Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Sabtu, 07 Oktober 2017

Kuliah di Kampus Biasa (Review Kuliah di Jember)

Assalamualaikum, pembaca! Tulisan ini berisi review dari saya setelah satu tahun kuliah di Jember, kuliah di kampus yang biasa saja (bukan kampus idaman). Perlu diingat ya semua tulisan ini berisi opini saya, apa yang saya rasakan, sudut pandang saya. Jadi, bila ada yang kurang setuju atau tidak sependapat bisa disampaikan. Karena semuanya di sini berasal dari pendapat dan pengalaman saya. Selamat membaca J

Asal Mula Kuliah di Jember

Soal ini pernah saya bahas di tulisan saya sebelumnya, bisa di scroll down. Oh iya, bagi yang belum tahu saya adalah mahasiswi D-IV Gizi Klinik Politeknik Negeri Jember. Dulunya, Jember bukan tujuan utama saya dalam memilih kuliah. Terlebih politeknik, sama sekali tidak ada bayangan pendidikan vokasi itu bagaimana. Karena saya dari SMA bukan SMK jelas tidak pernah kepikiran mau melanjutkan ke pendidikan vokasi. Semua hanya sebatas coba-coba dan ajakan teman. Seperti anak SMA yang lain yang pasti punya mimpi yang tinggi. Kuliah di kampus idaman, kampus besar, diimpikan banyak orang. Jember mungkin hanya jadi salah satu pilihan atau bahkan pilihan terakhir. Tapi saya? Tidak mendapatkan kampus impian saya, yang berhasil saya dapatkan hanya jurusan yang saya inginkan di kampus yang sama sekali tidak masuk daftar keinginan saya. Ini yang saya syukuri, kuliah di jurusan yang sesuai dengan keinginan saya. Setiap hari ada hal-hal baru yang membuat saya semakin nyaman ada di sini.

Ketika saya berkunjung ke kampus-kampus di Malang atau Surabaya, saya baru sadar ternyata kampus saya itu kecil. Gedungnya tidak terlalu banyak, yang luas itu sawah dan kandangnya. Kantinnya saja hanya satu, di kampus lain tiap fakultas ada kantinnya kalau di Polije se-poltek itu kantinnya hanya satu dan itu selalu ramai karena memang tidak sebanding dengan jumlah mahasiswanya. Tapi tidak apa, saya syukuri. Setidaknya kalau gabut bisa keliling kampus, ke sawah, ke kebun, atau yang paling menyenangkan adalah melihat sapi di kandangnya.

Beda Politeknik dengan Universitas

Sebelum kuliah saya selalu mencari info tentang kehidupan kampus, dari kakak kelas, dari tetangga, saudara, membaca di media, dari banyak sumber. Semuanya adalah tentang kehidupan kampus di Universitas. Sayangnya, saya tidak di sana. Setelah melewati masa PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) saya dihadapkan dengan kehidupan berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Pendidikan vokasi lebih keras dari ekspetasi saya. Gambaran umumnya nih ya buat yang tidak kuliah di Politeknik, bedanya itu seperti SMA dan SMK tapi lebih kompleks. Di politeknik kita dibekali skill atau kemampuan karena outputnya adalah mahasiswa yang siap kerja. Nah untuk mengasah skill ini tentunya ada banyak praktek yang mendukung, namanya aja kan Poltek jadi ya pol praktek. Kita bisa saja seharian praktek. Kuliah dari jam 07.00-20.00. Masih ditambah laporan dan tugas-tugas lainnya, belum lagi yang sibuk dengan organisasi. Jadwal kuliahpun ditentukan oleh lembaga, kita tidak bisa mengatur jadwal kuliah kita sendiri. Semuanya sudah diatur.

Ketika masuk kuliah bayangan saya adalah tidak berseragam seperti mahasiswa pada umumnya. Kuliah dengan style yang disukai, rambut gondrong, kaos oblong, celana jeans, dan ya yang semacam itu lah. Tapi di politeknik tidak! Saya masih harus berseragam dari senin hingga jumat (hanya di jurusan kesehatan, di jurusan lain seragam hanya di hari-hari tertentu). Rambut tidak boleh gondrong, mahasiswanya masih rapi-rapi semua. Semuanya diluar ekspetasi saya. Tapi, tetap saya nikmati, saya syukuri. Ada untungnya kan  berseragam, tidak bingung pilih baju kalau mau berangkat kuliah.

Lingkungan dan Kultur di Jember

Mayoritas masyarakat Jember berbahasa madura dan saya tidak bisa berbahasa madura. Mahasiswa di sini beragam, tapi  masih banyak yang dari kota terdekat seperti Lumajang, Probolinggo, Bondowoso, dan Situbondo yang mayoritas berbahasa madura. Setahun di sini logat lumajang saya jadi agak tergeser. Biasanya yang paling sering terdengar itu kalimat-kalimat begini, “Boh, yaapa pas”, “Jek kamu gitu gel-megelin”, “Cek lamanya rawes”, “Mara yang baik mad”, dan lain-lain yang menurut saya itu lucu.

Cuaca dan suhu di Jember tidak beda jauh dengan Lumajang walaupun lebih panas, ini memudahkan saya untuk beradaptasi. Nah, satu hal lagi yang saya syukuri, Allah memang tahu apa yang hamba-Nya butuhkan, bukan yang diinginkan. Karena tubuh saya agak manja ya, tidak bisa tinggal di suhu yang terlalu dingin atau terlalu panas Jember menjadi tempat yang sesuai. Malang itu terlalu dingin bagi saya, Surabaya itu terlalu panas. Beberapa teman saya mungkin paham bagaimana reaksi tubuh saya ketika suhu lingkungan sedang ekstrim atau tidak mendukung. Kalau makanannya di Jember masih tergolong murah, saya jadi tidak perlu berpikir sangat keras untuk berhemat karena memang uang pas-pasan. Tapi cukup, kebutuhan saya tercukupi di sini. Coba kalau saya di kota lain yang lebih besar, yang makanannya lebih mahal apalagi cafe-cafe dan fastfood mudah ditemui saya pasti harus berpikir lebih keras untuk berhemat.

Betah Atau Tidak di Jember?

