Assalamualaikum,
pembaca! Tulisan ini berisi review dari saya setelah satu tahun kuliah di
Jember, kuliah di kampus yang biasa saja (bukan kampus idaman). Perlu diingat
ya semua tulisan ini berisi opini saya, apa yang saya rasakan, sudut pandang
saya. Jadi, bila ada yang kurang setuju atau tidak sependapat bisa disampaikan.
Karena semuanya di sini berasal dari pendapat dan pengalaman saya. Selamat membaca
J
Asal
Mula Kuliah di Jember
Soal ini pernah saya
bahas di tulisan saya sebelumnya, bisa di scroll
down. Oh iya, bagi yang belum tahu saya adalah mahasiswi D-IV Gizi Klinik
Politeknik Negeri Jember. Dulunya, Jember bukan tujuan utama saya dalam memilih
kuliah. Terlebih politeknik, sama sekali tidak ada bayangan pendidikan vokasi
itu bagaimana. Karena saya dari SMA bukan SMK jelas tidak pernah kepikiran mau
melanjutkan ke pendidikan vokasi. Semua hanya sebatas coba-coba dan ajakan
teman. Seperti anak SMA yang lain yang pasti punya mimpi yang tinggi. Kuliah di
kampus idaman, kampus besar, diimpikan banyak orang. Jember mungkin hanya jadi
salah satu pilihan atau bahkan pilihan terakhir. Tapi saya? Tidak mendapatkan
kampus impian saya, yang berhasil saya dapatkan hanya jurusan yang saya
inginkan di kampus yang sama sekali tidak masuk daftar keinginan saya. Ini yang
saya syukuri, kuliah di jurusan yang sesuai dengan keinginan saya. Setiap hari
ada hal-hal baru yang membuat saya semakin nyaman ada di sini.
Ketika saya berkunjung
ke kampus-kampus di Malang atau Surabaya, saya baru sadar ternyata kampus saya
itu kecil. Gedungnya tidak terlalu banyak,
yang luas itu sawah dan kandangnya. Kantinnya saja hanya satu, di kampus
lain tiap fakultas ada kantinnya kalau di Polije se-poltek itu kantinnya hanya
satu dan itu selalu ramai karena memang tidak sebanding dengan jumlah
mahasiswanya. Tapi tidak apa, saya syukuri. Setidaknya kalau gabut bisa
keliling kampus, ke sawah, ke kebun, atau yang paling menyenangkan adalah
melihat sapi di kandangnya.
Beda
Politeknik dengan Universitas
Sebelum kuliah saya
selalu mencari info tentang kehidupan kampus, dari kakak kelas, dari tetangga,
saudara, membaca di media, dari banyak sumber. Semuanya adalah tentang
kehidupan kampus di Universitas. Sayangnya, saya tidak di sana. Setelah melewati
masa PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru) saya dihadapkan
dengan kehidupan berbeda dengan apa yang saya bayangkan. Pendidikan vokasi
lebih keras dari ekspetasi saya. Gambaran umumnya nih ya buat yang tidak kuliah
di Politeknik, bedanya itu seperti SMA dan SMK tapi lebih kompleks. Di politeknik
kita dibekali skill atau kemampuan
karena outputnya adalah mahasiswa yang siap kerja. Nah untuk mengasah skill ini tentunya ada banyak praktek
yang mendukung, namanya aja kan Poltek jadi ya pol praktek. Kita bisa saja seharian praktek. Kuliah dari jam 07.00-20.00.
Masih ditambah laporan dan tugas-tugas lainnya, belum lagi yang sibuk dengan
organisasi. Jadwal kuliahpun ditentukan oleh lembaga, kita tidak bisa mengatur
jadwal kuliah kita sendiri. Semuanya sudah diatur.
