Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Kamis, 20 November 2014

Hai!

Entah untuk kali keberapa saya biarkan blog ini kesepian. Terakhir saya memposting sesuatu tidak begitu penting lebih dari sebulan yang lalu, waktu yang cukup lama. Ini terjadi karena satu hal, diawali dengan bermulanya sekolah saya tercinta terpaksa ikut-ikutan menggeluti kurikulum 2013. Sebagai rakyat yang baik, ya ikuti sajalah apa maunya pemerintah. Menjadi bagian dari angkatan kelinci percobaan dunia pendidikan memang tidak mudah. Menghadapi perubahan-perubahan metode pendidikan yang begitu mendadak membuat saya merasa benar-benar diforsir habis-habisan. Sejak masuk tahun ajaran baru kegiatan saya tak jauh berbeda dengan penganut paham K13 lainnya. Jam di sekolah lebih lama, tugas yang harus diselesaikan baik sendiri maupun kelompok, tambahan belajar, persiapan ulangan, persiapan presentasi, dan lain sebagainya. Bicara tentang tugas, sebentar lagi anda akan membaca hasil produksi cerpen saya berhubungan dengan tugas Bahasa Indonesia. Tidak terlalu bagus, dikerjakan saat mata benar lelah, dengan sedikit inspirasi jadilah sebuah cerita acak-acakan yang semoga anda bisa menemukan maknanya secara tersirat. Entah sengaja atau tidak cerita ini ditulis dengan alur yang membingungkan. Sudahlah, silahkan dibaca dan tinggalkan komentar disana. Dengan lapang dada saya menerima segala kritikan dan masukan. Selamat membaca :)

SERUPA HUJAN
Petang ini hujan ke sepuluh pada bulan sendu milik Arina. Aroma air tanah memunculkan rindu, desir anginnya menggembara kenangan. Inilah hujan ke sepuluh pada kalender merah jambu Arina, tak jemu ia memandang tiap tetes air yang turun beriringan, seirama membentuk sebuah simfoni aus kehidupan. Hujan di bulan sendu selalu jadi lanskap utama yang ia tatap dari balik jendela. Malam hari, hujan makin pilu. Membawa tetes-tetes kenangan yang turun menuju tanah kerinduan. Masih dan selalu Arina memandang hujan dari balik jendela. Baginya tiap tetes itu adalah pesan yang tertinggal, pesan yang sama dengan irama yang memilukan. Jika hujan telah reda barulah air matanya hadir perlahan, keluar dari pelupuk mata kepiluan, membasahi sebuah senyum bimbang yang tampak sangat menyakitkan. Baginya hujan adalah syair-syair kenangan yang selalu membuatnya tetap bertahan meski sampai berselimutkan kafan, lalu dunianya hanyalah kegelapan. Baginya hujan adalah air kepiluan yang selalu datang dengan tarian indah, tubuh molek hujan berayun membawa semerbak wangi kenangan menghembuskan bebauan sendu yang makin tajam. Dan Arina masih dengan hujan ke sepuluhnya, pada bulan sendu dan tahun-tahun penantian yang tak terhitung jumlahnya. Arina, umurnya menua tapi baginya penantiannya akan tetap muda.
****
Kalau engkau mencariku siang hari selain hari libur, cari saja di sebuah gedung berlantai dua bagian utara dari sebuah Universitas di ujung Jalan Pemuda. Atau jika kau perlu denganku saat sore hari, kunjungi saja taman kota atau sepanjang Jalan Basuki Rachmat, dan jika senja tiba kau akan temukan aku di pantai, duduk berselimut pasir putih, berkejaran dengan ombak, dan tertawa dengan nyiur kelapa. Kalau kau menemukan sesuatu bertuliskan Arina Amalia, tolong kembalikan padaku sebab aku adalah gadis pelupa yang tak jarang kehilangan barang. Entahlah, sejak kapan virus pelupa ini menyerangku, mengganggu hidupku dan mengharuskanku untuk berkawan dengan sebuah buku catatan kecil yang isinya adalah segala sesuatu yang harus kuingat. Dari hal penting sampai hal remeh temeh sekalipun. Jika suatu ketika kau menemukanku sedang bersama pria tinggi, yang berjalan tegap dengan penuh wibawa, matanya sendu dengan hidung yang lebih mancung dari milikku, rambutnya hitam, tetap terlihat rapi meskipun tak pernah disisir, biasanya dengan kaos lengan pendek yang terlihat sangat nyaman, sesekali ia menggunakan kemeja jika harus bertemu dengan dosennya yang cerewet dan suka sekali mengomentari penampilan orang lain, maka bisa dipastikan aku sedang berjalan dengan Seno. Seorang pria yang menjadi tempat kapalku berlabuh. Sebentar lagi, ia akan resmi jadi suamiku. Sebentar lagi, setelah aku menyelesaikan skripsiku dan pulang dengan memboyong gelar sarjana. Seno sedang menempuh pendidikan S2, dan setelah cinta kami sudah terikat tali pernikahan, ia akan membawaku tinggal bersamanya, maka selangkah lagi bahagiaku akan semakin sempurna.
****
Kalender menunjukkan desembernya dan langit mencurahkan hujannya. Setiap pulang kuliah aku harus loncat sana sini menghindari kubangan air. Menyebalkan memang, tapi aku suka hujan. Aku suka rintiknya yang menciptapkan irama seperti sebuah parade dari alam. Nyanyian hujan selalu merdu, tak pernah membosankan untuk di dengar. Suasana akhir tahun masih sangat menyenangkan. Sore ini, Seno telah menungguku di taman kota. Semoga hujan datang  membawa senandung tawa, agar kami berdua bisa menari dibawah hujan dan tertawa lepas menghanyutkan kerinduan setelah secawu tak berjumpa. Maklum sajalah, aku dan Seno menempuh pendidikan di kota yang berbeda. Hal yang paling kusuka saat bersama Seno adalah menikmati hujan atau bercumbu dengan senja. Saat itulah rindu seolah-olah hanyut dibawa tetesan hujan. Jam dinding besar di depan gedung utara tepat menunjukkan pukul empat sore. Kuayunkan kaki menuju taman kota, dengan riang kulewati kubangan-kubangan sisa air hujan. Sisa hujan menciptakan romansa, rinduku telah berpuncak, ia harus segera bertemu dengan tuan pemilik rinduku. Setelah bertemu dengan Seno, kami menghabiskan malam berdua saja dengan berjalan mengelilingi kota, menikmati kerlap lampu malam, tertawa tanpa beban. Besok, Seno harus pergi ke Australia untuk melakukan penelitian demi menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Maka, akan ada satu bulan yang kuhabiskan dengan rindu kepada Seno. Malam ini aku telah menebus semua hutang rindu kepada belahan jiwaku, esok aku akan berhutang lagi padanya. Hutang rindu yang akan terus bertambah jumlahnya dan baru bisa kulunasi bulan depan. Pukul 11 malam, Seno mengantarku pulang ke rumah kost dan dia segera meluncur ke bandara. Sebelum pergi Seno menatapku dalam, sangat dalam, tapi ia hanya diam. Seperti menyampaikan sebuah pesan lewat tatapannya. Senandung hujan membuat pesannya tak tersampaikan sempurna. Ia seperti akan meninggalkanku untuk waktu yang lama. “Sepulang dari Australia, aku akan segera menikahimu,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Bertopang pada rasa percaya, kuhantarkan doa mengiringi langkah Seno, kutatap punggungnya yang kemudian menghilang di persimpangan jalan. Laki-laki itu sebentar lagi akan menggenggam tangan ayahku dan sah menjadi pendamping hidupku.
Fajar—seperti biasa bangun pagi, sarapan lalu berangkat ke gedung utara Universitas di Jalan Pemuda. Tengah hari—masih beraktifitas di gedung utara. Senja—menikmati hujan di tengah taman kota sambil menitipkan butir-butir rindu kepada Seno. Mungkin seno sedang menatap langit yang sama, tapi entah pada hujan yang sama atau tidak.
Januari, masih hujan sepanjang hari dan sudah saatnya Seno kembali. Taman kota menjadi tujuanku saat ini untuk bertemu Seno. Ia masih dalam perjalanan, mungkin satu jam lagi langkahnya akan tepat berada di depanku. Hujan menderas, taman kota mulai kehilangan manusia-manusianya tapi aku masih setia, menunggu laki-laki yang kucinta. Rencananya hari ini kami akan bertolak ke kampung halaman untuk mengurusi segala hal menjelang pernikahan kami nanti. Mulai dari gaun pengantin, dekorasi pelaminan dan hal remeh temeh lainnya. Dua jam, dan Seno belum datang. Mungkin macet dari bandara. 5 jam dan aku memutuskan pulang ke rumah kost sambil menyampaikan pesan singkat lewat sms. Paginya, handphoneku sunyi masih tanpa balasan. Maka kuputuskan pulang ke kampung  halaman sendirian, mungkin saja dia sudah berada di rumahnya. Perasaanku berkecamuk, mungkinkah Seno hendak memberiku kejutan. Tapi ia tak menitipkan pesan kepada siapapun, Ibu hanya diam saat kutanyakan itu. Mama Seno juga tak menjawab pertanyaanku, beliau hanya memintaku untuk bergegas pulang. Perjalanan yang biasanya kutempuh dalam waktu 3 jam, kali ini terasa sangat lama. Bus yang kutumpangi seperti berjalan lamban. “Seno, kau suka sekali memberiku kejutan. Jangan membuatku makin rindu Seno,”.
Sesampainya di rumah, Ibu mengantarku ke rumah Seno. Gerbang rumahnya terbuka lebar dan banyak sekali manusia dengan mata sembap. Rumah Seno diselimuti kedukaan, tapi siapa yang meninggal?. Mama melihatku dengan cucuran air mata, lalu memelukku erat sambil menyampaikan suatu hal. Ucapnya terbata-bata, lalu menderaslah hujan di hatiku, duniaku mendadak gelap. Aku limbung, tak percaya. “Seno masih hidup, Ma. Dia bilang akan menikahiku sepulang dari Australia. Aku akan menunggunya pulang dari Australia, Ma.” Aku meronta, mengatakan pada semua orang bahwa Seno tidak meninggal. Tapi Mama dan Ibu bersikeras bahwa Seno meninggal. Aku percaya pada Seno, percaya pada cintanya dan percaya pada pesannya sebulan lalu.
 Hari-hari selanjutnya aku masih berkawan dengan penantian dan rinduku. Seno tak pernah membalas pesanku, ia hanya sibuk melakukan penelitian tapi ia tak akan lupa pada janjinya untuk menikahiku. Di hujan yang sama pada tahun berbeda, aku  masih menunggunya pulang dari Australia. Tak akan ada laki-laki lain, biduk telah kutambatkan dan berlabuh di pantai hati Seno.
****