Semester lalu saya masih sering pulang, setiap minggu selalu pulang ke Lumajang jadi saya dianggap tidak betah di Jember. Padahal statement itu salah besar. Saya pulang bukan karena tidak betah, tapi memang ada kesempatan untuk pulang. Kalau semester ini yang lebih berat saya jadi agak sulit pulang ya tidak pulang. Lumajang-Jember bisa ditempuh dalam 1,5 jam, pun saya biasa pulang sendiri jadi kegiatan pulang kampung lebih fleksibel dan mudah dilakukan. Saya selalu memanfaatkan kesempatan pulang itu dengan baik walaupun kadang hanya sehari. Karena orang tua saya bukan tipe orang yang selalu chat atau telfon anaknya. Jarang sekali tanya “sudah makan apa belum”, “sudah bangun belum”, “sedang apa”, bahkan kadang seminggu tidak telfon sama sekali. Bukan mereka tidak peduli, tapi saya yakin orang tua saya selalu memikirkan anaknya dan selalu mendoakan. Ibu saya ikatan batinnya sangat kuat, setiap saya sangat lelah atau sedang sumpek-sumpeknya saya hanya bilang “Ya Allah saya kangen umi” tidak lama setelah itu pasti ditelfon oleh umi atau abi. Karena itu sesibuk apapun saya pasti menyempatkan pulang walaupun harus pulang membawa tugas, setidaknya tidak membuat orang tua saya khawatir. Nah, ini yang saya syukuri. Kuliah di Jember tidak jauh dari rumah, saya mudah untuk pulang, mudah untuk memastikan orang tua saya baik-baik saja secara langsung.  

Hikmah Kuliah di Jember

Lalu hikmahnya apa kuliah di kampus yang biasa saja? Saya kuliah di jurusan yang menyenangkan. Jurusan yang mengajarkan banyak hal menakjubkan. Hal-hal yang harus disyukuri setiap hari. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas. Banyak kemudahan yang saya temui selama kuliah. Di semester awal itu seperti semester penuh perjuangan, survival banget gitu. Tapi karena akses untuk pulang itu mudah semuanya bisa diatasi. Apalagi selama di sini banyak yang sayang saya, saya punya teman-teman dan saudara yang sangat peduli. Saya tidak pernah merasa sendirian, banyak orang-orang yang membantu dan memudahkan.

Kampus saya memang tidak besar, tapi saya senang ditempatkan di sini. Kalau ditanya “kuliah dimana?” sekarang saya sudah sangat ikhlas dan bangga menjawab “Di Jember”, walaupun pertanyaan selanjutnya selalu “Oh, di Unej ya?”, saya tetap ikhlas menjawab “Bukan, di poltek.”, dan coba tebak pertanyaan selanjutnya apa? “Oh, D3 ya?”, saya masih ikhlas saja menjawab “Bukan, D4”. Kesannya itu seperti begini loh “Oalah cuma kuliah di poltek, mau jadi apa nantinya”. Politeknik masih dianggap sebelah mata, padahal kalau saya boleh besar hati sedikit nih, di Politeknik kita dibekali skill yang tidak diberikan di Universitas. Kuliah kita lebih berat dan lebih melelahkan, silahkan kalau mau bilang “Itu kan karena kamu kuliah di poltek jadi dibangga-banggain”. Itu yang saya rasakan, itu yang saya lihat. Kita disiapkan menjadi mahasiswa yang siap kerja. Dulu waktu PKKMB kita diberi semangat dengan lagu ini, “Siapa bilang diploma itu beda, diploma sama dengan sarjana. Yang bilang diploma itu beda, hanya orang yang tak pernah kuliah.” Lagu itu sangat bermakna bagi saya, benar-benar bisa jadi penyemangat. Yang bisa paham makna dari lagu itu ya yang kuliah di Politeknik. Diploma memang sama dengan sarjana, bahkan menurut saya lebih berat prosesnya.

Ketiga, saya tidak sedikitpun menyesal ada di sini. Saya sudah ikhlas tidak diterima di kampus yang besar. Karena tolak ukur kesuksesan tidak dilihat dimana ia belajar tapi bagaimana ia belajar. Untuk yang sudah terlanjur kuliah di kampus yang biasa saja, coba deh diubah sudut pandangnya. Dibuang penyesalannya atau rasa marah karena tidak diterima di kampus yang besar. Ini salah satu motivasi saya untuk tetap berusaha keras, “Kampus besar itu hanya salah satu jalan, bukan satu-satunya jalan”. Kalau statement saya ini salah silahkan dibenarkan. Untuk adik-adik yang mau kuliah, jangan pesimis. Kalian harus tetap punya mimpi besar. Kuliah dimanapun sesuai dengan apa yang kalian impikan, tapi ingat disesuaikan dengan apa yang kalian butuhkan. Untuk teman-teman yang sudah kuliah sekarang bukan saatnya “Kenapa kok saya ga lolos di sana, kenapa saya harus kuliah di sini?” tapi diubah jadi “Bagaimana saya harus nyaman dan sukses dari sini”.


Semua tulisan ini berasal dari pemikirian saya, dari apa yang saya rasakan. Mungkin ada beberapa yang sependapat. Kalau tidak sependapat, silahkan disanggah karena memang opini tiap orang itu berbeda. Semoga sudut pandang saya ini bisa memberi manfaat. Mari sama-sama kita belajar, menyikapi takdir dengan positif dan rasa syukur. Semoga kita semua bisa sukses dengan jalan kita masing-masing. 

Senin, 21 Agustus 2017

PARAU #3

Rinduku terus bermetamorfosa
Menganyam kisah sedih
Dari puing kenangan
Di tubuhku
Sisa pelukanmu kala itu


Pagi ini aku tidak menemukan Sri di pasar. Biasanya ia nampak lalu lalang di dalam pasar. Hilir mudik mengangkat karung-karung beras di warung Abah di ujung pasar, atau sekedar membantu ibu-ibu yang keberatan membawa belanjaan. Ia lakukan apa saja, asal ada yang bisa ia bantu pasti dengan cekatan Sri bertindak. Sri tak butuh uang banyak, asal bisa mengisi perutnya itu sudah cukup. Sebab yang ia butuhkan saat ini, hanyalah Tong. Harta berharga paling akhir dalam hidupnya. Sri sudah miskin, sejak Tong pergi maka jelas makin miskin jiwa raganya. Kurasa Sri adalah pemilik definisi kesedihan paling hakiki, tapi rupanya tidak sebab ia selalu punya senyum saban pagi, setiap hari, meski batinnya merintih. Semenjak Tong menghilang, fisik Sri menjadi lebih kuat walaupun kehilangan terus menginjak-injak batinnya.

Pukul 09.00 pasar hampir sepi, tinggal beberapa kios sembako yang  masih terlihat melayani pembeli. Pemilik Kios sayur, buah, dan ikan sudah bersiap meninggalkan pasar. Dagangan mereka hampir habis, kalaupun ada beberapa sayuran nampak tidak segar karena hampir siang. Kecuali warung nasi di pasar bagian depan, masih ramai sampai menjelang ashar. Tapi Sri belum juga menampakkan batang hidungnya. Mungkinkah Sri sakit? Massa rindu yang ia tampung mungkin terlalu berat. Tapi bukankah fisik Sri sangat kuat? Pun ia tak pernah telat makan barang sehari saja. Seberat apapun pilu yang ia tanggung masih mampu ia mengangkut beras puluhan karung. Bu Balok, pemilik warung nasi juga bertanya-tanya  mengapa Sri belum juga datang ke warungnya, biasanya Sri tak pernah terlambat sarapan dan makan siang.