Ketika masuk kuliah
bayangan saya adalah tidak berseragam seperti mahasiswa pada umumnya. Kuliah dengan
style yang disukai, rambut gondrong,
kaos oblong, celana jeans, dan ya
yang semacam itu lah. Tapi di politeknik tidak! Saya masih harus berseragam
dari senin hingga jumat (hanya di jurusan kesehatan, di jurusan lain seragam
hanya di hari-hari tertentu). Rambut tidak boleh gondrong, mahasiswanya masih
rapi-rapi semua. Semuanya diluar ekspetasi saya. Tapi, tetap saya nikmati, saya
syukuri. Ada untungnya kan berseragam,
tidak bingung pilih baju kalau mau berangkat kuliah.
Lingkungan
dan Kultur di Jember
Mayoritas masyarakat
Jember berbahasa madura dan saya tidak bisa berbahasa madura. Mahasiswa di sini
beragam, tapi masih banyak yang dari
kota terdekat seperti Lumajang, Probolinggo, Bondowoso, dan Situbondo yang
mayoritas berbahasa madura. Setahun di sini logat lumajang saya jadi agak
tergeser. Biasanya yang paling sering terdengar itu kalimat-kalimat begini, “Boh,
yaapa pas”, “Jek kamu gitu gel-megelin”, “Cek lamanya rawes”, “Mara yang baik
mad”, dan lain-lain yang menurut saya itu lucu.
Cuaca dan suhu di Jember
tidak beda jauh dengan Lumajang walaupun lebih panas, ini memudahkan saya untuk
beradaptasi. Nah, satu hal lagi yang saya syukuri, Allah memang tahu apa yang
hamba-Nya butuhkan, bukan yang diinginkan. Karena tubuh saya agak manja ya,
tidak bisa tinggal di suhu yang terlalu dingin atau terlalu panas Jember
menjadi tempat yang sesuai. Malang itu terlalu dingin bagi saya, Surabaya itu
terlalu panas. Beberapa teman saya mungkin paham bagaimana reaksi tubuh saya
ketika suhu lingkungan sedang ekstrim atau tidak mendukung. Kalau makanannya di
Jember masih tergolong murah, saya jadi tidak perlu berpikir sangat keras untuk
berhemat karena memang uang pas-pasan. Tapi cukup, kebutuhan saya tercukupi di
sini. Coba kalau saya di kota lain yang lebih besar, yang makanannya lebih
mahal apalagi cafe-cafe dan fastfood mudah ditemui saya pasti harus berpikir
lebih keras untuk berhemat.
Betah
Atau Tidak di Jember?
Semester lalu saya
masih sering pulang, setiap minggu selalu pulang ke Lumajang jadi saya dianggap
tidak betah di Jember. Padahal statement
itu salah besar. Saya pulang bukan
karena tidak betah, tapi memang ada kesempatan untuk pulang. Kalau semester
ini yang lebih berat saya jadi agak sulit pulang ya tidak pulang. Lumajang-Jember
bisa ditempuh dalam 1,5 jam, pun saya biasa pulang sendiri jadi kegiatan pulang
kampung lebih fleksibel dan mudah dilakukan. Saya selalu memanfaatkan
kesempatan pulang itu dengan baik walaupun kadang hanya sehari. Karena orang
tua saya bukan tipe orang yang selalu chat
atau telfon anaknya. Jarang sekali tanya “sudah makan apa belum”, “sudah bangun
belum”, “sedang apa”, bahkan kadang seminggu tidak telfon sama sekali. Bukan mereka
tidak peduli, tapi saya yakin orang tua saya selalu memikirkan anaknya dan
selalu mendoakan. Ibu saya ikatan batinnya sangat kuat, setiap saya sangat
lelah atau sedang sumpek-sumpeknya
saya hanya bilang “Ya Allah saya kangen umi” tidak lama setelah itu pasti
ditelfon oleh umi atau abi. Karena itu sesibuk apapun saya pasti menyempatkan
pulang walaupun harus pulang membawa tugas, setidaknya tidak membuat orang tua
saya khawatir. Nah, ini yang saya syukuri. Kuliah di Jember tidak jauh dari
rumah, saya mudah untuk pulang, mudah untuk memastikan orang tua saya baik-baik
saja secara langsung.
