SERUPA
HUJAN
Petang
ini hujan ke sepuluh pada bulan sendu milik Arina. Aroma air tanah memunculkan
rindu, desir anginnya menggembara kenangan. Inilah hujan ke sepuluh pada
kalender merah jambu Arina, tak jemu ia memandang tiap tetes air yang turun
beriringan, seirama membentuk sebuah simfoni aus kehidupan. Hujan di bulan sendu
selalu jadi lanskap utama yang ia tatap dari balik jendela. Malam hari, hujan
makin pilu. Membawa tetes-tetes kenangan yang turun menuju tanah kerinduan.
Masih dan selalu Arina memandang hujan dari balik jendela. Baginya tiap tetes
itu adalah pesan yang tertinggal, pesan yang sama dengan irama yang memilukan.
Jika hujan telah reda barulah air matanya hadir perlahan, keluar dari pelupuk
mata kepiluan, membasahi sebuah senyum bimbang yang tampak sangat menyakitkan.
Baginya hujan adalah syair-syair kenangan yang selalu membuatnya tetap bertahan
meski sampai berselimutkan kafan, lalu dunianya hanyalah kegelapan. Baginya
hujan adalah air kepiluan yang selalu datang dengan tarian indah, tubuh molek
hujan berayun membawa semerbak wangi kenangan menghembuskan bebauan sendu yang
makin tajam. Dan Arina masih dengan hujan ke sepuluhnya, pada bulan sendu dan
tahun-tahun penantian yang tak terhitung jumlahnya. Arina, umurnya menua tapi
baginya penantiannya akan tetap muda.
****
Kalau
engkau mencariku siang hari selain hari libur, cari saja di sebuah gedung
berlantai dua bagian utara dari sebuah Universitas di ujung Jalan Pemuda. Atau
jika kau perlu denganku saat sore hari, kunjungi saja taman kota atau sepanjang
Jalan Basuki Rachmat, dan jika senja tiba kau akan temukan aku di pantai, duduk
berselimut pasir putih, berkejaran dengan ombak, dan tertawa dengan nyiur
kelapa. Kalau kau menemukan sesuatu bertuliskan Arina Amalia, tolong kembalikan
padaku sebab aku adalah gadis pelupa yang tak jarang kehilangan barang. Entahlah,
sejak kapan virus pelupa ini menyerangku, mengganggu hidupku dan mengharuskanku
untuk berkawan dengan sebuah buku catatan kecil yang isinya adalah segala
sesuatu yang harus kuingat. Dari hal penting sampai hal remeh temeh sekalipun.
Jika suatu ketika kau menemukanku sedang bersama pria tinggi, yang berjalan
tegap dengan penuh wibawa, matanya sendu dengan hidung yang lebih mancung dari
milikku, rambutnya hitam, tetap terlihat rapi meskipun tak pernah disisir,
biasanya dengan kaos lengan pendek yang terlihat sangat nyaman, sesekali ia
menggunakan kemeja jika harus bertemu dengan dosennya yang cerewet dan suka
sekali mengomentari penampilan orang lain, maka bisa dipastikan aku sedang
berjalan dengan Seno. Seorang pria yang menjadi tempat kapalku berlabuh. Sebentar
lagi, ia akan resmi jadi suamiku. Sebentar lagi, setelah aku menyelesaikan
skripsiku dan pulang dengan memboyong gelar sarjana. Seno sedang menempuh
pendidikan S2, dan setelah cinta kami sudah terikat tali pernikahan, ia akan
membawaku tinggal bersamanya, maka selangkah lagi bahagiaku akan semakin
sempurna.
