Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Kamis, 20 November 2014

Hai!

Entah untuk kali keberapa saya biarkan blog ini kesepian. Terakhir saya memposting sesuatu tidak begitu penting lebih dari sebulan yang lalu, waktu yang cukup lama. Ini terjadi karena satu hal, diawali dengan bermulanya sekolah saya tercinta terpaksa ikut-ikutan menggeluti kurikulum 2013. Sebagai rakyat yang baik, ya ikuti sajalah apa maunya pemerintah. Menjadi bagian dari angkatan kelinci percobaan dunia pendidikan memang tidak mudah. Menghadapi perubahan-perubahan metode pendidikan yang begitu mendadak membuat saya merasa benar-benar diforsir habis-habisan. Sejak masuk tahun ajaran baru kegiatan saya tak jauh berbeda dengan penganut paham K13 lainnya. Jam di sekolah lebih lama, tugas yang harus diselesaikan baik sendiri maupun kelompok, tambahan belajar, persiapan ulangan, persiapan presentasi, dan lain sebagainya. Bicara tentang tugas, sebentar lagi anda akan membaca hasil produksi cerpen saya berhubungan dengan tugas Bahasa Indonesia. Tidak terlalu bagus, dikerjakan saat mata benar lelah, dengan sedikit inspirasi jadilah sebuah cerita acak-acakan yang semoga anda bisa menemukan maknanya secara tersirat. Entah sengaja atau tidak cerita ini ditulis dengan alur yang membingungkan. Sudahlah, silahkan dibaca dan tinggalkan komentar disana. Dengan lapang dada saya menerima segala kritikan dan masukan. Selamat membaca :)

SERUPA HUJAN
Petang ini hujan ke sepuluh pada bulan sendu milik Arina. Aroma air tanah memunculkan rindu, desir anginnya menggembara kenangan. Inilah hujan ke sepuluh pada kalender merah jambu Arina, tak jemu ia memandang tiap tetes air yang turun beriringan, seirama membentuk sebuah simfoni aus kehidupan. Hujan di bulan sendu selalu jadi lanskap utama yang ia tatap dari balik jendela. Malam hari, hujan makin pilu. Membawa tetes-tetes kenangan yang turun menuju tanah kerinduan. Masih dan selalu Arina memandang hujan dari balik jendela. Baginya tiap tetes itu adalah pesan yang tertinggal, pesan yang sama dengan irama yang memilukan. Jika hujan telah reda barulah air matanya hadir perlahan, keluar dari pelupuk mata kepiluan, membasahi sebuah senyum bimbang yang tampak sangat menyakitkan. Baginya hujan adalah syair-syair kenangan yang selalu membuatnya tetap bertahan meski sampai berselimutkan kafan, lalu dunianya hanyalah kegelapan. Baginya hujan adalah air kepiluan yang selalu datang dengan tarian indah, tubuh molek hujan berayun membawa semerbak wangi kenangan menghembuskan bebauan sendu yang makin tajam. Dan Arina masih dengan hujan ke sepuluhnya, pada bulan sendu dan tahun-tahun penantian yang tak terhitung jumlahnya. Arina, umurnya menua tapi baginya penantiannya akan tetap muda.
****
Kalau engkau mencariku siang hari selain hari libur, cari saja di sebuah gedung berlantai dua bagian utara dari sebuah Universitas di ujung Jalan Pemuda. Atau jika kau perlu denganku saat sore hari, kunjungi saja taman kota atau sepanjang Jalan Basuki Rachmat, dan jika senja tiba kau akan temukan aku di pantai, duduk berselimut pasir putih, berkejaran dengan ombak, dan tertawa dengan nyiur kelapa. Kalau kau menemukan sesuatu bertuliskan Arina Amalia, tolong kembalikan padaku sebab aku adalah gadis pelupa yang tak jarang kehilangan barang. Entahlah, sejak kapan virus pelupa ini menyerangku, mengganggu hidupku dan mengharuskanku untuk berkawan dengan sebuah buku catatan kecil yang isinya adalah segala sesuatu yang harus kuingat. Dari hal penting sampai hal remeh temeh sekalipun. Jika suatu ketika kau menemukanku sedang bersama pria tinggi, yang berjalan tegap dengan penuh wibawa, matanya sendu dengan hidung yang lebih mancung dari milikku, rambutnya hitam, tetap terlihat rapi meskipun tak pernah disisir, biasanya dengan kaos lengan pendek yang terlihat sangat nyaman, sesekali ia menggunakan kemeja jika harus bertemu dengan dosennya yang cerewet dan suka sekali mengomentari penampilan orang lain, maka bisa dipastikan aku sedang berjalan dengan Seno. Seorang pria yang menjadi tempat kapalku berlabuh. Sebentar lagi, ia akan resmi jadi suamiku. Sebentar lagi, setelah aku menyelesaikan skripsiku dan pulang dengan memboyong gelar sarjana. Seno sedang menempuh pendidikan S2, dan setelah cinta kami sudah terikat tali pernikahan, ia akan membawaku tinggal bersamanya, maka selangkah lagi bahagiaku akan semakin sempurna.