Hampir pukul 10 kulihat Sri dari kejauhan, membawa beberapa kertas sambil mengusap peluh di dahinya. Matanya terlihat sembab, masih ada bekas kesedihan di sana. Kuhampiri Sri, ia nampak sangat kelelahan. Aku hendak bertanya namun urung kulakukan sebab kurasa Sri sedang teramat sedih, bukan waktunya untuk bertanya macam-macam. “Sudah makan?” hanya itu yang harus kutanyakan kepadanya saat ini, ia menggeleng. Kubantu Sri berjalan, ketika sampai di depan warung aku hendak berteriak memesankan makanan untuk Sri. Tapi rupanya Bu Balok sudah mengetahui kedatangan Sri yang tanpa disuruh langsung mengambil piring dan menyiapkan menu sarapan untuk Sri. Setelah sarapan Sri mengusap keringat di dahinya, sambal Bu Balok terlalu pedas tapi cocok untuk membangkitkan semangat. “Nikmat”, katanya. Rupanya Sri sudah lebih baik setelah makan. Bu Balok menghampiri kami yang duduk di dalam, tidak jauh dari tempatnya memasak. Bu Balok yang sangat baik hati memperbolehkan kami makan di dalam, tidak berdesakan dengan pembeli lain di bagian depan, “supaya makannya lebih leluasa”, katanya kepada kami sebulan lalu. Aku dan Sri adalah pembeli tetap Bu Balok setiap sarapan maka dari itu beliau memberi kami keistimewaan.

Warung sudah agak sepi, setengah jam lagi waktunya makan siang dan Bu Balok akan kembali kuwalahan melayani pembeli. Sesekali aku dan Sri membantu jika sedang tidak ada pekerjaan. “Kau dari mana saja, Sri?”, tanya Bu Balok tiba-tiba. Sri menghela napas, aku menanti jawabannya. “Ini, menempelkan selebaran di tiang-tiang kesedihan,” katanya “barangkali ada yang baru saja dari kota kemudian tidak sengaja bertemu Tong”. Aku menarik napas panjang, sedih mendengar kalimat Sri. Ia masih saja keras hati, berusaha mencari suaminya. Ternyata benar, Sri adalah definisi kesedihan yang hakiki. “Kok sampai siang begini?”, Bu Balok bertanya lagi. “Iya, kutempelkan sampai ke ujung kampung seberang. Semua orang harus tahu, kalau aku sangat kehilangan Tong”. Aku hampir menangis melihat Sri, tapi tidak mungkin kulakukan itu. Aku hanya diam menyaksikan kesedihan di balik wajah Sri.

Kemudian Sri bercerita, terlihat jelas bahwa ia berusaha menyembunyikan air mata. Katanya, semalam ia memimpikan Tong lagi. Ini sudah kali kesekian mimpi itu datang. Tapi Sri senang, sebab ia bisa bertemu dengan kekasihnya itu walau hanya sebatas mimpi. Dua bulan sejak Tong pergi, Sri tidur sendirian. Setiap hari sepulang dari pasar ia bersihkan rumahnya dari kenangan-kenangan bersama Tong. Sore harinya ia pergi ke laut, menghanyutkan surat yang ternyata tidak pernah sampai ke tengah laut. Pagi tadi Sri memutuskan menempelkan selebaran itu setelah sebulan lalu dibuatnya. Ditempelkannya pelan-pelan bersamaan dengan kenangan tentang Tong yang terus berlarian di kepalanya. Kesedihan terus mengiringinya sampai ujung kampung sebrang. Sri kembali ke kampungnya dengan tertatih-tatih. Disaksikan oleh orang-orang yang ikut bersedih tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk membantunya. Tong benar-benar pergi tanpa satu pesan apapun. Tidak ada seorangpun yang menangkap basah kepergiannya. Jejaknya tidak sekalipun ditemui oleh seluruh warga kampung. Kepala kampung sesekali mendatangi rumah Sri, untuk memastikan kesehatan Sri sekaligus menanyakan perkembangan kabar Tong. Namun Sri selalu menyambutnya dengan isak tangis. Jika sudah begitu tidak ada yang bisa dilakukan oleh kepala kampung, selain pulang dan membiarkan Sri menikmati kesendiriannya. Di akhir ceritanya, Sri menangis. Ditumpahkannya segala kesedihan yang selama ini ia pendam. Bu Balok ikut menangis sambil mengaduk teh hangat untuk Sri. Suasana warung itu berubah menjadi mendung.

Sudah dua bulan Sri kehilangan, selama itu pula Sri berusaha menutup kesedihan. Tapi Sri tetaplah wanita berperasaan. Ia tetap keberatan jika harus menanggung rindu yang massanya tiap hari bertambah. Kebahagiaan yang ia bangun bertahun-tahun bersama Tong hilang begitu saja. Hidupnya kemudian berantakan, hatinya tersiksa, pikirannya carut marut tapi ia tetap tegar. Besok jika Tong belum juga datang dihadapan Sri, ia akan tetap sedih. Dan Sri akan kembali mengulang rutinitasnya. Menyulam senyum setiap pagi, bekerja keras hingga bercucuran keringat di pasar, petangnya ia kirimkan sajak-sajak kerinduan kepada Tong yang ia hanyutkan di lautan, sayangnya ia tidak pernah tahu bahwa sajak itu tidak pernah sampai. Sajak itu hanya berenang di bibir pantai yang kemudian dipungut Amron dengan bulir air mata. Sri tidak pernah sadar, diam-diam ada yang menginginkannya. Entah berapa lama kisah sedih ini  terus berulang.

Jumat, 18 Agustus 2017

TENTANG NOVEL TERLARIS GUBAHAN PIDI BAIQ

REVIEW BUKU Dilan (Dia adalah Dilanku Tahun 1990), Dilan (Dia adalah Dilanku Tahun 1991), Milea (Suara dari Dilan).

Sudah pernah baca buku karya Pidi Baiq ini? Setelah buku ini beredar di pasaran banyak sekali yang mengutip quotes-quotes atau petikan puisi Dilan untuk Milea, tokoh utama dalam novel ini. Dilan menjadi semakin terkenal ketika ternyata puisi-puisinya banyak membuat “baper” (bawa perasaan). Tahun ini gubahan Pidi Baiq yang kerap disapa “Ayah” oleh penggemarnya diangkat menjadi sebuah film, yang kabarnya akan ada 3 film ( satu buku satu film ). Film ini meskipun belum rilis sudah menjadi perbincangan di berbagai lini media massa, selain itu film yang disutradarai oleh Fajar Bustami ini menimbulkan pro kontra di kalangan penggemar Dilan dan Milea. Banyak yang tidak setuju tokoh Dilan diperankan oleh Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan, personil boyband CJR dengan berbagai alasan. Namun banyak juga yang mendukung langkah Pidi Baiq dalam pemilihan pemeran film untuk tokoh dalam novel yang kini menjadi best seller. Pada tulisan kali ini, saya akan paparkan opini saya tentang buku Dilan (Dia adalah Dilanku Tahun 1990), Dilan (Dia adalah Dilanku Tahun 1991), Milea (Suara dari Dilan). Bagaimana pandangan saya tentang novel ini semoga tidak dianggap spoiler karena sedikit mengisahkan alur ceritanya. Selamat membaca!