            Begitulah Arina, tak pernah mempercayai sebuah kenyataan. Ia hidup dalam dunianya, dunia cinta kepada Seno. Orang-orang menyebutnya gila tapi Arina berkilah. Ibunya pasrah, telah berbagai macam dukun mencoba menyembuhkan Arina, psikiater, dokter, sampai kyai tak pernah ada yang bisa mengalahkan kepercayaan Arina. Maka tiap bulan sendu, Arina menatap hujan dari balik jendela. Mendengarkan pesan Seno lewat hujan, mengingat tawa mereka berdua. Ia selalu percaya, bahwa Seno masih di Australia dan akan segera pulang untuk menikahinya. Meski ini sudah hujan ke sepuluh pada bulan sendu dan tahun yang entah keberapa, Arina masih berdiri pada kepercayaannya bahwa Seno akan segera pulang. Hujan adalah butir-butir yang ia nantikan, “Seno menitipkan rindunya lewat hujan, Bu.” Ujarnya ketika sedang berkisah kepada Ibunya. Jika sudah seperti itu, Ibunya hanya bisa tersenyum iba. Kini usia Arina menginjak kepala tiga, tapi ia masih hidup dalam penantiannya. Berbagai rupa laki-laki telah mencoba menggeser posisi Seno di hati Arina, tapi tak satupun berhasil. Arina adalah gadis tua yang hidup dalam penantian semunya. Tapi rindunya untuk Seno masih selalu muda, cintanya semakin menguat. Cinta telah membuatnya tuli pada hiruk pikuk kehidupan, rindu telah membekukan hatinya. Arina masih berkutat pada penantiannya. Ia menua tapi cintanya tetap muda. Kecantikannya pudar tapi rindunya bertahan. Manusia lain menaruh iba padanya, tapi Arina menggila pada penantian semunya. Sampai kapanpun Seno tak akan pernah menikahinya, Seno pergi dengan menitipkan jutaan cinta dan kerinduan di hati Arina. 

Kamis, 02 Oktober 2014

PARADE.

Seperti apa kenangan hendak berbondong-bondong
Kembali mengajakku mengeja—berparade membuka lemari ingatan
Tanpa etika meracau mencipta hujatan yang merindukan keredaan
Tanpa gerimis hanya deras yang terus mengusik
Memaksa aorta berpacu lebih kencang, lalu didihan darah telah sampai pada pelabuhan yang tersumbat
Otakku berbenah, mencari kenangan tentang sisa romansa atau lanskap matamu
Membopong semua isinya hingga tersisalah kekosongan
Hingga larut senja masih kucari dibalik lipatan limfa, mungkin sembunyi diantara jejalan darah
Nyaring menginjak dua oktav kumandang suara mencari kenangan
Tapi darah mengalir dengan indahnya tak peduli kegaduhan yang diperanak suara dua oktav itu
Kutengok dibalik kornea, lalu terus melangkah hingga ke balik epitel ibu jari terbesar—kosong
Kenangan tak sembunyi dimanapun
Kromosom pun bungkam, eloknya ia tak bicara tentang kenangan yang berparade di sudut kota itu
Kubiarkan ia terus berparade, menari dan tertawa. Lukiskan kebisingan dari hentakan kaki dan riuh tepukan. Aku, hanya diam dan akan selalu diam
Dibalik kota yang lain, aku mendengar riuhan kenangan yang masih saja mengajakku mengeja.
Santai saja kubiarkan mereka tertawa
Dengungkan irama-irama baru dari simfoni yang semakin aus
Disudut kota lain, kuhirup senja yang terus larut, berkawan sepasang gelas kosong dengan taburan jingga
Lalu lalang jalan kota hanya jadi lembar usang—tak pernah menarik untuk jadi lanskap utama
Di sudut kota dengan laju klakson yang menggema, kubiarkan senja mengerucut. Jingganya menyusup di sepasang bola mata
Lalu alaska gelap sempurna, menyisakan butir-butir putih diantara kelam
Sebuah tawa hadir disana, menjadi pengisi acara pada sebuah parade di sudut kota yang ku jajaki tanpa kebisingan
Kutengok parade yang semula mengajakku mengaja, ia masih ricuh dengan simfoni usangnya
Mereka melupakan harmoni dibalik sebuah nada
Partitur mereka adalah etika yang lapuk usia
Kenangan itu kalah! Tak serupa parade yang anggun, menyergap senja di sudut kota
Kenangan itu caramu menghancurkanku
Kau masih memaksa kenangan itu berparade, dengan melupakan sebuah tontonan parade di sudut kotaku yang terlampau indah
Sebuah parade yang hanya ku temukan pada sepasang mata bola
Haha, aku iba melihatmu terus memaki-maki kenangan yang lelah...


