21.30 cukup malam
bagi mahasiswi yang mencoba realistis, nampak memaksa diri merapikan jam
tidurnya. Tidak ada yang salah malam ini, selain sepi yang sesekali menengok.
Mengintip malu dari balik tirai, mencari rinai keramaian–barangkali di jalan
depan sana. Sayangnya hujan yang menderas 3 jam terakhir menyisakan gerimis dan
rasa enggan sehingga jalanan lengang. Hanya sesekali, satu dua deru motor
terdengar, dan kentongan tukang nasi goreng keliling “tok.. tok...” pilu
memanggil perut kelaparan. Sembari menemani sepi, aku memilih menjamah mesin
tik ini. Ada selayar kata yang perlu diutarakan. Sebab apa-apa yang dipendam
dalam tubuh perlu diekskresikan secukupnya. Tidak melulu keringat, kebohongan sepesing urin, ego sekeras feses
konstipasi, barangkali cukup ringan, hanya sebuah kata-kata. Sebentuk kecil
dalam tubuh kita agaknya perlu seimbang, macam sekecil biji sawi bila
berlebihan dan dipendam berkepanjangan bukanlah sebuah kabar baik, pun dengan
kata-kata.
Malam ini kutebak
beberapa awan menyelipkan bintang, ia tidak terdistorsi seutuhnya hingga
menyerupai kegelapan. Aku menuliskan ini dengan perasaan papah dan kelapangan
dada untuk mengalah dari yang lalu. Beberapa tahun terakhir, barang terhitung
tujuh, aku mengalami ritme kehidupan yang semarak, rima yang beragam, bait yang
penuh tipografi. Cacian, pujian, keramaian, kesepian, tawa, tangis, kebahagiaan
dan hal yang selalu tak pernah kusiapkan ialah kehilangan. Sekuat apapun aku
menata diri dan hati, kehilangan adalah momentum menyakitkan dalam hidupku.
Sejak aku memahami makanan tanpa micin adalah enak, parahnya dengan micin lebih
enak, pikiranku terus terbuka–berkembang biak dengan pasti.
Sesekali aku menerka, mungkin hidup bukan sekedar anabolisme-katabolisme, sebatas membangun-menghancurkan, meninggalkan-ditinggalkan, melupakan-dilupakan, terlalu sederhana. Lebih rumit dari itu, hidup adalah pasal pemaknaan dan penerimaan.
Aku tidak pernah
menyalahkan siapapun atas kesedihan-kesedihan yang kualami. Perihal airmata
yang jatuh beruntun itu kuikhlaskan kepergiannya, sekali lagi apa yang ada di
dalam tubuh kita perlu diekskresikan. Kubiarkan ia menetes, meluruhkan dendam
dan amarah. Sebab aku hidup tidak belajar menjadi manusia egosentris, melainkan
belajar berbagi dan membuka diri. Termasuk membuka diri padamu. Bisa dikatakan
itu adalah kali pertama aku berani – meyakinkan diriku, hatiku, dan apa yang
ada di aku untuk kau beri hak milik, apakah berlebihan? Mungkin iya. Kala itu
aku masih terlalu kanak, bukan hanya usia tapi juga perasaan yang diutarakan
tanpa pematangan. Untuk kemudian yang kutemukan adalah kau yang disastria
dihadapanku, pun aku demikian. Aku memahami apapun yang terjadi dalam jeda-jeda
nafasku, termasuk kamu adalah ingatan kuat dalam girusku. Setelah masa itu aku
menjadi anafilaksis terhadap sepi-sepi yang berserakan, untuk itu bersamamu di
masa lalu perlu kiranya dalam hidupku. Tidak melulu soal cinta-cintaan, tapi
ayolah – mungkin ini jawaban bagi pertanyaan, apakah kesepian perlu
digembirakan? Iya, hatiku butuh genggaman.
Sekarang, di
tempatku duduk, pikiranku masuk lebih dalam ke lorong masa lalu. Melihat
kembali satu persatu kepingan kisah. Untuk menjadi pembelajaran, evaluasi diri
hingga mampu menarik kesimpulan. Selepas denganmu, atau mungkin tidak
benar-benar lepas. Sebab faktanya aku masih denganmu di senin-sabtu, bahkan
minggu untuk sekitar satu-dua tahun setelahnya. Aku mensyukuri sekecil apapun
yang terjadi, pertemuan denganmu, dengan temanku dan temanmu, dengan
kehidupanmu, termasuk menjadi pilihanmu – kala itu. Pikiranku masuk kembali
lebih jauh, aku masih ingat meskipun masih kanak tapi aku cukup dewasa untuk
memilih apa yang aku butuhkan dalam hidupku. Usiaku masih terlalu dini untuk
memahami penerimaan maka yang lahir adalah sebuah tuntutan, yang aku butuhkan
darimu lebih dari yang sekedar kau berikan. Tapi saat itu aku belum tahu cara
untuk mengungkapkan. Aku telah merelakan diri membuka hati tapi semakin
beranjak tak pernah kutemukan bahwa kau sedang memberi hati. Maka aku butuh
penyelesaian, sebab kurasa perasaan ini tidak perlu lagi berkepanjangan. Aku
memilih untuk menyelesaikannya. Kita adalah dua insan yang amat berbeda.
