“Diamlah
kalian, jangan rusuh. Sabarlah, sebentar lagi akan kukirimkan kalian kepada
tuan itu! Jangan ganggu ritualku dengan senja!”
******
Di
salah satu senja, jari-jariku menari, mencipta kata yang akhirnya akan kau
tuai. Entah malam nanti, esok pagi, saat
kau hendak tidur, saat kau sedang makan, atau kapan saja sebahagia hatimu. Aku
selalu yakin, barisan kata ini akan mengekor di belakang langkahmu yang tegap
atau mungkin saja mendahuluimu. Aku tidak peduli apakah kata-kata yang berderet
ini akan mengganggumu atau tidak, yang pasti aku hanya mengirimkan mereka ini
untuk jadi kawanmu setiap waktu. Jika nanti mereka mengganggumu, jangan pernah
menyalahkanku. Mereka, kata-kata ini yang jahat. Dia menyiksaku saat aku
bercumbu dengan senja. Maaf, aku hanya bercumbu dengan senja, dia bukan orang
lain. Aku hanya menaruh harapan pada senja, sekedar bercengkrama dengannya
sembari mengulang cerita. Kadang senja menggambarkan sedikit tentangmu, ia
menjelma matamu yang tenang. Hingga sekian waktu berselang senja berhasil
menjelma dirimu, jadilah senja itu kamu. Maka, jangan marah jika suatu ketika
kau menemukanku sedang bercumbu dengan senja, memeluk langitnya yang kemerah-merahan,
atau menggenggam erat matahari yang memancarkan cahaya keemasan. Senja itu
bukan orang lain. Sekali lagi kutegaskan, senja bukan orang lain. Dan tentang
kata-kata yang jahat itu, dia menggedor-gedor pintu hatiku. Memaksa otakku
untuk memberi perintah pada jari-jariku yang telah kelu. Mereka mengganggu
islahku dengan senja. Aku benci saat-saat itu. Saat langit semakin merah
menyaga, mereka semakin kuat melakukan perlawanan kepada hati, otak, darah,
otot, tulang dan seluruh elemen pada tubuhku. Mereka semakin memaksaku untuk
dikirimkan kepadamu. “Aku ingin bertemu tuanku!” mereka berteriak-teriak tanpa
ampun. Aku bisa apa? Tak ada kekuatan untuk menahan mereka yang
berbondong-bondong. Semakin lama, kurasa semakin banyak. Ada kemungkinan dalam
waktu beberapa menit itu mereka beranak pinak. Ketahuilah, aku benci masa
serupa ini. Maka dengan kekuatan yang tersisa, kubiarkan jari-jariku menari
mengirimkan mereka padamu.
Aku
hanya takut mereka akan terus menghantuimu, mengekor di belakang langkahmu,
seperti anakan sungai yang mengalir ke muara. Tentunya, aku akan merasa
bersalah telah mengirimkan si kata-kata usil ini padamu. Mereka merengek-rengek
seperti balita merindukan balon dan permen. Aku bisa apa? Tidak pernah kuasa
kulihat mereka memelas. Semakin iba aku dibuatnya. Maka di senja ini ku
kirimkan mereka kepadamu.
Mereka
memang hanya sekedar kata-kata yang bahkan mungkin banyak manusia memandangnya
sebelah mata. Tapi mereka jauh dari kata biasa, jika mereka sudah sampai padamu
nanti, akan kau temukan cinta yang mengikat di dalamnya. Mengakar di setiap
huruf dan akan terus memanjangkan akarnya. Lalu cintanya itu akan rimbun, lebih
indah lagi mereka telah berbuah rindu. Dan kau tahu, cinta itu terus rimbun,
buahnya akan semakin berlipat dan selalu berlipat. Maka itulah alasan mengapa
mereka memaksaku untuk dikirimkan padamu. Akarnya sudah terlalu panjang, pohon
cintanya sudah sangat rimbun, dan buahnya sudah tak terhitung lagi. Buah itu
harus segera di panen oleh tuannya.
Deretan
kata ini benar-benar menyiksa. Mereka bukan hanya mengganggu waktuku dengan
senja, rindunya yang terus berbuah itu membuatnya semakin berat untuk kubawa.