TENTANG DILAN, DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1990

 Novel Dilan ( Dia adalah Dilanku Tahun 1990 ) adalah karya pertama dari Ayah Pidi yang saya baca, sebelumnya saya sama sekali belum pernah membaca tulisannya baik di media sosial ataupun di buku yang lain. Ekspetasi saya tentang novel ini adalah tidak jauh dengan novel-novel karya Andrea Hirata atau Tere Liye, dengan gaya bahasa yang khas dan diksi yang kaya. Namun ternyata setelah membacanya novel ini benar-benar jauh dari ekspetasi saya. Pidi Baiq menuliskannya dengan bahasa yang sangat ringan dan mudah dipahami. Pembaca dibawa seolah-olah sedang membaca buku diary, dengan prolog yang dituliskan oleh tokoh utama itu sendiri, Milea. Kisah yang diangkat juga tidak jauh berbeda dengan kisah masa remaja kebanyakan, namun Pidi Baiq berhasil membuat saya sebagai pembacanya tidak bisa berhenti untuk terus membaca kelanjutan kisahnya. Novel ini berisi kisah cinta Milea dengan Dilan di masa SMA, Milea menceritakan semuanya dengan sangat rinci termasuk latar tempat, waktu, dan suasana dengan detail. Hal itu berhasil membawa saya seolah-olah berada di sana. Menyaksikan kisah itu berlangsung bahkan menjadi bagian dari mereka. Agak berlebihan mungkin bagi beberapa orang, namun saya selalu demikian setiap membaca sebuah karya, memposisikan diri saya menjadi bagian dari cerita itu. Hal yang saya senangi dari membaca novel dibandingkan dengan menonton film adalah ketika membaca imajinasi kita tidak dibatasi oleh apapun. Membaca memang melelahkan, karena bukan hanya mata yang bekerja tapi juga otak membayangkan situasi yang dikisahkan oleh penulis.


Di novel yang pertama ini, Milea menceritakan pertemuannya dengan Dilan juga menceritakan orang-orang yang ada di sekelilingnya mendukung kisah cinta mereka menjadi semakin unik dan seperti tidak ada duanya. Novel ini masih berisi kisah-kisah yang menyenangkan. Cara Dilan mendekati Milea yang unik. Kejutan-kejutan yang Dilan berikan sehingga membuat Milea senang. Hal-hal yang dilakukan Dilan membuat Milea semakin jatuh cintanya. Milea menemukan dunia baru dari Dilan. Keputusannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Beni kemudian dekat dengan Dilan merupakan keputusan yang benar untuk Milea saat itu. Keluarga Dilan sangat menerima Milea, pun sebaliknya keluarga Milea menerima kehadiran Dilan sebagai kekasih Milea.  

TENTANG DILAN, DIA ADALAH DILANKU TAHUN 1991

Tidak berhenti di novel pertama, Milea melanjutkan kisahnya dengan Dilan di novel kedua. Di sini kisah-kisah sedih mulai bermunculan. Pertengkaran-pertengkaran Milea dengan Dilan, hingga akhirnya mereka harus berpisah. Milea mengakhiri hubungannya dengan Dilan ketika mengetahui Dilan kembali berulah dengan geng motornya. Menurut Milea itu merupakan peringatan keras yang pantas diberikan kepada Dilan supaya tidak melakukan kegiatan yang membahayakan keselamatannya. Rasa cinta Milea yang besar kepada Dilan membuat Milea melakukan segala cara untuk menghentikan Dilan dari kegiatan geng motornya. Ia mulai menciptakan peraturan-peraturan yang membatasi ruang gerak Dilan. Semua didasari kecemasan Milea terhadap keselamatan Dilan.

Sayangnya setelah diputuskan oleh Milea, Dilan tidak melakukan tindakan apapun. Ia sangat menghargai keputusan Milea, walaupun masih mencintai wanita cantik itu. Setelah putus, Milea dan Dilan hidup dalam kesalahpahaman. Mereka hidup dalam prasangka yang dibuat-buat sendiri. Saling menjauh karena saling menganggap sudah tidak menginginkan, namun ternyata semua prasangka itu adalah salah. Pada tahun itu komunikasi mereka hanya sebatas telepon, tidak seperti saat ini yang kehidupan orang lain bisa diketahui hanya dari media sosialnya. Setelah putus mereka menghentikan komunikasi mereka, Dilan tidak pernah lagi menelepon Milea, pun sebaliknya. Pernah sekali Dilan menelepon Milea, namun yang mengangkat adalah pembantu Milea. Dari percakapan itu Dilan mendapatkan informasi kurang lengkap yang memunculkan praduga salah. Sejak saat itu Dilan menghapus segala harapannya untuk dekat dengan Milea, walaupun sebenarnya masih ingin bersama.

Di novel ini Milea yang kerap disapa Lia menceritakan kehidupannya setelah putus dengan Dilan. Bertemu dengan kekasih barunya, datang ke pemakaman Ayah Dilan, hingga akhirnya Lia menikah dengan suaminya saat ini dan itu bukan Dilan. Saya sempat kecewa membaca akhir kisah ini. Ternyata kisah cinta Milea dan Dilan harus berakhir menyedihkan. Keduanya harus saling merelakan walaupun masih ingin saling memiliki.

TENTANG MILEA, SUARA DARI DILAN.  

Seperti yang tertera dalam judul “ Suara dari Dilan “, novel ketiga ini berisi cerita yang berasal dari Dilan. Isi ceritanya masih sama tentang hubungan Milea dan Dilan namun dari sudut pandang Dilan. Dari buku ini saya jadi tahu bahwa prasangka Milea yang diceritakan di dua buku sebelumnya adalah prasangka yang salah. Saya jadi mengetahui kebenaran-kebenaran baru yang diceritakan oleh Dilan. Saya jadi tahu bahwa Dilan telah berbuat banyak untuk Milea, ia telah mengurangi waktunya berkumpul dengan teman geng motornya untuk menemani Milea. Dilan dengan senang hati menerima aturan-aturan yang dibuat oleh Milea, bahkan ia sampai dikeluarkan dari sekolah karena membela Milea (sebenarnya ini karena Dilan baku hantam dengan Anhar, kawannya karena telah menampar Milea). Dilan juga menceritakan kehidupannya setelah putus dari Milea. Ia terus berusaha merelakan Milea untuk orang lain. Pada akhirnya Dilan menemukan pengganti Milea, walaupun sebenarnya ia masih ingin bersama Milea.