Pada salah satu senja, 2014


Kamis, 25 September 2014

Sebuah Horison Kata

“Diamlah kalian, jangan rusuh. Sabarlah, sebentar lagi akan kukirimkan kalian kepada tuan itu! Jangan ganggu ritualku dengan senja!”
******
Di salah satu senja, jari-jariku menari, mencipta kata yang akhirnya akan kau tuai. Entah  malam nanti, esok pagi, saat kau hendak tidur, saat kau sedang makan, atau kapan saja sebahagia hatimu. Aku selalu yakin, barisan kata ini akan mengekor di belakang langkahmu yang tegap atau mungkin saja mendahuluimu. Aku tidak peduli apakah kata-kata yang berderet ini akan mengganggumu atau tidak, yang pasti aku hanya mengirimkan mereka ini untuk jadi kawanmu setiap waktu. Jika nanti mereka mengganggumu, jangan pernah menyalahkanku. Mereka, kata-kata ini yang jahat. Dia menyiksaku saat aku bercumbu dengan senja. Maaf, aku hanya bercumbu dengan senja, dia bukan orang lain. Aku hanya menaruh harapan pada senja, sekedar bercengkrama dengannya sembari mengulang cerita. Kadang senja menggambarkan sedikit tentangmu, ia menjelma matamu yang tenang. Hingga sekian waktu berselang senja berhasil menjelma dirimu, jadilah senja itu kamu. Maka, jangan marah jika suatu ketika kau menemukanku sedang bercumbu dengan senja, memeluk langitnya yang kemerah-merahan, atau menggenggam erat matahari yang memancarkan cahaya keemasan. Senja itu bukan orang lain. Sekali lagi kutegaskan, senja bukan orang lain. Dan tentang kata-kata yang jahat itu, dia menggedor-gedor pintu hatiku. Memaksa otakku untuk memberi perintah pada jari-jariku yang telah kelu. Mereka mengganggu islahku dengan senja. Aku benci saat-saat itu. Saat langit semakin merah menyaga, mereka semakin kuat melakukan perlawanan kepada hati, otak, darah, otot, tulang dan seluruh elemen pada tubuhku. Mereka semakin memaksaku untuk dikirimkan kepadamu. “Aku ingin bertemu tuanku!” mereka berteriak-teriak tanpa ampun. Aku bisa apa? Tak ada kekuatan untuk menahan mereka yang berbondong-bondong. Semakin lama, kurasa semakin banyak. Ada kemungkinan dalam waktu beberapa menit itu mereka beranak pinak. Ketahuilah, aku benci masa serupa ini. Maka dengan kekuatan yang tersisa, kubiarkan jari-jariku menari mengirimkan mereka padamu.
Aku hanya takut mereka akan terus menghantuimu, mengekor di belakang langkahmu, seperti anakan sungai yang mengalir ke muara. Tentunya, aku akan merasa bersalah telah mengirimkan si kata-kata usil ini padamu. Mereka merengek-rengek seperti balita merindukan balon dan permen. Aku bisa apa? Tidak pernah kuasa kulihat mereka memelas. Semakin iba aku dibuatnya. Maka di senja ini ku kirimkan mereka kepadamu.
Mereka memang hanya sekedar kata-kata yang bahkan mungkin banyak manusia memandangnya sebelah mata. Tapi mereka jauh dari kata biasa, jika mereka sudah sampai padamu nanti, akan kau temukan cinta yang mengikat di dalamnya. Mengakar di setiap huruf dan akan terus memanjangkan akarnya. Lalu cintanya itu akan rimbun, lebih indah lagi mereka telah berbuah rindu. Dan kau tahu, cinta itu terus rimbun, buahnya akan semakin berlipat dan selalu berlipat. Maka itulah alasan mengapa mereka memaksaku untuk dikirimkan padamu. Akarnya sudah terlalu panjang, pohon cintanya sudah sangat rimbun, dan buahnya sudah tak terhitung lagi. Buah itu harus segera di panen oleh tuannya.
Deretan kata ini benar-benar menyiksa. Mereka bukan hanya mengganggu waktuku dengan senja, rindunya yang terus berbuah itu membuatnya semakin berat untuk kubawa. Bayangkan saja mereka mengakar cinta dengan sangat panjang, lalu tumbuh tinggi dan rimbun, masih berbuah rindu yang lezat. Itu terlalu berat untuk ukuran wanita sepertiku. Mereka benar-benar merepotkan. Berkali-kali kubilang untuk tinggal saja dengan tenang di dalam tubuhku dan jangan berbuah. Tapi mereka terlalu keras kepala. Aku tidak habis pikir, darimana mereka mendapat air dan cahaya untuk tumbuh dan berbuah, alasan mereka tak pernah masuk akal “Mata tuanku adalah telaga yang tenang, dan cintanya ialah kekuatan untuk berbuah, lalu senyumnya menyiratkan cahaya yang selalu kami ikat dengan klorofil di tiap-tiap daun kami” kata mereka dengan tanpa rasa bersalah. Barangkali tidak bertemu denganmu adalah cara untuk membuat mereka tak tumbuh lagi. Tapi kau harus tahu, mereka benar-benar jahat. Rombongan kata-kata ini tak pernah kehabisan cara untuk mendapatkan sumber cahaya dan airnya. Hinggga pada akhirnya selalu saja mereka berhasil menyeret langkahku ke hadapanmu. Mereka selalu tahu dimana tuannya berada, atau barangkali kau juga yang licik. Mungkin kau juga yang menyuruh mereka untuk menyiksaku dengan buah-buah rindunya.
Kutengok senja semakin sendu, aku harus kembali padanya dengan cepat. Sebelum buah-buah rindu mereka semakin berlipat, kukirimkan saja padamu. Kuingatkan lagi, jangan salahkan aku jika mereka nanti menghantuimu, atau hidup dibalik derap langkahmu. Jika kau hendak menyimpannya dalam tubuhmu, silahkan saja. Di sisa senja ini, kuserahkan mereka pada tuannya. Setelah ini, akan tumbuh lagi kata-kata dalam tubuhku. Dan aku akan mengajari si kata baru itu agar lebih beretika. Supaya mereka mengakar, tumbuh dan berbuah rindu dengan bijaksana. Nantinya, kata-kata baru itu akan menjadi si kata baru yang sopan. Tidak akan ricuh berebut air di telaga matamu yang tenang, atau membuat sayembara  untuk memenangkan cahaya senyummu. Kata-kata baru itu tidak akan seperti itu lagi. Aku janji, jika nanti akhirnya si kata baru itu sudah berbuah rindu dan saatnya untuk kukirimkan padamu, mereka akan sampai dengan tenang tanpa kericuhan.
Sebentar lagi kata-kata dengan buah rindu yang terlampau banyak ini akan sampai padamu. Tertatih aku membawanya, mereka terlalu berat. Masih sama seperti rombongan kata yang sebelumnya. Mereka hidup dan tumbuh dengan kejujuran tanpa majas apapun. Kamu, si tuan kata-kata, jangan licik lagi ya. Sudah cukup bersekutu dengan mereka untuk menyiksaku dengan buah rindu yang berlimpah dan teramat berat. Mungkin mereka akan sampai saat senja telah kembali ke peraduannya. Saat langit gelap sempurna. Sekarang sudah saatnya aku menikmati sisa senja yang beradu ini. Masih tersisa gemetar di dalam tubuhku setelah mengantarkan mereka pada tuannya. Bayangkan saja, aku membawa mereka yang rimbun dan berat itu dengan tanganku sendiri. Kuikatkan akar-akar mereka yang teramat panjang di tubuhku. Kata-kata berbuah rindu itu benar-benar jahat. Sebentar lagi mereka akan sampai pada tuannya. Dan si kata baru yang tumbuh dalam tubuhku akan beranak pinak dengan bijak. Selamat bertemu dengan rombongan kata berbuah rindu itu. Selamat senja, tuan kata dengan mata yg dibanjiri telaga ketenangan. Semoga siluet kasih dari bola matamu terus memancar dan sampai pada kata berbuah rindu yang tumbuh dalam tubuhku.



Sabtu, 13 September 2014

Biar Saja Postingan Ini Tidak Menemukan Judulnya

Sudah lama tidak berkunjung ke rumah kecil ini. Ketika saya masuk, ada banyak sarang laba-laba disini. Entah berapa lama saya tidak meninggalkan catatan di rumah kecil ini. Saya sedikit sibuk dengan kebahagiaan baru. Ada dunia baru yang harus saya nikmati. Dunia yang saya temukan di sepasang mata yang tenang. Sebuah dunia, tentang derai tawa dan kesetiaan. Tentang dunia pelangi yang datang selepas hujan dan badai memporak-porandakan hati saya. Saya sadari, banyak penguat di sekeliling saya. Penguat yang hadir bukan dari ke-semu-an.

