Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Rabu, 16 September 2015

Surat dan Metamorfosa Rindu (Mozaik 1)

Guten Abend! Sudah lama sekali tidak mengunjungi rumah kecil yang usang ini. Ulang tahun sekolah sedikit menyita waktu saya, hehe. Malam ini saya coba berkunjung lagi dan menemukan keadaan blog kecil ini tanpa perubahan apapun :) 
Di tulisan kesekian yang (masih) kurang penting ini saya masih bercerita tentang rindu, masih tentang rindu dan selalu tentang rindu. Bagi saya rindu masih menjadi kata paling romantis. Rindu menyimpan kehangatan, kasih sayang dan do'a. Tulisan ini sukses diselesaikan pada saat, em, saya lupa kapan tulisan ini saya buat. Sudah terlalu lama rupanya. Baiklah selamat membaca, semoga merindu :)

Surat dan Metamorfosa Rindu
(Mozaik 1)

Hai Tong, apa kabar? Kau masih hidup atau sudah pindah alam? Hidung kau berubah jadi pesek kah? Kau masih suka jailin tukang sate yang lewat tengah malam di taman kota? Tong, kau masih suka menjelma jadi monyet pencuri pisang di ladang sebelah rumah? Ah, Tong aku masih dengan rindu yang sama sejak kau pergi. Pergi dari aku, pergi dari kita Tong. Sejauh ini kau masih saja bisu. Sejak kau pergi, aku jadi bodoh Tong. Hendak saja aku menampang fotomu dengan tulisan besar “DICARI”. Aku masih berantakan Tong. Kau bilang akan menitipkan rindu pada hujan. Haha kau jangan gila Tong, hujan saja tidak mampu membawa dirinya bagaimana hendak membawa rindu?. Setiap kali hujan datang dan mampir di teras rumah kita selalu kutanyakan adakah titipan rindu dari kekasihku, Tong? Mereka acuh saja Tong, lalu untuk apa kau menitipkan rindu pada yang acuh? Kau juga pernah bilang, senja bisa sekali membawakan rindu dalam jingganya. Sayangnya senja tak mau bicara Tong, lalu sia-sia kau titipkan rindu pada kebisuan. Tong, tolonglah berpikir panjang bila hendak menitipkan rindu. Jangan pergi seenak kau mau. Aku ini hanya hidup denganmu, tiba-tiba saja aromamu tak pernah menggelikan bulu hidungku. Tiba-tiba saja suaramu tak memenuhi gendang telingaku. Semuanya serba tiba-tiba Tong. Aku belum siap, bahkan tak akan pernah siap Tong. Sejak kau pergi aku miskin seketika, Tong. Bagaimana tidak? kamu kan kekayaanku satu-satunya. Untungnya aku masih bisa hidup meskipun setiap hari harus makan dengan rindu. Tong maumu itu apa? Menggeletakkan kebahagiaan yang sudah kita bangun mati-matian. Jangan bodoh Tong, sekalipun aku biasa bekerja keras mengangkat karung-karung beras di pasar tapi aku tak cukup kuat untuk membangun kebahagiaan dengan sendiri begini. Tak lucu lah Tong, rumah bahagia yang kita bangun itu baru separuh. Lalu kau biarkan saja begitu? Menganga, menerima hujatan-hujatan luka akibat kau tinggalkan. Sudah separuh, hampir roboh pula. Bangunan itu terlalu rapuh lah, Tong. Aku ini sudah miskin malah kau buat makin miskin. Bosan Tong setiap hari makan nasi berlauk rindu, sekali-kali lah kau pulang, mewarnai sarapanku hingga tak jadi sesunyi ini. Kau kemana, Tong? Mulutmu itu kau museumkan kah? Pergi tak bilang-bilang, belum ada persiapanku untuk kesepian begini.  Tong, aku lelah menangisi kesendirian ini saban hari. Remuklah aku, Tong, kau titipi kenangan yang menyeret-nyeret langkahku untuk tetap tinggal di sini. Pulanglah Tong, pintu rumah kita selalu menganga, siap menelanmu dengan berbagai rupa kerinduan yang mahal. Bayar semua kesalahanmu Tong, cumbui rinduku. Jangan kau pasung aku begini, hidup dalam ketidakpastian tanpa matamu dan sumpah serapahmu yang romantis. Jangan sadis Tong, cepatlah pulang. Sebelum rumah kita usang, dan aku tergeletak didalamnya lalu kukuburkan diriku sendiri dalam gundukan kenangan yang kau ciptakan. Pulang Tong, Pulang!