Saya sangat menyayangkan keputusan Milea yang gegabah, menurut saya. Ia dengan sangat cepat memutuskan Dilan hanya karena kecemasannya yang berlebihan. Menurut Milea itu adalah peringatan keras bagi Dilan agar meninggalkan geng motornya, namun tidak bagi Dilan. Dilan sangat menghargai keputusan Milea untuk berpisah. Bahkan ketika Bunda Dilan mempertemukan mereka berdua, Dilan sama sekali tidak berusaha untuk meminta Milea kembali. Saya juga kecewa dengan keputusan mereka yang terus hidup dalam praduga yang dibuat-buat sendiri tanpa mengetahui kebenarannya. Meskipun berakhir menyedihkan, kisah Dilan dan Milea mampu menginspirasi banyak orang.




Novel ini mengisahkan segala sesuatunya dengan sangat detail, dari situ kita tahu bahwa novel ini diangkat dari kisah nyata. Entah dengan tambahan beberapa kisah fiksi atau tidak novel Ayah Pidi benar-benar dikemas dengan apik. Banyak tanda tanya besar dari saya untuk novel ini. Setelah saya tahu bahwa Milea benar-benar ada apalagi terlibat dalam film yang saat ini sedang digarap, lalu saya jadi bertanya bagaimana perasaan suami Milea bahwa istrinya pernah teramat mencintai Dilan? Bagaimana perasaan suami Lia ketika kisah cinta istrinya dipublikasikan kemudian digandrungi oleh banyak orang? Lalu, siapa Dilan sebenarnya? Sosok Dilan asli sama sekali tidak pernah muncul ke media sosial. Pernah terbesit dalam pikiran saya bahwa Ayah Pidi Baiq adalah Dilan melihat dari gaya tulisannya di media sangat mirip dengan gaya tulisan Dilan di novel.

Saat membaca tiga novel itu terkesan bahwa karya tersebut ditulis langsung oleh Milea dan Dilan dari sudut pandang mereka masing-masing. Padahal jelas bahwa novel tersebut gubahan Pidi Baiq, artinya ditulis oleh Ayah Pidi Baiq dengan cerita yang bersumber dari Milea dan Dilan. Jadi, sampai novel ini selesai saya baca masih banyak pertanyaan saya yang belum terjawab.  Tapi terlepas dari itu semua kisah Dilan dan Milea mampu menginspirasi. Bahwa sesungguhnya cinta tak harus memaksa, Dilan juga bisa menyampaikan rasa sayangnya kepada Milea dengan berbagai cara unik. Dilan sangat menghargai Milea sebagai kekasihnya. Rasanya sedang banyak cewek yan pro Dilan, ingin punya sosok laki-laki seperti Dilan. Tapi saya tidak. Sebab saya sedikit kecewa dengan Dilan. Ia tidak melakukan apapun ketika Milea memutuskan hubungan mereka. Tidak berusaha menahan Milea, ia membiarkan Milea pergi, mereka berdua tidak berusaha menjelaskan apapun meski sebenarnya ingin. Dari Dilan dan Milea saya mendapat banyak pelajaran tentang saling menghargai dan menerima orang-orang di sekitar kita. Melihat sesuatu tidak dari satu sudut pandang saja, juga tentang bagaimana mengambil keputusan yang tidak terburu-buru.



Begitulah pandangan saya mengenai novel Ayah Pidi Baiq yang kata-katanya sedang banyak dikutip anak muda masa kini. Dilan dianggap sebagai laki-laki romantis yang digemari banyak wanita. Semua ingin Dilan. Tapi saya tidak. Karena Dilan sudah tua. Tahun 1990 saja dia sudah SMA, jadi ya terka sendiri sekarang usianya berapa. Terimakasih sudah membaca, semoga bermanfaat J

Rabu, 16 Agustus 2017

FULLDAY SCHOOL? Mengapa tidak? (Cerita Saya Tentang Fullday School yang Menyenangkan)

Assalamualaikum, para pembaca! Tulisan saya kali ini agak berbeda dari  tulisan-tulisan sebelumnya. Lebih panjang juga dari tulisan saya yang lain. Seluruhnya berisi opini saya mengenai program Menteri Pendidikan yaitu Fullday School yang diterapkan sejak tahun ajaran baru Juli 2017. Tulisan ini tercetus melihat keluhan-keluhan adik-adik kelas, saudara, kerabat yang sedang menjalani Fullday School.

Program ini diterapkan berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy Nomor 23 tahun2017 tentang Hari Sekolah. Secara umum Permen (Peraturan Menteri) ini mengatur tentang sekolah 8 jam sehari selama 5 hari. (Untuk lebih lengkapnya bisa cek di internet ya teman-teman). Pada saat awal program ini diterapkan saya biasa saja melihat adik-adik yang mengeluh karena pulang terlalu sore, mungkin mereka belum terbiasa. Namun setelah sebulan program ini berjalan sepertinya keluhan ini belum habis juga. Nah saya mau bercerita tentang pengalaman saya dengan Fullday School selama di jenjang SMP dan SMA. Semoga bisa bermanfaat bagi yang membaca, lebih senang lagi kalau bisa menghilangkan keluhan adik-adik tentang Fullday School.

SAYA DAN FULLDAY SCHOOL 2010-2013

Saya menikmati program ini sejak tahun 2010. Tepatnya tahun ajaran 2010/2011 di MTsN Lumajang. Jadi saat itu ada 2 program di MTsN Lumajang, kelas Fullday dan kelas reguler. Nah untuk masuk kelas Fullday harus lolos tes tulis dan tes baca al-qur’an. Seingat saya waktu itu saya sudah diterima di MTsN Lumajang sebelum UN SD berlangsung, jadi sudah masuk SMP sebelum lulus SD kurang lebih begitulah. Nah bedanya kelas Fullday dan Reguler adalah, banyak sih perbedaannya, saya kupas beberapa saja ya.

Yang pertama dari biaya SPP, awal saya masuk itu Rp 110.000 kemudian terus naik sampai saya kelas 9 itu biayanya sebesar Rp 130.000. Nah, untuk kelas reguler saya kurang tahu berapa biayanya. Seingat saya sih Rp 30.000 atau Rp 50.000, duh saya benar-benar lupa soal ini (tolong dikoreksi jika ada yang tahu kebenarannya). Kedua, kelas Fullday berakhir sampai pukul 16.00 di hari senin-kamis, sedangkan kelas reguler pukul 13.30. Untuk hari jumat Fullday dan Reguler berakhir pukul 13.00 (setelah sholat jumat) dan hari sabtu pukul 10.00. Ketiga, kelas Fullday mendapatkan makan siang, les bahasa arab 2 hari dalam seminggu (bekerja sama dengan lembaga diniyah), les bahasa inggris 2 hari dalam seminggu (bekerja sama dengan salah satu bimbingan belajar bahasa inggris di Lumajang), dan pelajaran diniyah 4 hari dalam seminggu (bekerja sama dengan lembaga diniyah di Lumajang), sedangkan kelas reguler tidak mendapatkan itu. Gara-gara kelas diniyah ini saya jadi belajar mengeja kitab dan menulis huruf pego.  Selain itu juga mendapatkan sertifikat les bahasa inggris juga raport diniyah. Keempat, kelas Fullday mendapatkan outbound di sekitar kota Lumajang saat liburan semester 1, dan tadabur alam di luar kota Lumajang pada saat semester 2, sedangkan kelas reguler tidak. Kelima, saat itu Fullday hanya 2 kelas sedangkan reguler 5 kelas. Dan yang saya tahu sekarang kelas reguler sudah berkurang jauh, Fullday sudah sampai 4 kelas atau 5 kelas ya? Ditambah lagi kelas akselerasi (sekolahnya agak kilat, cuma 2 tahun).