Hikmah
Kuliah di Jember
Lalu hikmahnya apa
kuliah di kampus yang biasa saja? Saya kuliah di jurusan yang menyenangkan. Jurusan
yang mengajarkan banyak hal menakjubkan. Hal-hal yang harus disyukuri setiap
hari. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas. Banyak kemudahan yang saya
temui selama kuliah. Di semester awal itu seperti semester penuh perjuangan, survival banget gitu. Tapi karena akses
untuk pulang itu mudah semuanya bisa diatasi. Apalagi selama di sini banyak
yang sayang saya, saya punya teman-teman dan saudara yang sangat peduli. Saya tidak
pernah merasa sendirian, banyak orang-orang yang membantu dan memudahkan.
Kampus saya memang tidak besar, tapi saya
senang ditempatkan di sini. Kalau ditanya “kuliah dimana?” sekarang saya sudah
sangat ikhlas dan bangga menjawab “Di Jember”, walaupun pertanyaan selanjutnya
selalu “Oh, di Unej ya?”, saya tetap ikhlas menjawab “Bukan, di poltek.”, dan
coba tebak pertanyaan selanjutnya apa? “Oh, D3 ya?”, saya masih ikhlas saja
menjawab “Bukan, D4”. Kesannya itu seperti begini loh “Oalah cuma kuliah di poltek, mau jadi apa nantinya”. Politeknik
masih dianggap sebelah mata, padahal kalau saya boleh besar hati sedikit nih,
di Politeknik kita dibekali skill
yang tidak diberikan di Universitas. Kuliah kita lebih berat dan lebih
melelahkan, silahkan kalau mau bilang “Itu
kan karena kamu kuliah di poltek jadi dibangga-banggain”. Itu yang saya
rasakan, itu yang saya lihat. Kita disiapkan menjadi mahasiswa yang siap kerja.
Dulu waktu PKKMB kita diberi semangat dengan lagu ini, “Siapa bilang diploma
itu beda, diploma sama dengan sarjana. Yang bilang diploma itu beda, hanya
orang yang tak pernah kuliah.” Lagu itu sangat bermakna bagi saya, benar-benar
bisa jadi penyemangat. Yang bisa paham makna dari lagu itu ya yang kuliah di
Politeknik. Diploma memang sama dengan sarjana, bahkan menurut saya lebih berat
prosesnya.
Ketiga, saya tidak sedikitpun
menyesal ada di sini. Saya sudah ikhlas tidak diterima di kampus yang besar. Karena
tolak ukur kesuksesan tidak dilihat dimana ia belajar tapi bagaimana ia
belajar. Untuk yang sudah terlanjur kuliah di kampus yang biasa saja, coba deh
diubah sudut pandangnya. Dibuang penyesalannya atau rasa marah karena tidak
diterima di kampus yang besar. Ini salah satu motivasi saya untuk tetap
berusaha keras, “Kampus besar itu hanya salah
satu jalan, bukan satu-satunya jalan”.
Kalau statement saya ini salah
silahkan dibenarkan. Untuk adik-adik yang mau kuliah, jangan pesimis. Kalian harus
tetap punya mimpi besar. Kuliah dimanapun sesuai dengan apa yang kalian
impikan, tapi ingat disesuaikan dengan apa yang kalian butuhkan. Untuk teman-teman
yang sudah kuliah sekarang bukan saatnya “Kenapa kok saya ga lolos di sana,
kenapa saya harus kuliah di sini?” tapi diubah jadi “Bagaimana saya harus
nyaman dan sukses dari sini”.
Semua tulisan ini
berasal dari pemikirian saya, dari apa yang saya rasakan. Mungkin ada beberapa
yang sependapat. Kalau tidak sependapat, silahkan disanggah karena memang opini
tiap orang itu berbeda. Semoga sudut pandang saya ini bisa memberi manfaat. Mari
sama-sama kita belajar, menyikapi takdir dengan positif dan rasa syukur. Semoga
kita semua bisa sukses dengan jalan kita masing-masing.