Bersambung...

Rabu, 20 Mei 2015

JARAN SLINING TONGGAK BUDAYA KOTA PISANG DI KANCAH NUSANTARA

Bagaimana ya mengawali postingan ini? Em, begini saja kalau biasanya saya memposting puisi atau entahlah satu hal yang tidak penting yang mungkin hanya saya yang paham, kali ini saya akan memposting sesuatu hal tentang daerah kelahiran saya, Lumajang. Sedikit kebudayaan tentang Kota Pisang. Artikel ini saya buat saat mengikuti salah satu lomba menulis artikel. Selamat Membaca! Semoga Bermanfaat!

Saya ada diantara puluhan peserta Lomba Menulis Artikel Jaran Slining 2015
dan Duta Wisata Cak dan Yuk Lumajang 2015. 


JARAN SLINING TONGGAK BUDAYA KOTA PISANG DI KANCAH NUSANTARA

Indonesia adalah negara kepulauan yang dikenal dengan keragaman budayanya. Masyarakat di negeri ini hidup berdampingan dan memeluk erat adat istiadat yang lahir dari nenek moyang bangsa Indonesia. Keragaman budaya itu tetap dijaga dan dilestarikan oleh seluruh lapisan masyarakat. Setiap daerah di nusantara memiliki ciri khas dan corak kebudayaan yang berbeda dengan daerah lainnya. Perbedaan ini menciptakan akulturasi budaya yang menambah ragam budaya baru. Meski hidup di tengah keragaman budaya yang unik dan menarik, masyarakat Indonesia mampu mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsanya dibawah naungan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Kebudayaan ini terus berkembang dan tetap lestari tidak tergerus globalisasi. Filosofi-filosofi dalam setiap budaya masih dipercaya oleh masyarakat, keaslian budaya baik dalam musik, tari, atau adat istiadat selalu dijaga. Kebanggan terhadap budaya negeri sendiri masih bersarang pada diri masyarakat Indonesia. Meski modernisasi mulai menyelimuti negara kita, beberapa masyarakat tetap menjaga dan melestarikan budayanya  agar tidak menjadi punah dimakan zaman. Ragam budaya di setiap daerah memiliki sejarah, ciri khas, keunikan dan filosofi masing-masing sesuai daerahnya, termasuk budaya di Kabupaten Lumajang.
Kebudayaan di Kabupaten Lumajang dikenal dengan nama “Pendalungan” yang berasal dari kata “danglung”. Kebudayaan ini lahir dari akulturasi budaya Jawa dan Madura yang menghasilkan corak budaya khas Lumajang dengan unsur budaya Jawa dan Madura yang masih melekat di dalamnya. Dalam budaya pendalungan muncul etnik budaya yang didominasi oleh alat musik danglung yaitu sebuah kentongan dari kayu nangka. Pendalungan juga melahirkan lima seni tari khas yang tetap lestari di tengah hiruk pikuk modernisasi masyarakat, yaitu Jaran Kencak, Godril Lumajangan, Jaran Slining, Gelipang Rodat, dan Topeng Kaliwungu. Selain terkenal dengan Kota Pisang, Lumajang juga terkenal dengan kesenian Jarannya. Jaran atau kuda ini menjadi ikon Kabupaten Lumajang pada saat peringatan Harjalu (Hari Jadi Lumajang) ataupun kegiatan kesenian lainnya. Salah satu kesenian yang unik dan menarik dari Kota Pisang ini adalah Jaran Slining. Seni tari dengan ritme musik yang cepat ini seringkali menjadi hiburan pada acara hajatan di berbagai kalangan masyarakat.
Aset Lumajang yang merupakan turunan dari Jaran Kencak ini memiliki irama rancak tanpa gerakan pakem. Lahir dari masyarakat bawah, Jaran Slining menjadi hiburan yang digemari masyarakat pada masa itu. Para petani menggunakan anyaman dari bambu untuk membuat jaran atau kuda. Satu orang menunggangi kuda dan satu orang pengencak dengan membawa pecut atau sapu lidi adalah sepasang penari dalam Jaran Slining. Keduanya menari mengikuti irama musik seronen. Musik yang terdiri dari alat musik gong, gendang dan danglung ini mengalun mengiringi sepasang penari yang mengembangkan gerak tari secara bebas atau sesuai kreativitasnya. Gerakan dalam tarian ini merupakan apresiasi dari manusia yang menunggangi kuda karena dahulu kuda menjadi alat transportasi utama dan menunggang kuda adalah olahraga yang digemari masyarakat. Pengencak menggunakan topi (kopyah) yang agak tinggi, namun seiring berkembangnya kreativitas seni, kopyah pada pengencak diganti dengan aksesoris kepala berbentuk setengah lingkaran dengan warna yang beragam atau aksesoris lainnya yang menambah kesan ceria pada pengencak. Jaran Slining menjadi semakin semarak dan menarik dengan pakaian para penari yang didominasi oleh warna merah, hijau, kuning, dan warna-warna mencolok lainnya. Warna-warna ini sesuai dengan budaya masyarakat Madura yang cenderung pada warna mencolok. Melambangkan keberanian, kelembutan, dan keceriaan warna pakaian dalam Jaran Slining dipilih karena sesuai dengan tujuan tarian ini. Dibalut berbagai aksesoris baik pada jaran atau penunggang, Jaran Slining menjadi hiburan yang menyenangkan. Kesenian yang dahulu hanya menghibur masyarakat petani kemudian berkembang dan lestari di tengah lapisan masyarakat Lumajang.