Melihat keluhan adik-adik tentang Fullday School, saya jadi ingat saat SMP dulu. Berangkat sekolah pukul 06.15 dengan mengendarai sepeda pancal (bahasa indonesianya apa ya?), jarak tempuh rumah-sekolah sejauh 6km. Kemudian pulang pukul 16.00, biasanya sampai di rumah pukul 16.30. Hari Jumat walaupun pulangnya siang, biasanya masih ada kegiatan lain seperti pramuka dan organisasi yang mengharuskan tetap pulang sore bahkan kadang malam. Oh iya, di MTsN sholat dhuhur dan ashar berjamaah, jadi sampai rumah tidak perlu terburu-buru sholat ashar. Tinggal istirahat dan bersih diri menunggu maghrib. Bahkan waktu saya kelas 9 juga ada sholat dhuha berjamaah pukul 06.30 dan itu wajib (jadi berangkatnya lebih pagi), saya masih ingat yang terlambat sholat dhuha diberi sanksi sholat dhuha di lapangan sekolah. Belum lagi pada saat kelas 8 ditambah les di salah satu bimbingan belajar, jadi ibaratnya baru sampai rumah sudah berangkat lagi. Dan saya menikmati itu semua. Bahkan ada beberapa teman saya yang rumahnya jauh dari sekolah dengan jarak tempuh sampai 30 menit, mereka harus berangkat pagi-pagi sekali dan sampai di rumah menjelang malam. Hebatnya tidak ada teman-teman yang mengeluhkan kegiatan ini.

Keluhan kedua juga tentang tugas yang menumpuk, saya lupa bagaimana tugas-tugas saya waktu itu. Yang jelas saya juga tetap dapat tugas dan sepertinya tidak sedikit. Saya masih ingat harus menghafalkan hadits-hadits, nahwu sharaf, menghafal kosa kata dalam bahasa inggris dan bahasa arab, dan lain-lain. Semuanya menyenangkan saat itu, walaupun capek tapi menurut saya tidak ada yang harus diragukan dari Fullday School.

SAYA DAN FULLDAY SCHOOL 2013-2016

Setelah lulus dari MTsN Lumajang, saya menempuh jenjang selanjutnya di SMA Negeri 1 Lumajang. Tidak ada program Fullday di sekolah ini tapi saya tetap pulang sore bahkan malam. Kenapa? Karena banyaknya kegiatan termasuk organisasi, jadi ceritanya tetap Fullday School, dan saya menikmati itu semua. Pelajaran berakhir pukul 13.30 di hari senin-kamis, pukul 10.45 di hari Jumat, dan 11.30 di hari sabtu, namun saya masih sering pulang sore sekali. Ketika saya kelas 11, saat itu sedang gencar-gencarnya lomba PBL (Problem Based Learning) yang diadakan oleh Sampoerna Foundation saya semakin sering pulang sampai malam dengan aktivitas yang begitu padat. Capek? Iya. Sempat mengeluh tapi saya senang dengan kegiatan yang bikin pulang sore itu. Kelas 12 menjelang ujian, ada program intensif yang dimulai pukul 05.45 dengan tambahan les di sore hari sampai pukul 15.00, biasanya saya berangkat pukul 05.30 dan teman-teman yang rumahnya jauh dari sekolah harus berangkat lebih pagi dari itu. Semuanya saya nikmati dan sangat menyenangkan bagi saya.

SAYA DAN FULLDAY SCHOOL 2016-SEKARANG

Lulus dari SMA saya kuliah di Prodi D-IV Gizi Klinik Politeknik Negeri Jember. Kuliah tidak membuat jadwal saya lebih baik. Saya masih tetap Fullday, bahkan terkadang saya mendapat kelas pukul 07.00-20.00, sehari penuh. Di Politeknik tidak seperti Universitas, di sini semua jadwal diatur oleh lembaga, sedangkan di Universitas mahasiswa bisa mengatur jadwalnya sendiri. Belum lagi ditambah praktikum-praktikum yang lumayan bikin capek, tapi lagi-lagi saya menikmati dan semuanya menyenangkan.

Jadi tidak ada pengalaman buruk menurut saya tentang Fullday School seperti yang dikeluhkan banyak orang saat ini. Bagi saya tidak ada salahnya berlama-lama menuntut ilmu. Lelah? Iya. Jenuh? Iya. Tapi selama kita menjalaninya dengan ikhlas dan hati yang lapang, insyaAllah kita bisa melewati semuanya. Tidak ada yang buruk dari menuntut ilmu dengan acuan waktu selama 8 jam sehari, tidak ada yang buruk dari banyaknya tugas, karena dari banyaknya tugas itu sangat bermanfaat bagi saya sekarang. Saya jadi terbiasa mengerjakan tugas dan laporan yang lebih banyak dari itu ketika kuliah. Dengan Fullday School itu juga saya jadi tidak kaget ketika harus kuliah sehari penuh, bisa diistilahkan “lebih tahan banting” begitu. Apalagi kegiatan PBL oleh Sampoerna Foundation, itu benar-benar memupuk keberanian, tanggung jawab, dan rasa percaya diri saya. Semua kegiatan “pulang sore” sejak 2010 itu sangat bermanfaat bagi saya sekarang.

Begitulah cerita dan pendapat saya tentang Fullday School yang berjalan di beberapa sekolah saat ini. Percayalah adik-adik, semua kegiatan baik yang melelahkan itu akan bermanfaat bagi kalian kedepannya. Tidak ada salahnya menuntut ilmu lebih lama dalam sehari, semuanya pasti bermanfaat nantinya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk siapapun yang membacanya. Mohon maaf jika ada kesalahan atau ada pihak-pihak yang tersinggung. Terimakasih.


Wassalamualaikum Wr, Wb.

