Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Senin, 16 Februari 2015

Sebut saja, aku puisimu

setapak memberi arah pulang, bentangan di kejauhan seperti sisa evolusi peradaban
kelam, hidup kekosongan makna pada jeruji di titik kenang yang hampa
sekeranjang hujan menjadikanku hilang di kesunyian
masih pada hening yang sama
aku pulang meninggalkan jejak
tak satupun harap tersirat menerpa aorta
sunyi masih tak berubah
ketika pintu bernafaskan doa dan jendela-jendela kerinduan menyapa sendu yang merayu
seperti masa yang tak berani beranjak , cinta tak membebaskan
dunia masih sama
saat aku menerjang kepiluan di sisa senja dan gagak hitam menari di atas kepala
ambisi berlarian menjelma senyap pada bahagia yang tak sebentar
hidup mulai malas bercerita, mengenang rantai kehidupan yang pelak tak berujung
aku, berdiri pada satu kemalasan bersuara
dunia yang kehilangan mata merindukan arti sebuah perjalanan
aku lupa cara beranjak dari kehidupan tuli oleh kegelisahan
sengaja kulupakan agar tak pernah ada ingatan pada setapak jalan kesunyian
rindu lumpuhkanku pada metamorfosa keberadaan seorang lain
rima yang akhir, kubiarkan rindu memasungku padamu-
sehingga kelak puisi melupakan rimanya

rinduilah puisimu. 

Rin-du, Begitu!

Saat aku hendak menitipkan luka, pada burung-burung kertas yang kehilangan nyawa itu, kau datang dengan sekeranjang rindu yang tiba-tiba kau sandarkan pada kepiluan diantara kita. Ini terlalu berat untuk kubawa sendiri, untuk kujamah hingga ke dasar keranjang, tanganku tak cukup kuat, tak cukup panjang. Tapi kau bersikeras memintaku membawa keranjang rindu itu sendiri. Kau jahat. Masih dalam umpatan yang sama kupegang erat keranjang itu, dengan seluruh ketangguhan rindu yang kupunya kueratkan pegangan di keranjang besar. Kau tertawa, melihat peluh yang tiba-tiba bercucuran hangat. Rindu itu tak bisa kuangkat sedikitpun, tapi kau masih memaksaku mengangkatnya. Untuk apa kau bawakan aku rindu? Aku sudah punya banyak rindu, di setiap jejak yang kita ciptakan, di butir-butir pasir yang kita genggam, di tiap-tiap air mata. Rinduku terlalu banyak bahkan, sampai kutitipkan pada bintang gemintang atau rinai hujan. Kadang kubiarkan rinduku menjadi bekal berkicau si burung camar. Lalu kau datang dengan sekeranjang rindu yang beratnya tiada terkira, untuk apa? Ketika kau pulang dengan mengulum senyum dan bola mata berbinar-binar, aku masih terpaku pada tanya yang sama. Kupandangi saja sekeranjang rindu itu. Kuperhatikan tiap lekuknya, indah. Lama kupandangi, tiba-tiba ada selembar rindu yang jatuh. Kupungut perlahan, hangat. Seminggu berselang kau datang lagi, dengan keranjang rindu (lagi). Setiap aku hendak menitipkan luka pada burung-burung kertas itu kau selalu datang dengan keranjang-keranjang rindumu—yang berat. Kau datang, dengan bola mata yang menyiratkan pertanyaan-pertanyaan tentang hati, cinta atau kerinduan yang dalam.
Aku selalu bisu tentang luka-luka, aku bisu tentang kesedihan atau air mata, tapi kau selalu tahu. Kedatanganmu itu membuatku berfikir kau punya indera lebih dari lima, indera keenam. Seperti yang banyak orang bicarakan. “Kau tak bisa berbohong padaku” ujarmu suatu ketika sambil menyandarkan sekeranjang rindu baru disamping keranjang rindu lain. Sekarang, keranjang rindu itu tak sedikit. Dan aku masih bisu tentang lukaku, bisu tentang air mataku. Kau terus saja membawakan keranjang-keranjang berisi rindu yang hangat itu. Keranjang itu masih terlalu berat untuk kubawa sendiri, tapi kau membawanya dengan ringan lalu kau berikan padaku, untuk apa?
Suatu sore hujan datang, rintiknya deras menciptakan melodi-melodi kepiluan. Sore itu, hujan membasahi keranjang-keranjang rindu yang kau berikan itu. Aku takut, rindu itu tak hangat lagi, tapi rindu itu terlalu berat untuk kubawa sendirian, dan kau tak datang. Esoknya hujan-hujan itu datang lagi, mengolok-olokku. Membasahi rindumu yang kau berikan padaku. Aku semakin takut, rindu itu makin tak hangat, dan kau masih belum juga datang. Setiap hari hujan selalu datang, kurasa rindumu sudah tak hangat lagi, harusnya kau bawakan aku keranjang rindu baru—yang hangat. Tapi kau masih juga tak datang. Aku mulai merindukanmu. Kuputuskan menyimpan rinduku dalam keranjang yang kupunya, lalu akan kuberikan padamu. Keranjang rindu buatanku terlalu ringan, tak seperti buatanmu—berat. Dengan malu-malu, kuberikan keranjang rindu itu. Sekarang kau juga punya keranjang rindu, seperti yang kupunya. Tapi kau menolak menerimanya. Tanganmu menghampiri keranjang rindu dariku, “Kita bawa berdua, menuju muara rindu”. Kuikuti saja maumu. Kita beriringan menuju muara rindu seperti yang kau bilang. Sebuah senja dan hamparan ilalang—lanskap yang kau ciptakan. “akan kita apakan rindu ini?” aku masih keheranan. Lalu kau mengajakku beriringan, berjalan jauh lalu berhenti di sebuah tepian laut dengan ombak ringan, dan angin-angin bersiulan. “biarkan rindumu hanyut, akan kubiarkan rinduku hanyut, lalu rindu kita juga akan hanyut, disini”. Aku merasakan kehangatan masuk ketubuhku, mengalir dalam setiap darah. Bahagia.

Sejak saat itu aku tahu untuk apa kau bawa keranjang rindu yang berat itu padaku. Sekarang, setiap kau bawakan rindu itu, kita akan berjalan beriringan membawa rindu berdua, lalu menghanyutkannya di muara rindu. Selalu begitu, hingga aku lupa tentang luka yang kutitipkan pada burung-burung kertas itu. Kau dan rindumu, seperti itu.