Pembukaan Festival Seni Tari Jaran Slining 2015,
ditandai dengan pemukulan gong oleh Bupati
Lumajang, Bapak As'ad Malik. 
Namun, modernisasi yang menderas di Indonesia tidak terkecuali di Kabupaten Lumajang menciptakan kekhawatiran beberapa kelompok masyarakat Lumajang. Budaya barat yang hadir berurutan melunturkan kecintaan generasi muda terhadap budaya dan kesenian daerahnya, termasuk kesenian Jaran Slining. Untuk menyelamatkan dan melestarikan seni tari khas Lumajang ini maka dilaksanakanlah Festival Seni Tari Jaran Slining 2015. Diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lumajang festival ini digelar pada hari Minggu, 15 Maret 2015. Bertempat di Pentas Budaya Kawasan Wonorejo Terpadu, festival ini berhasil menarik minat masyarakat Lumajang terhadap Jaran Slining. Acara dimulai pukul 13.00 dan diawali oleh penampilan dari CIO Indonesian Arts Culture yang membawakan Tari Meruang Waktu. Kemudian disusul dengan lagu Lumajang Sayang yang dinyanyikan oleh Paguyuban Duta Wisata Cak dan Yuk Kabupaten Lumajang. Pra Acara ditutup dengan Tari Remo oleh perwakilah STKW Surabaya (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya). Memasuki acara inti, Sanggar Diamond Arts Perform berkesempatan untuk membuka acara dengan tariannya. Festival yang dibuka secara resmi oleh Bapak Bupati Lumajang ini diikuti oleh 39 peserta dari berbagai sanggar di Kota Pisang. Ditandai dengan pemukulan gong festival dimulai, bergantian sesuai dengan nomor urut seluruh peserta menari mengikuti irama musik yang rancak. Meski hujan deras turun selama pelaksanaan festival tidak menyurutkan semangat para peserta untuk menampilkan yang terbaik.
Peserta dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori anak-anak dan kategori remaja. Setiap peserta menampilkan tarian dengan gerakan, pakaian, dan kuda yang berbeda. Festival ini bermula dari adanya ide salah satu sanggar sebagai usaha melindungi Jaran Slining dari kepunahan. Gayung bersambut dan ide itu direalisasikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Menggandeng  CIO Arts
Parade seluruh peserta
Culture Indonesia
, festival seni tari ini berhasil digelar dengan semarak dan meriah. Dihadirkan 5 seniman sebagai dewan pengamat untuk memilih 3 penyaji terbaik non rangking dari setiap kategori. Bapak Wahyu Dianto selaku dewan pengamat I menuturkan bahwa kriteria penilaian dalam festival ini dilihat dari dua segi. Pertama dari segi performance yang meliputi penyajian dan kreati
vitas, kedua dari segi artistik yang meliputi busana, tata rias, komposisi, dan kepenarian. Festival yang berhasil menjadi daya tarik masyarakat Lumajang saat itu melahirkan 39 etnik seni tari Jaran Slining. Pada penghujung acara sebelum diumumkan 3 penyaji terbaik, seluruh peserta tampil berparade dan menari bersama. Pentas budaya di Kawasan Wonorejo Terpadu menjadi lautan Jaran Slining. Parade All Performance diakhiri dengan foto bersama Bapak Bupati Lumajang dan Bapak Sekretaris Daerah.
          Festival ini digelar dengan harapan mampu menjadikan Jaran Slining sebagai tonggak budaya Kabupaten Lumajang. Berbagai usaha dilakukan agar kesenian khas Lumajang ini tidak mengalami kepunahan. Menyelamatkannya dari modernisasi dan menanamkan kecintaan generasi muda terhadap kesenian bangsanya adalah tugas wajib bagi seluruh masyarakat Lumajang. Sebab, kesenian khas negeri kita adalah aset bangsa yang tak ternilai harganya. Kekayaan akan budaya juga harus diimbangi dengan kecintaan bangsa terhadap budayanya sendiri. Jaran Slining adalah salah satu contoh aset bangsa yang patut untuk dijaga dan dilestarikan. Mengenal, mencintai, dan bangga terhadap kebudayaan nusantara merupakan salah satu balas budi terhadap Indonesia. Kita bangsa Indonesia, lahir di tanahnya, minum airnya, makan tumbuhannya cukuplah membalas budi dengan menyelamatkan budayanya dari kepunahan. Kenali dan cintai budaya bangsa kita agar tidak lapuk dan hanyut oleh modernisasi dunia. Salam Budaya!