Senin, 10 Juli 2017

PARAU #2

Kecamuk
Ini aku diperdaya rindu
Terkapar
Ini tanganku kehilangan kamu
Menggelepar
Ini otakku alzheimer
Sunyi
Itu kamu berdiri tanpa aku

Untuk kesekian kali Sri menghanyutkan suratnya di tepi pantai. Membiarkan ombak menelan tiap sajak sedih dalam suratnya-yang ketika Sri pergi ombak membawa kembali suratnya ke tepi. Seorang nelayan diam-diam memperhatikan Sri dari balik batu besar. Ia hafal betul di tiap sepertiga senja, Sri datang mengapit gulungan rindu, menghanyutkannya dengan harapan sampai pada yang terkasih, Tong. Tapi Sri tak pernah tahu bahwa ombak selalu membawa suratnya kembali, kemudian dipungut oleh nelayan yang patah hati melihat pujaan hatinya sedang bersedih. Maka surat itu tak pernah sampai pada yang terkasih. Kisah ini tetap jadi sedih. Begitu rupanya, Sri bersikukuh mengirim surat. Nelayan itu tak pernah lelah menunggui Sri dibalik batu besar-kemudian memungut kembali surat Sri. Dengan hati sedih dibacanya surat pilu itu. Ia mati rasa, mati gaya, mati apa sajalah melihat pujaan hatinya begitu cinta pada yang telah tiada. Sedangkan ia adalah keberadaan yang tak pernah nampak di mata Sri.
Nelayan itu, yang belakangan kuketahui namanya adalah Amron, lelaki jangkung dengan usia sedikit lebih tua dari Sri mungkin, entahlah. Bisa saja wajahnya yang dirundung kesedihan berhari-hari itu disertai hatinya yang carut marut menambah jerat usia di kelopak matanya. Tapi ia nampak tetap muda, menurutku. Atau cinta yang menyala-nyala saban pagi itulah penyebabnya. Menciptakan gairah dan semangat, sehingga wajahnya tetap bercahaya meski luka menghujani hatinya. Rumahnya tak jauh dari pantai, tempat rindu Sri berlabuh dan muara kesedihan bagi jiwa yang sering kali menitipkan luka. Maka tubuh Sri saban senja adalah mata jendela bagi rumahnya, yang di depannya singgah dengan kokoh sebuah batu besar. Batu itu nampak tak sedikitpun terkikis, sebab ombak tak pernah sampai menghantamnya. Juga hujan asam tak pernah sekalipun rela jatuh ke desa miskin itu, sehingga tak ada alasan yang mengurangi besarnya batu tempat nelayan itu bersembunyi. Dari situ ia menyaksikan Sri, mengenang kekasihnya sambil berurai air mata. Kemudian ia menyaksikan dirinya sendiri yang lapar cinta tak punya kekuatan untuk jadi sandaran bagi pujaan hatinya, Sri. Kisah ini terlalu pilu untuk ia nikmati di tiap senja. Tapi ia terlalu rindu untuk tak menemukan Sri sehari saja. Setelah Sri pergi bersama air mata yang membekas di pipi, ia berlarian kecil memungut surat Sri. Lalu masuk ke dalam rumah, menutup pintu dan jendela memastikan tak ada siapapun mengetahuinya berenang-renang luka. Surat itu terlalu rahasia baginya untuk diketahui orang lain. Tapi ia lupa, pantai itu teramat sepi sebab tak ada lagi nelayan membangun rumah di sana.

Ikan-ikan di sana sudah lihai menghindari jala, atau mungkin malas kawin sehingga tak beranak pinak lagi. Musim sudah berganti, ikan-ikan bermigrasi. Laut itu seperti kehilangan nutrisi, ikan tak mudah lagi ditemui pasca seorang nelayan meledakkan bom besar-besaran di tengah laut, kemudian ikan-ikan mengambang, tergelepar dan ia merasa itu adalah prestasi terhebat. Didapatkannya ikan berkuintal-kuintal, seluruh nelayan berbondong membuka karung menyisipkan ribuan ikan di dek kapal. Mereka tidak pernah sadar bahwa itu adalah kekayaan terakhir bagi penghuni pantai kala itu. Seminggu berselang perlahan jumlah ikan berenang terus berkurang. Nelayan harus ke tengah laut, mendamaikan ombak buas yang siap kapanpun menelannya, terlalu beresiko merelakan nyawa hanya demi rupiah, demi perut anak istri yang meronta-ronta. Maka nelayan-nelayan memilih pergi mencari laut lain untuk dihabiskan lagi kekayaannya. Kecuali Amron begitu cinta pada gubuk beratap rumbia, tempat ia mencumbui segala kenangan. Maka santai saja meski seorang diri, ia tetap ke tengah laut mencari ikan dengan cara paling manusiawi. Jika tak ada ikan ia pergi ke pasar membersihkan apa saja, kemudian ia tukar peluhnya dengan sarapan atau makan siang. Hidupnya cukup sederhana, tak ada yang bisa dibanggakan di depan mata Sri. 

PARAU

Teruntuk yang terkasih, Tong.
Ini aku
Kau tinggalkan
Hempas bersama rindu
Hampa tanpa kamu


Hai Tong, apa kabar? Kau masih hidup atau sudah pindah alam? Hidung kau berubah jadi pesek kah? Kau masih suka jailin tukang sate yang lewat tengah malam di taman kota? Tong, kau masih suka menjelma jadi monyet pencuri pisang di ladang sebelah rumah? Ah, Tong aku masih dengan rindu yang sama sejak kau pergi. Pergi dari aku, pergi dari kita Tong. Sejauh ini kau masih saja bisu. Sejak kau pergi, aku jadi bodoh Tong. Hendak saja aku menampang fotomu dengan tulisan besar “DICARI”. Aku masih berantakan Tong. Kau bilang akan menitipkan rindu pada hujan. Haha kau jangan gila Tong, hujan saja tidak mampu membawa dirinya bagaimana hendak membawa rindu?. Setiap kali hujan datang dan mampir di teras rumah kita selalu kutanyakan adakah titipan rindu dari kekasihku, Tong? Mereka acuh saja Tong, lalu untuk apa kau menitipkan rindu pada yang acuh? Kau juga pernah bilang, senja bisa sekali membawakan rindu dalam jingganya. Sayangnya senja tak mau bicara Tong, lalu sia-sia kau titipkan rindu pada kebisuan. Tong, tolonglah berpikir panjang bila hendak menitipkan rindu. Jangan pergi seenak kau mau. Aku ini hanya hidup denganmu, tiba-tiba saja aromamu tak pernah menggelikan bulu hidungku. Tiba-tiba saja suaramu tak memenuhi gendang telingaku. Semuanya serba tiba-tiba Tong. Aku belum siap, bahkan tak akan pernah siap Tong. Sejak kau pergi aku miskin seketika, Tong. Bagaimana tidak? kamu kan kekayaanku satu-satunya. Untungnya aku masih bisa hidup meskipun setiap hari harus makan dengan rindu. Tong maumu itu apa? Menggeletakkan kebahagiaan yang sudah kita bangun mati-matian. Jangan bodoh Tong, sekalipun aku biasa bekerja keras mengangkat karung-karung beras di pasar tapi aku tak cukup kuat untuk membangun kebahagiaan dengan sendiri begini. Tak lucu lah Tong, rumah bahagia yang kita bangun itu baru separuh. Lalu kau biarkan saja begitu? Menganga, menerima hujatan-hujatan luka akibat kau tinggalkan. Sudah separuh, hampir roboh pula. Bangunan itu terlalu rapuh lah, Tong. Aku ini sudah miskin malah kau buat makin miskin. Bosan Tong setiap hari makan nasi berlauk rindu, sekali-kali lah kau pulang, mewarnai sarapanku hingga tak jadi sesunyi ini. Kau kemana, Tong? Mulutmu itu kau museumkan kah? Pergi tak bilang-bilang, belum ada persiapanku untuk kesepian begini.  Tong, aku lelah menangisi kesendirian ini saban hari. Remuklah aku, Tong, kau titipi kenangan yang menyeret-nyeret langkahku untuk tetap tinggal di sini. Pulanglah Tong, pintu rumah kita selalu menganga, siap menelanmu dengan berbagai rupa kerinduan yang mahal. Bayar semua kesalahanmu Tong, cumbui rinduku. Jangan kau pasung aku begini, hidup dalam ketidakpastian tanpa matamu dan sumpah serapahmu yang romantis. Jangan sadis Tong, cepatlah pulang. Sebelum rumah kita usang, dan aku tergeletak didalamnya lalu kukuburkan diriku sendiri dalam gundukan kenangan yang kau ciptakan. Pulang Tong, Pulang!