****
Kalender menunjukkan desembernya dan langit mencurahkan hujannya. Setiap pulang kuliah aku harus loncat sana sini menghindari kubangan air. Menyebalkan memang, tapi aku suka hujan. Aku suka rintiknya yang menciptapkan irama seperti sebuah parade dari alam. Nyanyian hujan selalu merdu, tak pernah membosankan untuk di dengar. Suasana akhir tahun masih sangat menyenangkan. Sore ini, Seno telah menungguku di taman kota. Semoga hujan datang  membawa senandung tawa, agar kami berdua bisa menari dibawah hujan dan tertawa lepas menghanyutkan kerinduan setelah secawu tak berjumpa. Maklum sajalah, aku dan Seno menempuh pendidikan di kota yang berbeda. Hal yang paling kusuka saat bersama Seno adalah menikmati hujan atau bercumbu dengan senja. Saat itulah rindu seolah-olah hanyut dibawa tetesan hujan. Jam dinding besar di depan gedung utara tepat menunjukkan pukul empat sore. Kuayunkan kaki menuju taman kota, dengan riang kulewati kubangan-kubangan sisa air hujan. Sisa hujan menciptakan romansa, rinduku telah berpuncak, ia harus segera bertemu dengan tuan pemilik rinduku. Setelah bertemu dengan Seno, kami menghabiskan malam berdua saja dengan berjalan mengelilingi kota, menikmati kerlap lampu malam, tertawa tanpa beban. Besok, Seno harus pergi ke Australia untuk melakukan penelitian demi menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Maka, akan ada satu bulan yang kuhabiskan dengan rindu kepada Seno. Malam ini aku telah menebus semua hutang rindu kepada belahan jiwaku, esok aku akan berhutang lagi padanya. Hutang rindu yang akan terus bertambah jumlahnya dan baru bisa kulunasi bulan depan. Pukul 11 malam, Seno mengantarku pulang ke rumah kost dan dia segera meluncur ke bandara. Sebelum pergi Seno menatapku dalam, sangat dalam, tapi ia hanya diam. Seperti menyampaikan sebuah pesan lewat tatapannya. Senandung hujan membuat pesannya tak tersampaikan sempurna. Ia seperti akan meninggalkanku untuk waktu yang lama. “Sepulang dari Australia, aku akan segera menikahimu,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Bertopang pada rasa percaya, kuhantarkan doa mengiringi langkah Seno, kutatap punggungnya yang kemudian menghilang di persimpangan jalan. Laki-laki itu sebentar lagi akan menggenggam tangan ayahku dan sah menjadi pendamping hidupku.
Fajar—seperti biasa bangun pagi, sarapan lalu berangkat ke gedung utara Universitas di Jalan Pemuda. Tengah hari—masih beraktifitas di gedung utara. Senja—menikmati hujan di tengah taman kota sambil menitipkan butir-butir rindu kepada Seno. Mungkin seno sedang menatap langit yang sama, tapi entah pada hujan yang sama atau tidak.