Setelah sekian waktu terlewat dan semua cobaan mendera, saat saya mencoba terus melapangkan hati, setelah itu semua, bahagia benar-benar datang dari arah yang tidak saya duga. Benar memang tidak mudah menghapus luka yang sudah terlanjur menjadi duri diantara sutra,  butuh waktu. Iya, kita hanya perlu menyesuaikan semuanya. Perlu menguatkan hati untuk keadaan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Tapi tak baik pula meratapinya berkepanjangan. Banyak hal yang bisa kita lakukan daripada sekedar menengok ke belakang dan menyesali semuanya. Biarlah yang berlalu itu cukup menjadi pelajaran berharga bagi hidup kita. Pelajaran yang mungkin dalam kurikulum 2013 pun tak kita temukan. Pelajaran yang tersirat. Pelajaran yang menghadirkan luka untuk setelahnya memberikan ketegaran bagi hati kita. 

Membuka mata dan menyadari bahwa masih banyak yang peduli adalah pantas kita lakukan. Jangan pernah merasa sendiri. Karena memang faktanya kita tak pernah sendiri. Jika ada yang pergi, maka percayalah akan ada yang datang dengan harapan baru. Jangan takut sakit hati, karena ya begitulah hidup. Suka selalu berdampingan dengan duka. Mereka teman setia. Hadir bergantian dalam hidup kita. 

Setelah kisah cuklek yang saya rasakan, ada bara kebencian yang tak kunjung padam. Tapi harus saya kikis perlahan. Karena sekuat apapun saya membenci tidak akan pernah berpengaruh baik bagi hidup saya. Maka melapangkan dada dan menjalani kehidupan baru yang jauh berbeda dari sebelumnya adalah sebuah jalan yang harus saya tempuh. Dan hasilnya tidak pernah saya duga, ada kebahagiaan yang datang dari arah tersembunyi. Menyusup masuk kedalam hidup saya, dengan lembut mencipta tawa, dan menjadikan hari-hari saya lebih baik dari sebelumnya. Ada semangat tercipta dari mereka yang peduli, dari mereka yang tersenyum serta tertawa. Semua bahagia itu membaur, perlahan menutup luka. 

Ada kehidupan baru yang harus saya jalani disini. Ada senyum dan tawa yang harus tetap memancar setiap hari. Mengusir elegi-elegi. Tak ada satire. Tak ada benci, dendam, iri, dengki. Memang awalnya tak akan mudah. Kita hanya perlu menerima kenyataan dengan lapang. Menjalaninya dengan sadar. Percaya saja gaes akan ada pelangi selepas hujan. Biarkan masa lalumu membuatmu selalu berkaca. Hidup itu jalan kedepan gaes. Ada suka disana, ada bahagia diujung sana. Percayalah.


Kamis, 10 Juli 2014

Bahagia itu Lapang

Saya mencoba berpikir lapang. Mengikhlaskan bahwa apa yang Allah rencanakan memang yang terbaik. Ketika dia pergi dengan seribu kebisuan, tanpa pesan dan alasan hingga belakangan ini saya ketahui dia kembali bersama kebahagiaan masa lalunya, saya hanya bisa mengucap hamdalah berkali-kali. Iya alhamdulillah, kepergiannya membuat saya sadar dan tahu siapa yang pantas dipertahankan. Alhamdulillah, Allah telah membelalakkan mata saya bahwa sebenarnya dia memang tidak dipantaskan bersanding dengan saya. Dia bukan untuk saya. Ikhlaskan saja. Semua yang telah terjadi beberapa bulan terakhir dan semua kebodohan belakangan ini, memberikan saya banyak pelajaran tentang kehidupan. Intinya yaa, jangan jatuh ke lubang yang sama. 

Nah, setelah pelajaran berharga itu, setelah dia menjadi kenangan. Ada sosok yang kembali muncul perlahan. Saya sadar, secuil kenangan itu tidak benar-benar hilang dari ingatan saya. Kenangan kecil itu hanya terdesak di dalam sudut otak saya, kemudian setelah otak saya kembali lapang kenangan itu hadir mengingatkan dan menyadarkan bahwa kenangan kecil itulah yang pantas saya pertahankan. 

Gaes, lagi-lagi saya harus bilang. Semua yang sudah berlalu ikhlaskan saja. Kebahagiaan itu ga sempit. Jika dia pergi, sadar saja dia bukan yang terbaik untukmu. Karena yang terbaik tidak akan pergi gaes. Karena yang terbaik itu yang telah Allah tetapkan untukmu. Ketika saatnya tepat, yang terbaik akan menemui kita. Sekali lagi, untuk mengakhiri postingan ga penting saya ini. Bahagia itu lapang gaes!

Jumat, 04 Juli 2014

Pada Jumat Malam yang Panjang, Rindu itu Tercipta!

Rindu yang menembus lapis-lapis langit itu, membelah biru pada kelam senja lampau tak pernah sunyi meski hasrat mati—membeku.

Rindu yang terjepit diantara adzan dan iqomah itu telah membaui basah sajadah berkawan sayup dengkur tetangga dibalik selimut yang ditarik menutup dada.

Rindu sembunyi dibalik batu, seirama dengan riak hujan fajar terakhir, menyusup diantara desah nafas pengais rezeki, membahana ditengah tawa budak alas kaki lusuh. Yang dengannya itu ditaruhlah semangkuk harapan, untuk tak lekang menyerap sajak.

Rindu menciptakan samudera pengharapan, untuk jarak yang membunuh kilau kerendahan. Megahnya rindu menyerupai istana sultan dahulu.

Aku ingin mencintaiMu dengan benar, seperti jawaban di soal ulangan sejarah. Tapi manusia tak ubahnya guru-guru yang enggan menyertakan angka 10 dalam garis hitam raport seniku.

Akan kucoba merengkuhMu dengan benar-benar, seperti usahaku menghapus angka enam di ujung kertas kimia yang tak tega untuk kuhadirkan di pelupuk mata.

Kesepuluh jemari mungilku berjuang memelukMu dengan benar lewat kalam yang didengungkan dalam kegelapan yang panjang, menyerupai tundukan bulan pada bintang.

Rindulah aku....
Mengecup bibir diujung dzikir “lailahaillallah”
Bercinta dengan tatap yang berlinang “Astaghfirullah”
Aku beku—nanar—melepuh—horisonMu tak kuasa kusentuh 

Dan kesemuanya itulah mengantarkan kedua tangan untuk tetap menengadah, diulurkan-Nya sebuah jembatan memanjang dari seutas tali kebekuan yang dibawahnya mengalir coklat dahaga. Kepada-Nya lah semua rindu bermuara.

Kupeluk langit, sebelum fajar beranjak menyekap hitam. Pada langit yang sama, Adam dan Hawa dipertemukan, jumat—berjuta tahun silam.


Rindu mengotori jalanku padaMu, maafkan aku....

Minggu, 29 Juni 2014

Berhentilah "Cuklek" Berkepanjangan

Cuklek, satu kata bahasa jawa yang berarti patah. Dewasa ini saya sering mendengarnya, merujuk pada hati yang patah karena suatu hal. Menurut pemahaman saya cuklek jauh lebih parah dari sekedar pecah berkeping-keping. Banyak sekali, teman wanita yang berkisah kepada saya mengenai cukleknya hati dengan faktor yang berbeda, hingga pada akhirnya saya tahu bagaimana cuklek yang mereka rasakan (Jangan kira saya sedang curhat ya gaes). Sakit? Sudah jelas. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Menangisinya berlarut-larut? Sekedar membuat lega tapi tidak akan menyembuhkan hati yang luka. Cuklek berkepanjangan juga tidak baik gaes. La tahzan, Innallaha Ma’ana. Jangan bersedih karena sesungguhnya Allah bersama kita.