****
Kalender
menunjukkan desembernya dan langit mencurahkan hujannya. Setiap pulang kuliah
aku harus loncat sana sini menghindari kubangan air. Menyebalkan memang, tapi
aku suka hujan. Aku suka rintiknya yang menciptapkan irama seperti sebuah
parade dari alam. Nyanyian hujan selalu merdu, tak pernah membosankan untuk di
dengar. Suasana akhir tahun masih sangat menyenangkan. Sore ini, Seno telah
menungguku di taman kota. Semoga hujan datang membawa senandung tawa, agar kami berdua bisa
menari dibawah hujan dan tertawa lepas menghanyutkan kerinduan setelah secawu
tak berjumpa. Maklum sajalah, aku dan Seno menempuh pendidikan di kota yang
berbeda. Hal yang paling kusuka saat bersama Seno adalah menikmati hujan atau
bercumbu dengan senja. Saat itulah rindu seolah-olah hanyut dibawa tetesan
hujan. Jam dinding besar di depan gedung utara tepat menunjukkan pukul empat
sore. Kuayunkan kaki menuju taman kota, dengan riang kulewati kubangan-kubangan
sisa air hujan. Sisa hujan menciptakan romansa, rinduku telah berpuncak, ia
harus segera bertemu dengan tuan pemilik rinduku. Setelah bertemu dengan Seno,
kami menghabiskan malam berdua saja dengan berjalan mengelilingi kota,
menikmati kerlap lampu malam, tertawa tanpa beban. Besok, Seno harus pergi ke
Australia untuk melakukan penelitian demi menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya.
Maka, akan ada satu bulan yang kuhabiskan dengan rindu kepada Seno. Malam ini
aku telah menebus semua hutang rindu kepada belahan jiwaku, esok aku akan
berhutang lagi padanya. Hutang rindu yang akan terus bertambah jumlahnya dan
baru bisa kulunasi bulan depan. Pukul 11 malam, Seno mengantarku pulang ke
rumah kost dan dia segera meluncur ke bandara. Sebelum pergi Seno menatapku
dalam, sangat dalam, tapi ia hanya diam. Seperti menyampaikan sebuah pesan
lewat tatapannya. Senandung hujan membuat pesannya tak tersampaikan sempurna.
Ia seperti akan meninggalkanku untuk waktu yang lama. “Sepulang dari Australia,
aku akan segera menikahimu,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Bertopang pada
rasa percaya, kuhantarkan doa mengiringi langkah Seno, kutatap punggungnya yang
kemudian menghilang di persimpangan jalan. Laki-laki itu sebentar lagi akan
menggenggam tangan ayahku dan sah menjadi pendamping hidupku.
Fajar—seperti
biasa bangun pagi, sarapan lalu berangkat ke gedung utara Universitas di Jalan
Pemuda. Tengah hari—masih beraktifitas di gedung utara. Senja—menikmati hujan
di tengah taman kota sambil menitipkan butir-butir rindu kepada Seno. Mungkin
seno sedang menatap langit yang sama, tapi entah pada hujan yang sama atau
tidak.
Januari,
masih hujan sepanjang hari dan sudah saatnya Seno kembali. Taman kota menjadi
tujuanku saat ini untuk bertemu Seno. Ia masih dalam perjalanan, mungkin satu
jam lagi langkahnya akan tepat berada di depanku. Hujan menderas, taman kota
mulai kehilangan manusia-manusianya tapi aku masih setia, menunggu laki-laki
yang kucinta. Rencananya hari ini kami akan bertolak ke kampung halaman untuk
mengurusi segala hal menjelang pernikahan kami nanti. Mulai dari gaun
pengantin, dekorasi pelaminan dan hal remeh temeh lainnya. Dua jam, dan Seno
belum datang. Mungkin macet dari bandara. 5 jam dan aku memutuskan pulang ke
rumah kost sambil menyampaikan pesan singkat lewat sms. Paginya, handphoneku
sunyi masih tanpa balasan. Maka kuputuskan pulang ke kampung halaman sendirian, mungkin saja dia sudah
berada di rumahnya. Perasaanku berkecamuk, mungkinkah Seno hendak memberiku
kejutan. Tapi ia tak menitipkan pesan kepada siapapun, Ibu hanya diam saat
kutanyakan itu. Mama Seno juga tak menjawab pertanyaanku, beliau hanya
memintaku untuk bergegas pulang. Perjalanan yang biasanya kutempuh dalam waktu
3 jam, kali ini terasa sangat lama. Bus yang kutumpangi seperti berjalan
lamban. “Seno, kau suka sekali memberiku kejutan. Jangan membuatku makin rindu
Seno,”.
