Di tulisan kesekian yang (masih) kurang penting ini saya masih bercerita tentang rindu, masih tentang rindu dan selalu tentang rindu. Bagi saya rindu masih menjadi kata paling romantis. Rindu menyimpan kehangatan, kasih sayang dan do'a. Tulisan ini sukses diselesaikan pada saat, em, saya lupa kapan tulisan ini saya buat. Sudah terlalu lama rupanya. Baiklah selamat membaca, semoga merindu :)
Surat dan Metamorfosa Rindu
(Mozaik 1)
Hai Tong, apa
kabar? Kau masih hidup atau sudah pindah alam? Hidung kau berubah jadi pesek
kah? Kau masih suka jailin tukang sate yang lewat tengah malam di taman kota?
Tong, kau masih suka menjelma jadi monyet pencuri pisang di ladang sebelah
rumah? Ah, Tong aku masih dengan rindu yang sama sejak kau pergi. Pergi dari
aku, pergi dari kita Tong. Sejauh ini kau masih saja bisu. Sejak kau pergi, aku
jadi bodoh Tong. Hendak saja aku menampang fotomu dengan tulisan besar
“DICARI”. Aku masih berantakan Tong. Kau bilang akan menitipkan rindu pada
hujan. Haha kau jangan gila Tong, hujan saja tidak mampu membawa dirinya
bagaimana hendak membawa rindu?. Setiap kali hujan datang dan mampir di teras
rumah kita selalu kutanyakan adakah titipan rindu dari kekasihku, Tong? Mereka
acuh saja Tong, lalu untuk apa kau menitipkan rindu pada yang acuh? Kau juga
pernah bilang, senja bisa sekali membawakan rindu dalam jingganya. Sayangnya
senja tak mau bicara Tong, lalu sia-sia kau titipkan rindu pada kebisuan. Tong,
tolonglah berpikir panjang bila hendak menitipkan rindu. Jangan pergi seenak
kau mau. Aku ini hanya hidup denganmu, tiba-tiba saja aromamu tak pernah
menggelikan bulu hidungku. Tiba-tiba saja suaramu tak memenuhi gendang telingaku.
Semuanya serba tiba-tiba Tong. Aku belum siap, bahkan tak akan pernah siap
Tong. Sejak kau pergi aku miskin seketika, Tong. Bagaimana tidak? kamu kan
kekayaanku satu-satunya. Untungnya aku masih bisa hidup meskipun setiap hari
harus makan dengan rindu. Tong maumu itu apa? Menggeletakkan kebahagiaan yang
sudah kita bangun mati-matian. Jangan bodoh Tong, sekalipun aku biasa bekerja
keras mengangkat karung-karung beras di pasar tapi aku tak cukup kuat untuk
membangun kebahagiaan dengan sendiri begini. Tak lucu lah Tong, rumah bahagia
yang kita bangun itu baru separuh. Lalu kau biarkan saja begitu? Menganga,
menerima hujatan-hujatan luka akibat kau tinggalkan. Sudah separuh, hampir
roboh pula. Bangunan itu terlalu rapuh lah, Tong. Aku ini sudah miskin malah kau
buat makin miskin. Bosan Tong setiap hari makan nasi berlauk rindu, sekali-kali
lah kau pulang, mewarnai sarapanku hingga tak jadi sesunyi ini. Kau kemana,
Tong? Mulutmu itu kau museumkan kah? Pergi tak bilang-bilang, belum ada persiapanku
untuk kesepian begini. Tong, aku lelah
menangisi kesendirian ini saban hari. Remuklah aku, Tong, kau titipi kenangan
yang menyeret-nyeret langkahku untuk tetap tinggal di sini. Pulanglah Tong,
pintu rumah kita selalu menganga, siap menelanmu dengan berbagai rupa kerinduan
yang mahal. Bayar semua kesalahanmu Tong, cumbui rinduku. Jangan kau pasung aku
begini, hidup dalam ketidakpastian tanpa matamu dan sumpah serapahmu yang
romantis. Jangan sadis Tong, cepatlah pulang. Sebelum rumah kita usang, dan aku
tergeletak didalamnya lalu kukuburkan diriku sendiri dalam gundukan kenangan
yang kau ciptakan. Pulang Tong, Pulang!
Bersambung...