Salah satu kisah cuklek yang hadir di depan mata saya adalah ketika air mata sepupu saya (si A) mengalir dengan mudahnya beriringan dengan hati yang cuklek sebab lelakinya sudah dengan jelas bermain cinta dengan wanita lain. Tapi itu tidak berlangsung lama, karna si paijo sebut saja begitu, laki-laki yang sudah menyakiti hati sepupu saya itu berhasil meyakinkan wanitanya kembali setelah melalui perdebatan panjang yang secara tidak sengaja saya saksikan. Itu pertengkaran pertama yang membuat saya membenci lelaki. Setelah itu hubungan mereka kembali biasa saja, tertawa dan bercanda. Hingga pada kali ketiga sepupu saya masih saja tetap bertahan, selama setahun itu juga saya menyaksikan bagaimana air mata mengalir dengan percuma bagai sungai yang tak menemukan telaga. Saat itu saya masih 14 tahun, dan tak pernah paham dengan apa yang mereka bicarakan.

Kisah cuklek lain adalah ketika sepupu saya (si B) yang hubungannya putus-nyambung-putus-nyambung tak berujung tapi masih bertahan sampai sekarang. Saya selalu saja siap jadi pundak saat air mata mereka tumpah ruah. Saya hanya bisa bilang, ya sabarlah kisah cuklekmu itu juga mampu membuatmu lebih bahagia kelak. Saat itu saya belum pernah merasakan bagaimana cuklek yang mereka rasakan. Ya, hingga pada akhirnya saya tahu seberapa sakit hati yang cuklek dan mudahnya mengalirkan air mata untuk seseorang yang sebenarnya sia-sia dilakukan. Saya juga tahu apa alasan mereka bertahan meski luka yang mendera tak kunjung sirna, satu hal saja karena pergi dan melupakan juga serasa mematikan.

Cuklek saya, adalah ketika tahu seseorang yang saya pertahankan pergi dengan pesan yang mematikan “saya tidak lagi mencinta” itu kalimatnya, kalau pendengaran saya sedang baik-baik saja. Ketika saya tanya alasannya kenapa dulu mencinta, seseorang itu mengatakan hal yang lagi-lagi mematikan “Iseng saja” saya hanya bisa ber-oh panjang sembari mendengar retakan-retakan hati yang kemudian pecah. Saya hanya tidak memahami bagaimana bisa semua kenyamanan yang seseorang itu berikan hanyalah sandiwara belaka. Saya serasa sedang bermain sinetron dan dia jadi pemain utamanya. Sampai saat ini saya masih tidak bisa percaya, yakin saja dibalik “saya tidak lagi mencinta” tersimpan rahasia besar yang entah kapan akan terungkap. Saya juga yakin kata “Iseng saja” adalah kebohongan sebenarnya yang dia lakukan. Jadi intinya, dia sedang membohongi hatinya dengan mencipta statement bahwa dia sedang mematahkan kenyamanan diantara kita. Dilema awalnya, antara dia yang terlalu jahat atau saya yang terlalu buta. Tapi gaes, sekali lagi saya tekankan senyumin aja si kenangan. Iya, kenangan bakalan jadi satu hal yang mau tidak mau akan hidup bersama kita. Iya kan gaes?

Gaes, 3 kisah cuklek diatas hanya sebagian kecil saja dari rupa-rupa kisah yang saya dengar, lihat dan rasakan. Dan dari semua kerapuhan itu, wanita selalu punya cara untuk tetap bangkit. Kalau kalian wanita yang tegar, berhentilah menjalani cuklek yang berkepanjangan gaes. Cuklek-bangkit-hidup kedepan jauh lebih nikmat rasanya daripada hanya sekedar bangkit-cuklek-menangis seharian. Bersemangatlah gaes, karena apa yang kita rasakan nanti akan lebih merapuhkan, kecuali jika kita masih punya pegangan-Allah, yang selalu menguatkan hati. Mengutip kalimat dari ustad Felix Siauw-seorang mu'allaf yang sekarang menjadi pendakwah : Bencilah seadanya dan cintailah seadanya, manusia bisa dan cepat berubah | dan saat itu terjadi jangan sampai kita yg sakit hati, rugi. Ya gaes, jangan sampai kita rugi.


Semua masa lalu kita memberikan kita pelajaran berharga yang tak didapat di sekolah. Banyak yang lebih berguna dari apa yang mereka sebut cinta masa muda. Kita masih bisa berjaya gaes, dengan prestasi yang kita punya. Biarlah semua luka jadi cerita yang memenuhi warna-warni kehidupan kita. Karena sesungguhnya hidup itu bukan sekedar tentang bahagia. La tahzan gaes, semua yang pergi dan menyakiti, cepat atau lambat akan terganti. 

Tentang Pacar Saya

Saya lagi ga pingin nge post puisi. Jadi kali ini satu postingan yang kayaknya juga ga penting, bakalan banyak kalian temuin nama senja disini. Senja itu siapa sih? Senja itu apa? Senja itu gimana? Saya hanya punya satu kata tentang senja : Indah, setia dan kenangan. Eh itu tiga kata ya? Ya pokoknya begitulah. Kita kupas satu-satu ya..

Indah, iya saya jatuh cinta pada senja karena keindahannya. Langit memerah saga dibalut angin sepoi mempesona dipadu buaian ilalang juga kepak burung yang pulang ke sangkar, ditambah lagi riuh ayam kembali ke peraduan. Pacaran saya dengan senja tiap fasenya berbeda, saat masih TK cara saya bercumbu dengan senja adalah dengan duduk di teras rumah dan membaca majalah kesayangan anak-anak “Bobo”. Gara-gara sering baca majalah itu saya terobsesi untuk merawat kelinci, meski pada akhirnya hanya bisa merawat ayam. Sejak jadi anak SD pacaran saya dengan senja selalu berganti tiap harinya, kadang dengan bersepeda bersama senja, bermain tanah, mengecap gulali, menikmati es krim, senja paling terkenang saat SD adalah... Em... senja yang paling mengesankan saat SD adalah, saat senja dihabiskan dengan mencuri mangga di rumah tetangga. Eh bukan, bukan itu yang saya maksud senja yang paling berkesan saat saya masih SD ialah... Ah, sudahlah saya lupa dengan masa merah putih itu. Selama SMP senja yang saya lewati beriringan dengan perjalanan pulang kerumah. Setiap harinya pulang diatas pukul empat sore membuat saya harus bercumbu dengan senja dalam perjalanan. Dan senja tetap saja menawan dalam pesonanya. Masuk SMA saya melewati senja dengan berbagai hal yang tak bisa dilupa. Mengejar senja, jadi aktivitas rutin saya ditengah kesibukan yang mendera (meskipun kenyataannya saya ga punya kesibukan). Jadi orang aneh ketika duduk di taman kota dengan memejamkan mata menikmati indahnya senja juga pernah. Menyeret perhatian pengguna jalan dengan mematung dibius senja yang memerah saga di depan rumah juga jadi cerita saya. Iya, senja membuat saya jatuh cinta. Pesonanya, menjadikan saya sebagai manusia diluar kebiasaan.

Setia, senja tidak pernah pergi. Ia hadir di sore yang tepat waktunya. Kadang awan dan hujan merebut jingganya tapi senja bagi saya tetap mempesona dalam keadaan seburuk apapun. Namanya juga jatuh cinta, bagus jeleknya tetap saja membuat saya mematung dan membisu. Iya senja setia, tak banyak janji dan tak pernah pergi. Senja itu pendiam yang sarat makna. Bercerita dengan senja adalah satu hal yang kebanyakan orang menyebutnya gila tapi bagi saya adalah kebahagiaan. Senja oh senja, kesetiaanmu kujadikan panutan.

Kenangan, melewati tahun-tahun bersama senja menjadikan senja sebagai salah satu kenangan terindah yang saya punya. Keindahan dan kesetiaan senja mencetak kenangan yang terus memenuhi hati dan pikiran saya. Senja adalah lukisan indah ke sekian dari tangan Tuhan. Senja mengajarkan saya banyak hal yang tak lagi bisa disebutkan. Senja, adalah tentang suka dan duka yang mengakar dalam kenangan. Senja adalah tentang tangis dan haru bahagia yang menyulut senyuman. Senja adalah tentang cinta, harapan dan ketenangan.