Sesampainya
di rumah, Ibu mengantarku ke rumah Seno. Gerbang rumahnya terbuka lebar dan
banyak sekali manusia dengan mata sembap. Rumah Seno diselimuti kedukaan, tapi
siapa yang meninggal?. Mama melihatku dengan cucuran air mata, lalu memelukku
erat sambil menyampaikan suatu hal. Ucapnya terbata-bata, lalu menderaslah
hujan di hatiku, duniaku mendadak gelap. Aku limbung, tak percaya. “Seno masih
hidup, Ma. Dia bilang akan menikahiku sepulang dari Australia. Aku akan
menunggunya pulang dari Australia, Ma.” Aku meronta, mengatakan pada semua
orang bahwa Seno tidak meninggal. Tapi Mama dan Ibu bersikeras bahwa Seno
meninggal. Aku percaya pada Seno, percaya pada cintanya dan percaya pada
pesannya sebulan lalu.
Hari-hari selanjutnya aku masih berkawan
dengan penantian dan rinduku. Seno tak pernah membalas pesanku, ia hanya sibuk
melakukan penelitian tapi ia tak akan lupa pada janjinya untuk menikahiku. Di
hujan yang sama pada tahun berbeda, aku
masih menunggunya pulang dari Australia. Tak akan ada laki-laki lain,
biduk telah kutambatkan dan berlabuh di pantai hati Seno.
****
Begitulah Arina, tak pernah mempercayai sebuah kenyataan.
Ia hidup dalam dunianya, dunia cinta kepada Seno. Orang-orang menyebutnya gila
tapi Arina berkilah. Ibunya pasrah, telah berbagai macam dukun mencoba
menyembuhkan Arina, psikiater, dokter, sampai kyai tak pernah ada yang bisa
mengalahkan kepercayaan Arina. Maka tiap bulan sendu, Arina menatap hujan dari
balik jendela. Mendengarkan pesan Seno lewat hujan, mengingat tawa mereka
berdua. Ia selalu percaya, bahwa Seno masih di Australia dan akan segera pulang
untuk menikahinya. Meski ini sudah hujan ke sepuluh pada bulan sendu dan tahun
yang entah keberapa, Arina masih berdiri pada kepercayaannya bahwa Seno akan
segera pulang. Hujan adalah butir-butir yang ia nantikan, “Seno menitipkan
rindunya lewat hujan, Bu.” Ujarnya ketika sedang berkisah kepada Ibunya. Jika
sudah seperti itu, Ibunya hanya bisa tersenyum iba. Kini usia Arina menginjak
kepala tiga, tapi ia masih hidup dalam penantiannya. Berbagai rupa laki-laki
telah mencoba menggeser posisi Seno di hati Arina, tapi tak satupun berhasil.
Arina adalah gadis tua yang hidup dalam penantian semunya. Tapi rindunya untuk
Seno masih selalu muda, cintanya semakin menguat. Cinta telah membuatnya tuli
pada hiruk pikuk kehidupan, rindu telah membekukan hatinya. Arina masih
berkutat pada penantiannya. Ia menua tapi cintanya tetap muda. Kecantikannya
pudar tapi rindunya bertahan. Manusia lain menaruh iba padanya, tapi Arina
menggila pada penantian semunya. Sampai kapanpun Seno tak akan pernah
menikahinya, Seno pergi dengan menitipkan jutaan cinta dan kerinduan di hati
Arina.