Sebagai penutup seluruh peserta foto bersama Bapak Bupati Lumajang

Berikut ini beberapa foto peserta Festival Seni Tari Jaran Slining 2015

taken by @priskideanasti
taken by @priskideanasti


taken by @priskideanasti

 Sumber Informasi :
1.    Ibu Arias Purwantini
2.    Bapak Wahyu Dianto
3.    Bapak Antony S.Sn

4.    Festival Seni Tari Jaran Slining 2015

Senin, 27 April 2015

Kupersembahkan sajak-sajak berantakan.


1.Rindu itu berbentuk horizontal  menuju langit, memikul dan memperdaya tak kuasaan terhadap jarak yang sengit

2.Rindu mencumbui evolusi tentang cinta bertubi-tubi

3.Rindu ataukah ambisi yang memporak-porandakan jaringan dalam tubuh

4.Sebuah rindu kupastikan menyiksamu dalam sendu yang manja

5.Rindu berlabuh pada jarak dan sekat-sekat yang hangus

6.Rindu menjadi aus ketika kau dan aku larut dalam sebuah temu yang panjang

7.Kupersilahkan rindu mengacaukan sistem peredaran darah yang saling berkejaran

8.Rindu itu membiarkan aku mencumbui kenangan yang berbaris di trotoar

9.Kubunuh rindu dengan lintasan-lintasan tentang masa depan

10.Pasrah, kubiarkan rindu mencabik-cabik kesedihan

11.Kuijinkan rindu memungut kepiluan

12.Saksikan rinduku beranak pinak membentuk kehidupan dalam savana terang

13.Rindu mengistirahatkanku dari drama kehidupan

14.Rindu memasung dusta, memelihara kejujuran

15.Rindu yang polos mengantarkanku pada tepian jarak

16.Rinduku telah berlabuh pada sepasang bola mata yang teduh

17.Izinkan aku membunuhmu dengan rindu paling romantis

18.Menyediakan rindu dengan rasa paling sadis

19.Rindu yang anarkis

20.Kugenapkan rindu dalam peluk yang meraung-raung

21.Rindu rindu yang ganjil masih melukiskan pelangi dari balik bola matamu

22.Kau hidangkan rindu paling nikmat untuk kuseduh

23.Selamat merindu sepasang tapak kaki

24.Siluet rindu memenjaraku padamu

25.Rindu itu menciptakan jeruji besi paling mempesona

26.Rindu, rindu, rindu

27.Kusebut ia berkali-kali hingga jarak tak lagi berarti

28.Lalu, rindu mengubah arah menjadi vertikal

29.Menuju pelabuhan paling terang yang dipunyai Maha rindu

30.Berapa banyak lagi kukisahkan tentang rindu

31.Terus menghantui dalam hidup, hidup yang fana

32.Rindu ini jauh tapi mendekatkan

33.Rindu ini jahat tapi membahagiakan

34.Rindu, kugenggam mereka erat-erat

35.Rindu yang ganjil

36.Rindu yang genap

37.Rindu yang ganjil dan genap menghapus jarak, menenggalamkan sendu.