 Itu 3 foto senja yang gatau dimana dan siapa fotografernya. Meskipun saya sangat cinta pada senja tapi tak pernah menyimpan fotonya. Saya hanya suka mengabadikan senja di pelupuk mata saya. Senja indah kan ya? Setiap senja, saya selalu jatuh cinta padanya dengan jingga yang berbeda. Coba deh gaes nikmatin senja dengan segala kelapangan dada, kalau kalian punya masalah luapin ke senja, dia bakalan jadi pendengar setia.


Udah ya, ini puasa kan ya? Ga boleh gosipin senja. Oke gaes, saya beri satu lagi pesona senja yang memukau

Jingganya Senja

Sabtu, 28 Juni 2014

Tentang Cemburu dan Hati Yang Luka (Sok Melankolis)

Cinta, air mata yang kusembunyikan dibalik senyum dan berselimut sujud di malam-malam panjang adalah isyarat pada luka atas cintamu diam-diam yang menyelinap pergi..”. Sebuah kalimat yang saya kutip dari buku CHSI (Catatan Hati Seorang Istri) karangan bunda Asma Nadia. Buku yang sekarang diangkat ke layar kaca atau layar lebar mungkin ya? Ah, pokoknya yang sekarang lagi banyak dibicaraan ibu-ibu dan bapak-bapak itu menjadi buku bacaan saya saat kebingungan untuk masuk SMA. Tidak ada hubungannya memang kegalauan mengenai masuk sekolah baru dengan buku tentang kegalauan para istri itu. Tapi setidaknya buku itu cukup jadi penghibur dan melupakan masalah sejenak (walaupun tidak menyelesaikan) ketika harapan saya untuk menuntut ilmu diluar kota dipupuskan secara tegas oleh Abi. Alhasil terdamparlah saya sekarang di SMA N 1 Lumajang, dan menemukan kebahagiaan baru disana dengan orang-orang ramah yang semuanya baru. Banyak yang berpikir, salah mungkin ya ketika usia 15 tahun baca CHSI harusnya yang dibaca adalah CHSG (Catatan Hati Seorang Gadis) Yaudadeh ntar saya bikin buku judulnya CHSG, kalau bunda asmanadia ga nyolot “Eh yang kreatif dong nak”.

Saya baca buku itu ketika secara tidak sengaja menemukannya di meja belajar, sepupu saya yang sudah
17+ menjadikannya bacaan sehari-hari katanya untuk persiapan menjadi istri yang baik. Selang beberapa bulan kemudian saya tahu alasan si el (nama disamarkan) membeli buku itu hanya untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia, mengenai sinopsis novel. Sayangnya yang dia beli bukan novel. Iseng saja membaca covernya dan saya tertarik. Sehari tuntas membaca buku itu saya jadi tahu bahwa betapa beratnya menjadi seorang istri ketika harus hidup bertopeng tawa sedangkan hatinya luka tiada terkira. Dari buku itu saya tahu bagaimana menjadi wanita yang kuat berpedoman kesetiaan kepada lelaki, juga menjadi wanita yang tabah meski selingkuhan lelaki berganti-ganti. Disitulah saya belajar bahwa sebenarnya apa yang saya rasakan tidak ada bandingannya dengan apa yang akan saya hadapi beberapa tahun menjelang. Membaca buku itu membuat saya sedikit membenci lelaki. Sampai saat itu beberapa kalimat yang mengisahkan kejahatan lelaki saya garis bawahi lalu beri hastag tebal #Lanangcenngunu (Lelaki memang begitu). Tetapi pada akhirnya saya juga menyadari tidak semua lelaki begitu. Bahwa masih ada harapan untuk mendapatkan pendamping yang beriman menyayangi Istri karena Tuhan-Nya. Tidak semua lelaki seperti Bram, suami Hanna yang selingkuh dengan Karin hingga menghamili. Tapi banyak wanita sekuat Hanna yang rela berbagi nafkah dengan selingkuhan Bram karena bayi yang dikandung Karin. Yang baca bukunya atau mengikuti sinetron CHSI pasti tahu dan mendapatkan banyak pelajaran dari situ.


 *Itu pemain-pemain di sinetron CHSI, yang sekarang banyak jadi tontonan wajib bapak-bapak, emak-emak, engkong-engkong, nenek-nenek, cowok-cewek, pokoknya banyak deh yang lihat.

Sebelumnya saya juga membaca Catatan Hati yang Cemburu, setelah berkali-kali membaca dan mengaitkan dengan kehidupan nyata juga kisah-kisah teman wanita yang saya dengar, bahwa memang cemburu itu perlu dan akan hadir di setiap hati wanita. Dari tulisan-tulisan bunda asmanadia saya juga belajar menerima kenyataan bahwa kini saya hidup dalam kenangan juga kecemburuan yang masih mengakar. Bukan sok dewasa, tapi dari membaca itulah semua luka perlahan sirna berganti dengan kelapangan dada bahwa setiap fase kehidupan akan hadir sebuah goresan luka di hati wanita. Seperti Hanna, wanita itu mudah memaafkan tapi tidak akan pernah lupa dengan luka yang diukir lelakinya.


Jadi gaes, yang sedang diliput rasa cemburu, bersyukurlah supaya kau tahu betapa nikmat sakitnya cemburu. Atau cewek-cewek yang lagi ngerasa di php, cinta bertepuk sebelah tangan, cinta tak sampai, diduakan, dilupakan tanpa alasan dan kawan-kawannya, bersyukurlah pula setidaknya kau telah punya cara mengatasi luka yang akan kau rasakan kelak, beberapa tahun menjelang. Oke gaes, biar terpuruk tetap tersenyum, biar terluka tetaplah bahagia. Lihatlah ibumu tak pernah tersirat sedih di wajahnya meskipun kau ketahui atau tidak dia sedang menyimpan luka yang teramat berat rasanya. Semoga bermanfaat postingan saya yang lagi-lagi ga penting. Ingat ya gaes, senyumin aja si cemburu atau senyumin aja yang lagi selingkuh. Semua luka itu nantinya juga akan memberi bahagia yang luar biasa di masa depan kalian kelak.

Putri Tidur?

Malam ini adalah satu Ramadhan. Ini Ramadhan pertama, Ramadhan pertama yang kulalui tanpa Ayah. Lalu apa maksudnya putri tidur dengan Ramadhan? Jadi ini adalah postingan mengenai gadis yang hobi tidur saat puasa. Ah bukan, sudahlah baca saja.
Aku memang bukan buah hati Ayah, tapi Ayah bilang aku jadi kebanggaannya. Iya, aku keponakan Ayah yang menjadi begitu dekat dan terlampau sayang kepada Ayah. Sejak kecil aku suka sekali digendong Ayah, tidur di pangkuan Ayah, tak jarang aku membuat laki-laki hebat itu jengkel. Ayah memang tak sesabar abi, itulah alasan mengapa aku suka sekali mengganggu Ayah. tapi semenjak Ayah sakit yang tak pernah kuketahui namanya aku jadi jarang mengganggu Ayah. Aku hanya suka mematung di depan pintu kamarnya dan menyaksikan Ayah terbaring menonton bola.

 Beberapa bulan sebelum kepergiannya Ayah sering sekali meninggalkan pesan-pesan tersirat. Ayah bukan pembisu, ia selalu bicara setiap waktu, saat sakitpun Ayah tak pernah kehilangan semangat bicara. Aku ingat, saat masih SD Ayah suka memanggilku Putri Tidur, tapi sejak masuk SMP panggilan itu tak pernah kudengar. Mengenai panggilan itu bukan karena aku suka tidur (meskipun kenyataannya memang iya), dan mendadak jadi suka begadang ketika masuk SMP lalu Ayah tak lagi memanggilku si Putri Tidur, bukan bukan, bukan karena itu.