*Tulisan ini diposting ulang dengan sedikit perubahan*

Catatan penulis : Terimakasih untuk yang sudah berkenan membaca. Akan sangat bahagia jika Anda berkenan meninggalkan saran dan komentar :)

Sabtu, 04 Maret 2017

BISIK KATA UNTUK LUNAR

Sesekali saya berkirim surat dengan Lunar-gadis anggun dengan sajak yang menawan. Kami mengisahkan banyak hal. Tidak berat, hanya sajak dan celotehan ringan. Sila membaca! Semoga berfaedah.

[[BEDEBAH]]
Hai Lunar, semoga surat ini sampai padamu dengan pendaratan yg elok
di savana hatimu yang lapang.
Pagi ketika matahari meliuk indah di ufuk-
Aku sedang mendengarkan angin, atau kau dengar juga Lunar?
Ia bersiul menyampaikan pesan perihal kekacauan peradaban. 
Dunia porak-poranda, katanya. 
Negeri ini sedang dicengkeram kesombongan juga cawan kekuasaan.
Perih, telingaku tersayat.
Malam pekat Lunar,
Kubangun negeriku sendiri
Tanpa kebengisan, setetespun. 
Mungkin kau juga harus mencoba membangun negerimu sendiri.
Kemudian seseorang menananami rindu di sana
Dipupuk ketulusan
Disiangi kejujuran
Maka negeri yg damai sedang bergerak
Membangun kekuatan
Sang angin balik arah, menuju tuannya.



Lunar baik, Ia tak pernah terlambat membalas suratku. Silahkan membaca balasan Lunar di  Balasan untuk Ayana


Dan kami terus berbalas

Lunar bukankah sudah kubilang 
lebih baik kita bangun negeri kita sendiri
Sebab untuk apa 
tumbuh di ceruk kehancuran? 
Kau hendak mati dilucuti cara romantis?

Aku sesak napas
Saban hari sarapan kisah korupsi
Sungguh bergizi
Negeriku kurus prestasi
Mengenaskan
Anak muda - diperdaya percakapan semu
di lini media massa
Juga politik di sini menjelma sang maha kuasa
Di elu-elukan oleh kebodohan publik

Hiruk pikuk perebutan kursi jadi sorotan
Pertumpahan darah paling menawan
Tapi mereka hanya pahlawan
bagi biang aib sendiri!
Alibi
Mengatasnamakan negeri
Memperkaya kantong pribadi


Cuh!
Ku muntahkan janji keadilan
yang masuk ke kerongkongan rakyat
Siapa pula rela dahaganya disirami ketidakadilan?
Negeriku compang camping
Kejujuran robek di segala sisi
Tak ada yg bisa tumbuh
Barang sebatang saja
Tanahnya carut marut
Digerogoti dengan keji



Sore ini
Angin tak bersiul
Ia kehilangan penunjuk arah
Negeriku diliputi polusi kesedihan
Asap-asap duka.



Lunar, mari beranjak
Tinggalkan negeri para bedebah
Biarkan keegoisan terus meletup disana
Mereka semacam
gelandangan berjubah keserakahan
Esok kuajari kau memilah peradabanmu sendiri
Tagih aku-si gembala sifat pelupa


Silahkan kembali membaca balasan Lunar di Ayana, Ku tagih janjimu sampai ke neraka
Semakin diteruskan percakapan kami tentunya tak berujung. Maka saya, memilih menyelesaikannya. Dan menutup sekat percakapan.



.
Lunar

Sebentar
Ijinkan aku menertawai sajakmu yang tersulut emosi
Ada api kebencian di sana
Napasmu tersengal-sengal
Disusul perasaan bahagia tak terjamah

Haha!
Kau adalah putri kekufuran
di tengah peradaban 
terus berkejaran
menuju cawan jahiliyah




Rupanya aku tidak lagi jadi putri paling merana 
lebih bersungut-sungut
Adalah kau-
Tuan putri menyanggah mahkota kesengsaraan
dan berlian air mata

Sudahkah kau hitung berapa tapak nestapa yang kau jajaki?
Atau penanda jalan
pada kilometer sekian memberikan rangkain ketabahan?

Lunar-
Saban mentari menggulung tikar
dan malam menggelar gugusan bintang
negeri berpondasi rindu milikku terus memperbaiki diri

Lunar, 
Kota sedang riuh rendah
Ratusan sedan menikmati aspal berlubang
Lampu kota bertugas
tanpa keluhan
Tapi siapa pula yang peduli ia merintih
Sebab kota di negeri ini
serupa insomnia berkepanjangan
Tak usah kau tagih janjiku berlebihan
Bukankah
Tlah kau nikmati sedu sedan neraka?
selama ini.

OTORITASI SEPI.

Aku lari
Kencang
Terjerambab kemudian
Ilusi-ironi-elegi
Kisah ter-menyedihkan

Aku berdiri
Tegap
Terperosok kemudian
Menekuni rindu pincang

Hemodialisis? Begitu
Estetika menguatkan yang rapuh
Seni mengukir kesakitan
Mengaum di dengung
Gema

Aku adalah bab/
Revisi tiap pagi
Aku kopi/
Pahit tiap sisi
Pendahuluan/
Tafsir makna berselimut kebodohan
Aku madu/
Digelonggong air kebisuan//

Aku ingat/
Lupa di setiap hal
Aku girus/
Lurus karena janji belaka
Aku renal/
Gagal berfiltrasi
Aku aorta/
Sempit menutup kebenaran
Tak berdaya mengeja Illah
Aku colon/
Busuk digerogoti waktu//

Kemo saban hari
Meludahkan racun kenestapaan
Darah peluh
Tangis purba

Aku belajar
Rupa kehidupan
Kecuali gelap
Bertahta kehilangan

Proposalku pada Tuhan
tak didanai.
Ia tetap melengang pergi
Aku miskin-