Pikiran kita, kurasa tak bisa lagi dilebur hingga disefalus barangkali.
Menurutku, kita (atau entah hanya aku yang berfikir demikian) yang berawal dari
persahabatan perlu diakhiri dengan persahabatan pula, tidak perlu masuk lebih
jauh. Sebab akhirnya aku tahu, apa yang aku butuhkan bagi diriku.
Sebuah keputusan
yang terlalu dini juga menurutku. Ternyata perasaan yang diutarakan tanpa
pematangan itu tak pernah benar-benar masak hingga beberapa bulan setelahnya.
Maka aku tahu, bukan kamu tempat untuk mematangkannya. Bagiku, kau adalah
misteri. Aku tidak mengenalimu dengan baik, banyak sekali hal yang tidak aku
tahu. Padahal aku telah membuka diri, siap kau tempati kala itu. Tapi mungkin,
kita tak pernah tahu cara yang benar untuk mengungkapkan. Untuk itu aku
memahami, dari gerak-gerikmu – aku tidak kau inginkan untuk tahu segalanya
tentangmu. Sederet kalimat yang membuang waktumu ini hanyalah sudut pandangku,
apa yang aku lihat dari sisiku. Tentangmu, tidak ada sisi lain yang bisa
kumasuki untuk bisa memahamimu. Setelah kata-kata pecundang dan caraku pergi
yang sangat tidak bertanggung jawab itu, kau seolah menutup diri. Tidak
memberiku akses untuk sekedar bilang terimakasih atau maaf barangkali. Aku
tahu, jika aku telah memilih pergi maka yang kau lakukan menutup jalanku untuk
masuk ke duniamu lagi. Mungkin ini lancang. Bisa saja, kau sudah menutup rapat
lembaran di kala itu. Tidak ingin mengingatnya sekalipun. Tapi sebelum aku
tidak lagi bisa sekedar mengucapkan “hai” padamu, maka aku rasa teramat perlu
mengutarakan ini.
Jika ini bagimu
berlebihan, tapi bagiku sangat tidak. Sebab kamu, memberiku banyak pelajaran,
perihal penerimaan dan mengungkapkan. Aku menjadi hati-hati meletakkan hati.
Tidak semua yang telah bersamaku adalah keseriusan. Ada yang sekedar euforia,
memalsukan sepi. Jika mungkin aku telah mematahkan hati maka kemudian yang
kudapat adalah hatiku yang dipatahkan. Setimpal. Sudah kurasakan manis pahit
mencintai, diawali dari membuka diri padamu. Pasal hati mungkin bagimu membuang
waktu, tapi sekali lagi aku tahu apa yang aku butuhkan. Aku hanya ingin mengucapkan
terimakasih atas banyak pelajaran yang kau berikan. Aku punya banyak indikasi untuk tetap menjadi
temanmu, kan? Selamat melanjutkan hidupmu, semoga kamu tidak pernah mengutuk
masa itu, haha.
Melepasmu bukanlah penyesalan, yang aku sesali hanyalah caraku pergi. Maaf untuk yang sudah terjadi. Coba buka hati lebih lebar lagi, dengarkan perasaan yang riuh di sekitarmu. Di sana ada yang menunggumu, tapi bukan aku. Semoga segera kau temukan.
Malam makin larut,
jariku belum ingin berhenti menari. Kulihat foto berbingkai di sebelahku.
Kemudian kusunggingkan senyum. Pikiranku selesai masuk ke lorong-lorong.
Sekarang ia sedang berjalan di koridor menuju pintu keluar. Aku telah selesai
mengambil pelajaran, sekarang sedang kususun untuk menjadi kekuatan bagi
kehidupan. Tiap hela nafasku perlu diisi dengan dengung-dengung syukur dan
penerimaan. Dalam hidup, manusia datang dan pergi bergantian, tapi tidak ada
yang kebetulan. Dipertemukan denganmu menjadi rima yang hangat, mengesankan.
Nanti, saat rambutku mulai beruban, akan kuceritakan kepada anakku perihal
siapa-siapa yang dulu hadir, termasuk dirimu.
Aku sudah tahu caranya memaknai dan menerima segala yang sudah kualami. Kedatangan dan kehilangan. Belajar mengikhlaskan saban hari. Hidup masih cukup rumit untuk dimaknai, aku akan terus menumbuhkan girus di otakku, menjadi pemikir.
Selamat malam.