Kisahnya begini, pada zaman dahulu kala. Ah salah, jadi begini. Sejak kecil aku tergila-gila untuk menjadi seorang pemimpi. Awalnya aku bermimpi untuk jadi penyanyi kecil yang bikin penonton tepuk tangan dari panggung ke panggung. Dan itu terwujud, aku berhasil jadi penyanyi kecil dan nyanyi di panggung pas perpisahan sekolah TK ku, intinya mimpi itu terwujud walaupun ga sempurna sih. Ayah adalah orang yang selalu tertawa dengan mimpi yang kubuat.Itulah alasan mengapa Ayah menjulukiku Putri Tidur, gadis kecil yang tak pernah bangun dari mimpi gilanya. Sejak masuk SMP Ayah tak lagi menggunakan panggilan itu, yang belakangan ini kutahu dari sepupuku bahwa Ayah telah percaya gadis pemimpinya bukanlah putri tidur yang tak pernah bangun dari mimpinya. Ayah tak lagi menertawakan mimpi-mimpi bodohku, bahkan ketika aku bilang ingin pergi ke Paris Ayah hanya tersenyum menahan sakit. Ke Paris, ya satu mimpi yang akan Ayah lihat dari surga nanti. "Tak ada mimpi bodoh nak" Satu kalimat Ayah yang membuatku semakin liar bermimpi. Aku jadi rindu Ayah, sedang apakah gerangan di surga? Eh, emang Ayah udah sampe surga ya? Semoga saja :')

Ya begitulah, jadilah aku Putri Tidur dan mimpi gilanya tentang Paris. Entahlah si Paris ngasih pelet apa, jadi bikin klepek-klepek dan berjuang banting tulang buat bisa ketemu si Paris. Biar gambar-gambar di tembok kamar, di buku-buku, di socmed yang sering aku ciumin sebelum tidur bisa jadi kenyataan gitu. Entah kapan bisa bangun dari tidur panjang dan mimpi tentang Paris. Pingin banget dengan segera teriak ke Ayah lewat langit dan disampaiin angin ke surga "Yah Putri Tidurmu lagi peluk eifel nih" atau "Ayaaah, aku di Paris". Ya, banyak jalan menuju Paris. Un soir du Paris, Satu senja di Paris. Satu hari nanti!

Itu salah satu gambar si Paris yang sering aku ciumin. Keren banget ya senja di Paris. Ah, Paris kamu buat aku jatuh cinta. 

Jumat, 27 Juni 2014

Ketika Hidup Dibelenggu Kenangan

Kali ini bukan puisi lagi yang saya post disini. Ini tak jauh lebih bermakna dari sebuah puisi. Sebenarnya pingin sih nge post puisi lagi. Tapi ya ntar aja deh. Jadi gini, kenapa judul postingan kali ini bisa tertulis semacam itu. Itu bukan karena saya mau curhat mengenai gadis labil yang harus menjalani masa-masa sendiri lagi. Bukan juga saya yang harus masuk fase “moving on” lagi. Yang jelas saya sedang berperang dengan kenangan yang hadir tiap detik di hidup saya. Lelah memang dikejar-kejar kenangan, tapi berusaha melupakan juga jadi seperti mematikan.


Berawal dari sebuah perkenalan singkat, ya sangat singkat bahkan terlalu singkat. Lalu saya hidup dalam rasa nyaman yang luar biasa. Seseorang itu mencipta kenangan yang banyak jumlahnya. Di setiap jalan, di tengah kota, di sekolah, di setapak bahkan mungkin di tiap-tiap batu yang diam kenangan itu tertulis. Ada ketulusan di matanya, ah kalimat itu mungkin terlalu mainstream tapi memang begitu nyatanya. Saya menemukan ketulusan dan ruang disana. Itu satu alasan kenapa saya memilih berlabuh di sebuah pelabuhan panjang. Menambatkan kapal saya disana dan menyelami kesetiaan baru di lautan yang luas. Seseorang itu tidak tampan memang, tapi entahlah sosok itu mampu membuat saya memilih berhenti disitu. Bahkan sampai saat ini ketika dia memutuskan melesat dengan cepat tanpa meninggalkan pesan, saya masih tetap disitu. Bodoh memang, tapi saya telah membuat pilihan. Beberapa bulan lampau ketika saya putuskan untuk menemaninya, berusaha menjadi yang terbaik baginya, menerima kekonyolan yang dia perbuat, sejak saat itulah saya menikmati sebuah dunia dan mimpi yang perlahan nyata.

Ada banyak kebisuan yang dia buat. Saya tetap berusaha menerima kebisuan itu, dia hanya lupa bahwa tak semua diam mampu menjelaskan. Disekililing saya mungkin banyak gadis merasakan hal yang sama. Diajak melayang tinggi lalu dihempaskan ke bumi dengan alasan yang tak pernah tersampaikan. Sudah banyak yang tahu bagaimana saya terlampau bahagia dan tahu bahwa luka itu telah terbalut sempurna. Iya, dia punya pengobat hati yang canggih. Obatnya hebat, tanpa bahan kimia. Tapi setelah saya telusuri obat itu menimbulkan efek samping yang ternyata menciptakan luka dalam yang jauh lebih sakit dari sebelumnya.
Lalu setelah dia pergi dengan rahasia yang tak pernah saya ketahui, hiduplah saya sendiri menjalani setapak yang seolah menuliskan setiap kenangan. Seperti kumpulan mimpi indah menjelma seringai serigala yang meninggalkan jejak, kurang lebih seperti itulah kenangan. Tapi hidup dalam kegelimpangan kenangan tidak membuat saya menjadi kehilangan ingatan, lemah, lesu, lunglai atau sekawanannya. Menerima kenyataan bahwa kenangan kembali menjadi sahabat saya adalah sebuah kenikmatan yang sulit didapat. Bersyukur saja pernah dipertemukan, lalu dengan singkat dibahagiakan. Cukuplah semua jadi kenangan. Let it go yeah let it go! Berteman dengan kenangan membuat saya menjadi semakin mencintai senja yang tak pernah pergi ataupun menghianati. Hidup berselimut kenangan membuat saya semakin memahami bahwa tetap berdiri dan tidak pergi mencari pelabuhan lain adalah satu keputusan yang tak kan menjadi sia-sia. Kawan, senyumin aja si kenangan perlahan dia bakalan jadi kebahagiaan yang harus dikasih ucapan terimakasih.


Ya begitulah postingan ga penting yang berhasil saya tulis. Bukan sekedar dari apa yang saya alami tapi dari kebanyakan gadis yang mengkisahkan satu hal tak jauh berbeda dengan kisah diatas. Cukup senyumin si kenangan ya, hidup itu lanjutin kedepan. Let it go yeah!

Boleh Aku membenci lelaki?

Aku ingin bercumbu dengan malam
Memeluk rembulan berselimut bintang
Ketika sayup kepak rama-rama
Tak kudapati di penghujung senja

Aku ingin bercinta dengan kesunyian
Ketika genderang menerjang ilalang
Tak kunjung diredam oleh kebisingan

Ingin aku menyelami udara
Ketika pengabdian kau jadikan sebuah permainan

Aku benci saat tertinggal
Ketika kenangan jadi detak dalam jam yang kugenggam

Ada ribuan kata yang kau bungkam dalam rasamu
Tak menjelaskan tiap kenangan yang memasungku

Terbang denganmu adalah satu pilihan
Lalu sendiri mengepakkan sayap adalah kenyataan yang kau ciptakan

Boleh aku membenci lelaki?
Ketika sepi membungkam tawa terpenggal
Atau kelak kan kubenci lelaki
Saat kepaknya melesat tanpa pesan
Kebisuanmu membuatku benci kembali pada lelaki
Kesetiaan jadinya kau gadaikan
Untuk sebuah alasan yang kau simpan
Ribuan rahasia kau selami
Membuatku berhasrat membenci
Sekata saja kau sebutkan
Kan mampu buang benci yang mengakar

Masih aku berdiri disini
Berkawan jutaan kenangan yang membanjiri
Lalu langkah yang tak pasti
Pada setapak yang melukai



Senin, 16 Juni 2014

Kisah Tiga Abad..

