. Setelah tidak denganmu aku melewati hari patah hati terhebat. Meski demikian caramu pergi itu tidak cukup menyelesaikan hidupku. Aku terus berderma dengan perasaanku agar tetap bungah. Ada waktu tiga tahun lebih untuk berislah dengan kepahitan. Aku menikah, tapi kamu tidak. Setelah lepas dari hubungan kita yang katamu mengikat itu, kudengar kau beberapa kali berganti pasangan. Mereka benar, kau belum cukup dewasa untuk tetap denganku. 


Aku selalu belajar banyak hal darimu kecuali tentang kehilangan. Kamu menguatkanku termasuk kepergianmu. Sekalipun aku tidak pernah siap untuk patah hati ini, tapi tak kubiarkan hatiku membusuk dalam kesedihan. Kini, aku telah selesai dari lara yang kau bangun untukku. Bagaimana harimu tanpa aku? Semoga bahagia seperti yang kau mau dulu. 

Kita telah rembas–habis sama sekali.