Januari, masih hujan sepanjang hari dan sudah saatnya Seno kembali. Taman kota menjadi tujuanku saat ini untuk bertemu Seno. Ia masih dalam perjalanan, mungkin satu jam lagi langkahnya akan tepat berada di depanku. Hujan menderas, taman kota mulai kehilangan manusia-manusianya tapi aku masih setia, menunggu laki-laki yang kucinta. Rencananya hari ini kami akan bertolak ke kampung halaman untuk mengurusi segala hal menjelang pernikahan kami nanti. Mulai dari gaun pengantin, dekorasi pelaminan dan hal remeh temeh lainnya. Dua jam, dan Seno belum datang. Mungkin macet dari bandara. 5 jam dan aku memutuskan pulang ke rumah kost sambil menyampaikan pesan singkat lewat sms. Paginya, handphoneku sunyi masih tanpa balasan. Maka kuputuskan pulang ke kampung  halaman sendirian, mungkin saja dia sudah berada di rumahnya. Perasaanku berkecamuk, mungkinkah Seno hendak memberiku kejutan. Tapi ia tak menitipkan pesan kepada siapapun, Ibu hanya diam saat kutanyakan itu. Mama Seno juga tak menjawab pertanyaanku, beliau hanya memintaku untuk bergegas pulang. Perjalanan yang biasanya kutempuh dalam waktu 3 jam, kali ini terasa sangat lama. Bus yang kutumpangi seperti berjalan lamban. “Seno, kau suka sekali memberiku kejutan. Jangan membuatku makin rindu Seno,”.
Sesampainya di rumah, Ibu mengantarku ke rumah Seno. Gerbang rumahnya terbuka lebar dan banyak sekali manusia dengan mata sembap. Rumah Seno diselimuti kedukaan, tapi siapa yang meninggal?. Mama melihatku dengan cucuran air mata, lalu memelukku erat sambil menyampaikan suatu hal. Ucapnya terbata-bata, lalu menderaslah hujan di hatiku, duniaku mendadak gelap. Aku limbung, tak percaya. “Seno masih hidup, Ma. Dia bilang akan menikahiku sepulang dari Australia. Aku akan menunggunya pulang dari Australia, Ma.” Aku meronta, mengatakan pada semua orang bahwa Seno tidak meninggal. Tapi Mama dan Ibu bersikeras bahwa Seno meninggal. Aku percaya pada Seno, percaya pada cintanya dan percaya pada pesannya sebulan lalu.
 Hari-hari selanjutnya aku masih berkawan dengan penantian dan rinduku. Seno tak pernah membalas pesanku, ia hanya sibuk melakukan penelitian tapi ia tak akan lupa pada janjinya untuk menikahiku. Di hujan yang sama pada tahun berbeda, aku  masih menunggunya pulang dari Australia. Tak akan ada laki-laki lain, biduk telah kutambatkan dan berlabuh di pantai hati Seno.
****

            Begitulah Arina, tak pernah mempercayai sebuah kenyataan. Ia hidup dalam dunianya, dunia cinta kepada Seno. Orang-orang menyebutnya gila tapi Arina berkilah. Ibunya pasrah, telah berbagai macam dukun mencoba menyembuhkan Arina, psikiater, dokter, sampai kyai tak pernah ada yang bisa mengalahkan kepercayaan Arina. Maka tiap bulan sendu, Arina menatap hujan dari balik jendela. Mendengarkan pesan Seno lewat hujan, mengingat tawa mereka berdua. Ia selalu percaya, bahwa Seno masih di Australia dan akan segera pulang untuk menikahinya. Meski ini sudah hujan ke sepuluh pada bulan sendu dan tahun yang entah keberapa, Arina masih berdiri pada kepercayaannya bahwa Seno akan segera pulang. Hujan adalah butir-butir yang ia nantikan, “Seno menitipkan rindunya lewat hujan, Bu.” Ujarnya ketika sedang berkisah kepada Ibunya. Jika sudah seperti itu, Ibunya hanya bisa tersenyum iba. Kini usia Arina menginjak kepala tiga, tapi ia masih hidup dalam penantiannya. Berbagai rupa laki-laki telah mencoba menggeser posisi Seno di hati Arina, tapi tak satupun berhasil. Arina adalah gadis tua yang hidup dalam penantian semunya. Tapi rindunya untuk Seno masih selalu muda, cintanya semakin menguat. Cinta telah membuatnya tuli pada hiruk pikuk kehidupan, rindu telah membekukan hatinya. Arina masih berkutat pada penantiannya. Ia menua tapi cintanya tetap muda. Kecantikannya pudar tapi rindunya bertahan. Manusia lain menaruh iba padanya, tapi Arina menggila pada penantian semunya. Sampai kapanpun Seno tak akan pernah menikahinya, Seno pergi dengan menitipkan jutaan cinta dan kerinduan di hati Arina.