Tiga abad dibalik jeruji beku
Jauh dari jalan kebebasan
Tertatih di balik rodi dan romusha
Suguhkan teh pada penjajah
Membungkuk-bungkuk, sulap Anyer-Panarukan
Kelaparan, tanpa sebutir hidangan
Habis dirampas prajurit Daendels

Menanam tapi tak menuai
Menimbun bahagia diatas sengsara
Kurus kering dimakan derita
Peluh dan darah manis jadinya
Tiada beda fajar dan petang
Rodi-Romusha tak pelak hengkang

Semua bungkam seribu kata
Lirih saja sebut merdeka
Seketika pecut sambar muka

Sekedar mimpi tidur pendek
Tanpa alas hangatkan badan
Angin malam menyerobot
Bekukan dedaunan
Meringkuk di bawah jurang
Bersimbah darah harapan
Menyibak rerumputan
Terbirit-birit lepaskan ikatan
Jika kau tak cekatan
Siap saja kehilangan nyawa

Tak terhitung lagi sukma melayang
Raganya dilempar seiring tawa
Harga nyawa tak lebih dari sekeping logam
Melenggang dengan mudah

Kisah darah tiga abad
Mengalir bagai secangkir teh
Diteguk bangsa sendiri
Menyimpan luka di malam hari
Siapkan dahaga esok pagi


Cerita veteran lapuk
Bertumpuk, berdebu, berkawan rayap
Dimakan usia
Dipojok lembaran tua
Sedikit mata sudi mengenang
Kisah luka sebelum 45
Menguap pada cerobong asap
Terbakar api kemewahan
Mereka sibuk pada dunianya

Kisah tiga abad kesepian dibuatnya..

Minggu, 15 Juni 2014

DIORAMA KUARSA

Mereka ucap, kami pemilik tanah ini
Diberi kuasa menyulap bumi
Melukis lubang yang tak tumbuh lagi
Sebagai pemuas dahaga kami
Pasca kokok ayam pertama
Terpapah kami menuju ladang rakyat jelata
Mereka bersajak,
Kami punya pasir kuarsa, tiap butirnya ialah dahaga
Bergegaslah kami menyongsong harta karun
Sebutir berselang terlempar ke punggung kotak nun anggun
Batu berlian dipikul oleh badan-badan tambun
Bertahun kami menggali
Hingga jauh kedalam bumi
Sampai habis urat dan nadi
Digali lagi tanpa peduli
Sudah banyak keturunan kami mengabdi
Pada air pecah beriak
Atau pada batu dipinang tak mengelak
Juga pasir, jadikan tumpuan hidup kami
Tiap butirnya mengalir darah segar
Mewangi baunya disiram peluh menggelegar
Bila surya hendak melepas kimononya
Berpulanglah kami menyapa anak istri
Membuka sisi jendela abadi
Rehat pula kawan abdi kami
Mengosongkan butir hitam yang penuhi tubuh renta bekas menggali
Dipangkuan separuh purnama
Bercengkrama kami memandang rama-rama
Secawan kabar hadir tiba-tiba
Menyayat nadi yang meronta
Semua peluh kami disulap jadi keping rupiah
Pasir kuarsa telah melintas samudera
Ubahnya harta jadi berlimpah
Hanya percik saja mereka lemparkan
Segepok miliar jadi penebal kantong bangsawan
Ya, kami punya pasir kuarsa
Habis dahaga kami menggali
Lalu kami suapi mereka itu dengan peluh berharga murah
Tak jadi pengisi lambung atau uang jajan si bocah
Hendak membayar ilmu cukuplah jadi bayang


Sekali ini saja kami sertakan
Rintih rakyat yang mereka jajah perlahan
Harta kota kami telah mereka telan
Lalu kami tetaplah tak berpenghasilan
Sajak mereka buang
Janji merdeka tak layak pandang
Berucap seolah menelan ludah
Buaian dahulu kami puja
Sirna beriringan dengan pakaian mereka punya

Sudah sepantasnya mereka kami gadaikan
Ikat badan pada pasir menjulang
Lalu kami timbun bersama ribuan butir kuarsa
Mereka bilang tanah ini milik rakyat jelata
Tapi mereka sembunyikan harta serupa pujangga
Hanya jerit tercekat
Tak kan lagi kami gelar peluh dahaga
Alaska memerah saga

SEPUCUK SURAT PADA BEJANA MERINDU

Surat ini tertulis
Saat kaki hujan menjauhi langit
Merapat di bumi
Berteman desah angin senja
Memeluk pelanggi jingga
Pada bilik jiwa yang renta
Ah ketahuilah
Aku rindu padamu!
Surat ini terungkap
Ketika rintik jadi imaji
Ditengah ranting merah pipi
Percik pekat pada nurani
Lumpuh merajahi hati
Aih, bungkam
Membisu
Kecuali, Aku rindu padamu!
Petik gitarmu, pada jemari cinta
Tak lagi kudapat menjelang lelapku
Entah, tak kutemui di penghujung hariku
Ah, desah suaramu
Tak lagi menggedor-gedor gendang telinga
Pada sumbang malam sunyi
Pasca salah yang kucipta
Lepas oktav delapan yang kau dengungkan
Meremas hati
Rembeskan bulir suci bola mata
Sengat pipi merah
Pada kisah, jarum rajut pecah
Sekuat apel putih di langit senja
Tiba-tiba saja hadir
Melepas belati hujan yang menguasai bumi
Bukan jingganya
Separuh purnama pada malam berbintang
Melemah, Aku rindu padamu!


Kerlap Penantian Malam

1//
Kau tahu ketika senja berlutut
Pada sendi-sendi aortamu
Menyayat sajak di deret batuan
Dalam limbung hampa
Menyebutmu dalam doa jadi pilihan
Pada setangkup tangan
Menengadah

Aku masih disini
Di ujung jalan yang kau janjikan

2//
Malam beranjak
Kemerlapnya sajikan kelimbungan
Menghentak kesadaran
Melambung sajak yang kau ucap
Dibawah sabit rembulan
Remang cahaya perempatan
Kau dekap kerinduan
Pita jingga yang kau tanggalkan
Derap langkahmu
Menggema
Serupa ritual di kaki Bromo
Tak sertakan absen
Aku masih setia
Dipangkuan redup separuh purnama 

3//
Hujan tak berpeluh
Rintiknya terpa daun jambu
Setangkai tertawakan sepiku
Senandung rindu mengaung
Pada bilik-bilik kenangan
Semerbak wangimu
Menjajah radius sepuluh meter
Memasung langkahku
Remang kunang-kunang
Bayangmu mendekat
Melumpuhkanku
Percik hujan melepas ikatan
Sebuah imaji baru kurasakan
Aku masih menunggu
Dibawah pohon jambu

Kau Jajakan Malam Dalam Sengau Suaramu

Satu nada terungkap
Lentik jemarimu
Beradu dengan kotak-kotak lengan gitar
Serupa membaca not balok
Tiba-tiba tercekat
Dengan nada sumbang
Disebrang sana
Kau sedang jajakan malam
Menghitung bintang
Merindukan rembulan

Lewat sengau suaramu
Kau hidangkan rupa-rupa kerinduan
Menyusup dibalik tirai
Jendela terbuka
Setangkai mawar jatuh perlahan

Jiwamu Lengang, Menyapa Tuhan

Sirinenya menggaung
Memenuhi antero udara
Aku tersandera oleh jutaan rasa tak percaya
Beribu tetes gugur di atas putihnya
Sesosok terbaring
Ditengah derai air mata
Terpaku
Menatapmu, dari balik pintu merah jambu
Seminggu, membisu
Seminggu, tuli dari gelak tawamu
Seminggu, menanti tegap langkahmu
Awan membeku
Langit membiru
Kau tak lagi di sisiku
Jiwamu lenyap
Dibungkus rupa-rupa bunga
Balutan putihnya
Membuatmu lepas
Kau telah bebas
Dari jerat nafsu dunia
Setangkup doa kusertakan
Hendak jadi bingkisan
Ucapan selamat jalan
Nisan tegak
Bergetar, kutabur bunga
Pertanda, kau benar-benar tiada


02 September, 2013