Bayangkan saja mereka mengakar cinta dengan sangat panjang, lalu tumbuh tinggi
dan rimbun, masih berbuah rindu yang lezat. Itu terlalu berat untuk ukuran
wanita sepertiku. Mereka benar-benar merepotkan. Berkali-kali kubilang untuk
tinggal saja dengan tenang di dalam tubuhku dan jangan berbuah. Tapi mereka
terlalu keras kepala. Aku tidak habis pikir, darimana mereka mendapat air dan
cahaya untuk tumbuh dan berbuah, alasan mereka tak pernah masuk akal “Mata
tuanku adalah telaga yang tenang, dan cintanya ialah kekuatan untuk berbuah,
lalu senyumnya menyiratkan cahaya yang selalu kami ikat dengan klorofil di
tiap-tiap daun kami” kata mereka dengan tanpa rasa bersalah. Barangkali tidak
bertemu denganmu adalah cara untuk membuat mereka tak tumbuh lagi. Tapi kau
harus tahu, mereka benar-benar jahat. Rombongan kata-kata ini tak pernah
kehabisan cara untuk mendapatkan sumber cahaya dan airnya. Hinggga pada
akhirnya selalu saja mereka berhasil menyeret langkahku ke hadapanmu. Mereka
selalu tahu dimana tuannya berada, atau barangkali kau juga yang licik. Mungkin
kau juga yang menyuruh mereka untuk menyiksaku dengan buah-buah rindunya.
Kutengok
senja semakin sendu, aku harus kembali padanya dengan cepat. Sebelum buah-buah
rindu mereka semakin berlipat, kukirimkan saja padamu. Kuingatkan lagi, jangan
salahkan aku jika mereka nanti menghantuimu, atau hidup dibalik derap
langkahmu. Jika kau hendak menyimpannya dalam tubuhmu, silahkan saja. Di sisa
senja ini, kuserahkan mereka pada tuannya. Setelah ini, akan tumbuh lagi
kata-kata dalam tubuhku. Dan aku akan mengajari si kata baru itu agar lebih
beretika. Supaya mereka mengakar, tumbuh dan berbuah rindu dengan bijaksana.
Nantinya, kata-kata baru itu akan menjadi si kata baru yang sopan. Tidak akan
ricuh berebut air di telaga matamu yang tenang, atau membuat sayembara untuk memenangkan cahaya senyummu. Kata-kata
baru itu tidak akan seperti itu lagi. Aku janji, jika nanti akhirnya si kata
baru itu sudah berbuah rindu dan saatnya untuk kukirimkan padamu, mereka akan
sampai dengan tenang tanpa kericuhan.
Sebentar
lagi kata-kata dengan buah rindu yang terlampau banyak ini akan sampai padamu.
Tertatih aku membawanya, mereka terlalu berat. Masih sama seperti rombongan
kata yang sebelumnya. Mereka hidup dan tumbuh dengan kejujuran tanpa majas
apapun. Kamu, si tuan kata-kata, jangan licik lagi ya. Sudah cukup bersekutu
dengan mereka untuk menyiksaku dengan buah rindu yang berlimpah dan teramat
berat. Mungkin mereka akan sampai saat senja telah kembali ke peraduannya. Saat
langit gelap sempurna. Sekarang sudah saatnya aku menikmati sisa senja yang
beradu ini. Masih tersisa gemetar di dalam tubuhku setelah mengantarkan mereka
pada tuannya. Bayangkan saja, aku membawa mereka yang rimbun dan berat itu
dengan tanganku sendiri. Kuikatkan akar-akar mereka yang teramat panjang di
tubuhku. Kata-kata berbuah rindu itu benar-benar jahat. Sebentar lagi mereka
akan sampai pada tuannya. Dan si kata baru yang tumbuh dalam tubuhku akan
beranak pinak dengan bijak. Selamat bertemu dengan rombongan kata berbuah rindu
itu. Selamat senja, tuan kata dengan mata yg dibanjiri telaga ketenangan.
Semoga siluet kasih dari bola matamu terus memancar dan sampai pada kata
berbuah rindu yang tumbuh dalam tubuhku.