Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Minggu, 11 Februari 2024

Asbabun Nuzul Nayanika

 Sejak SMA kami (saya dan suami) memang suka sekali merangkai nama anak, agaknya terlalu visioner ya. Yakin aja dulu berjodoh hehe. Sebenarnya ya buat seru-seruan aja sih. Tapi selalu berubah-ubah. Tergantung apa yang sedang kita baca atau sedang tren saat itu, kalau sekarang mah istilahnya tergantung fyp hahaha. Kadang bahasa arab, bahasa jawa, nama karakter wayang, tokoh-tokoh mahabarata, bahasa itali, inggris, segala macem deh. Sampai kita punya 4 pasang nama yang panjang, semua kata pingin masuk hehehe. Kayaknya kalau bisa, nama anakku kubuat 20 kata deh (maruk banget ya wak)


Ketika menikah, makin semangatlah kita mencari nama anak walaupun ya belum nampak juga itu tanda-tanda punya anaknya kapan. Gas aja terus cari nama. Sebab menurut kami, nama anak ini krusial. Kami ingin dia (anak kami) bangga dengan namanya selayaknya kami bangga dengan nama pemberian orang tua kami. Dua tahun pernikahan akhirnya yang dinanti tiba. Di awal kehamilan sudah siap ini nama anak kami meski belum tahu jenis kelaminnya apa. Jadi ketika nanti dia lahir entah laki-laki atau perempuan tinggal tulis saja nama yang sudah kami patenkan, hehehe


Sampai akhirnya di tengah-tengah kehamilan yang mulai tenang, suami tiba-tiba berubah pikiran. “Yang, nama anak kita full bahasa indonesia aja. Pake ejaan yang baik dan benar supaya mengurangi risiko salah tulis dan dia juga ga kesulitan nulis namanya” celetuk suami tiba-tiba. Bagaimana responku? Mendengar alasannya tentu aku sangat setuju. Mengingat, seringkali aku emosi karena orang yang salah menuliskan namaku atau nama suamiku padahal nama kami juga ya tidak terlalu sulit penulisannya. “Yaaa boleeehh, tapi kamu ya yang cari” begitu aku menanggapinya.

Sudah cukup aku saban hari pusing, tiap pagi mual muntah masih disuruh juga memusingkan nama anak yang sebelumnya sudah paten. Aku hanya menitipkan nama panggilannya tidak boleh berubah. Tetap “AYA”. Supaya dia tidak kesulitan menyebutkan namanya sejak kecil, juga mudah menuliskan namanya sendiri ketika ia mulai belajar membaca atau menulis. 

Sejak hari itu, pagi siang malam kerjaan suamiku hanya cari nama anak. Susahnya lagi harus mencari dua nama, sebab belum tahu jenis kelamin anak kami karena umur kehamilan yang masih cukup muda.


Hingga entah dimana ia ditemukan, disepakatilah nama “Nayanika”. Apakah masalah sudah usai? Belum. Karena kami sepakat harus ada akronim nama kami berdua, maka harus dicari kata berbahasa indonesia yang bisa menaungi nama kami berdua jika disingkat. Pusinglah terus suamiku tiap hari, tapi dia senang saja. Hingga muncul nama AKSARA. Dipilih karena ia bisa digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Banyak memang syaratnya untuk nama anak kami ini, kami jugalah yang bikin syarat-syarat itu sendiri. Menciptakan kesulitan itu sendiri, tapi ya kami senang saja begitu.


Sudah dapat dua nama, untuk anak laki-laki dan perempuan. Tapi perjalanan belum usai. Ketika akhirnya dari beberapa kali usg hasilnya tetap perempuan, kami mulai fokus mencari nama tengah. Ngga sih, cuma suamiku yang cari. Aku hanya bagian setuju atau tidaknya aja, hehe. Nama tengah ini menjadi sangat sulit karena harus mewakili syarat-syarat nama yang belum terpenuhi. Ribet emang ya pasangan satu ini, menyulitkan hidupnya sendiri. Karena adek hpl-nya di bulan ramadhan jadi nama tengah ini harus mengandung unsur bulan ramadhan. Kebetulan juga sama dengan bulan lahir baba (suami saya) yaitu ramadhan dan sama dengan bulan lahir saya yaitu bulan April. Tadinya ingin juga mengandung unsur ke-april-an tapi kok makin ribet, jadi yasudah minimal unsur ramadhan ini bisa masuk.


Sebelumnya kami sudah sepakat dengan kata “Shauma” berasal dari kata “shaum” dalam bahasa arab yang artinya puasa. Tentunya nama itu sudah tidak bisa dipilih lagi karena bukan bahasa indonesia. Nama akhir suami adalah ramadhan, semua mbah-mbah dan saudara mengira pasti namanya “ramadhani” begitu. Tapi, apakah suami saya mau? Tentu tidak. Apalagi sudah bertekad menggunakan bahasa indonesia, jelas kata ramadhan/ramadhani tak lagi menjadi pilihan. Setiap hari suami makin rajin mencari nama tengah ini. Mencari nama lain atau julukan untuk bulan ramadhan tapi juga tak kunjung ditemukan. Saya lupa tepatnya kapan, tapi yang jelas nama tengah ini ditemukan di hari-hari menjelang lahiran.


Seminggu setelah adek aya lahir, kami umumkan nama lengkapnya. Bagaimana respon orang-orang sekitar? 

“Kok ga ambil dari alquran?” “Kok ga pake bahasa arab?” “Kok gaada ramadhaninya?” “Jangan dipanggil aya, naya aja, panggil kasih aja” dan lain-lain. Ya maklum, keluarga saya kalau anak laki-laki minimal namanya harus ada unsur muhammadnya. Kalau perempuan ya minimal pake nama surat di al-quran begitu. Faktanya kami ambil nama tengah itu dari al-quran tapi pakai bahasa indonesia. Kenapa panggilannya aya? Ya terserah saya dong yang bikin nama. Haha ngga gitu dong jawabnya, supaya gampang aja dia menyebut namanya sejak kecil dan ya sekarang pun aya sudah bisa menyebut namanya sendiri dengan jelas. Tapi banyak juga kok respon positif. Kelamaan orang-orangpun terbiasa dengan nama lengkap adek aya. Sebenarnya kami pun tak terpaku pada respon orang lain. Sebab kami sudah cukup bangga dengan nama yang kami sepakati ini. Nama yang penuh doa di dalamnya.


Sepertinya ini sudah terlalu jauh ya. Kalau dibaca ulang sudah tidak sesuai judul juga. Jadi dimana nayanika ditemukan? Darimana asal katanya? Aku pun tidak tahu. Suamiku kalau ditanya juga sepertinya sudah lupa. Karena penemuan nayanika ini tiba-tiba aja begitu. Dari banyak nama yang dia ajukan kemudian kami berusaha padu padankan, nayanika yang jadi pemenangnya. Setiap nama pasti baik dengan bahasa apapun itu. Selalu ada doa dan harapan orang tua dan keluarga di balik sebuah nama. Pasti ada histori panjang dari sebuah nama. Semoga nama ini membawa kebaikan bagi hidup aya. Aamiin.