Senin, 16 Februari 2015

Sebut saja, aku puisimu

setapak memberi arah pulang, bentangan di kejauhan seperti sisa evolusi peradaban
kelam, hidup kekosongan makna pada jeruji di titik kenang yang hampa
sekeranjang hujan menjadikanku hilang di kesunyian
masih pada hening yang sama
aku pulang meninggalkan jejak
tak satupun harap tersirat menerpa aorta
sunyi masih tak berubah
ketika pintu bernafaskan doa dan jendela-jendela kerinduan menyapa sendu yang merayu
seperti masa yang tak berani beranjak , cinta tak membebaskan
dunia masih sama
saat aku menerjang kepiluan di sisa senja dan gagak hitam menari di atas kepala
ambisi berlarian menjelma senyap pada bahagia yang tak sebentar
hidup mulai malas bercerita, mengenang rantai kehidupan yang pelak tak berujung
aku, berdiri pada satu kemalasan bersuara
dunia yang kehilangan mata merindukan arti sebuah perjalanan
aku lupa cara beranjak dari kehidupan tuli oleh kegelisahan
sengaja kulupakan agar tak pernah ada ingatan pada setapak jalan kesunyian
rindu lumpuhkanku pada metamorfosa keberadaan seorang lain
rima yang akhir, kubiarkan rindu memasungku padamu-
sehingga kelak puisi melupakan rimanya

rinduilah puisimu. 

Rin-du, Begitu!

Saat aku hendak menitipkan luka, pada burung-burung kertas yang kehilangan nyawa itu, kau datang dengan sekeranjang rindu yang tiba-tiba kau sandarkan pada kepiluan diantara kita. Ini terlalu berat untuk kubawa sendiri, untuk kujamah hingga ke dasar keranjang, tanganku tak cukup kuat, tak cukup panjang. Tapi kau bersikeras memintaku membawa keranjang rindu itu sendiri. Kau jahat. Masih dalam umpatan yang sama kupegang erat keranjang itu, dengan seluruh ketangguhan rindu yang kupunya kueratkan pegangan di keranjang besar. Kau tertawa, melihat peluh yang tiba-tiba bercucuran hangat. Rindu itu tak bisa kuangkat sedikitpun, tapi kau masih memaksaku mengangkatnya. Untuk apa kau bawakan aku rindu? Aku sudah punya banyak rindu, di setiap jejak yang kita ciptakan, di butir-butir pasir yang kita genggam, di tiap-tiap air mata. Rinduku terlalu banyak bahkan, sampai kutitipkan pada bintang gemintang atau rinai hujan. Kadang kubiarkan rinduku menjadi bekal berkicau si burung camar. Lalu kau datang dengan sekeranjang rindu yang beratnya tiada terkira, untuk apa? Ketika kau pulang dengan mengulum senyum dan bola mata berbinar-binar, aku masih terpaku pada tanya yang sama. Kupandangi saja sekeranjang rindu itu. Kuperhatikan tiap lekuknya, indah. Lama kupandangi, tiba-tiba ada selembar rindu yang jatuh. Kupungut perlahan, hangat. Seminggu berselang kau datang lagi, dengan keranjang rindu (lagi). Setiap aku hendak menitipkan luka pada burung-burung kertas itu kau selalu datang dengan keranjang-keranjang rindumu—yang berat. Kau datang, dengan bola mata yang menyiratkan pertanyaan-pertanyaan tentang hati, cinta atau kerinduan yang dalam.
Aku selalu bisu tentang luka-luka, aku bisu tentang kesedihan atau air mata, tapi kau selalu tahu. Kedatanganmu itu membuatku berfikir kau punya indera lebih dari lima, indera keenam. Seperti yang banyak orang bicarakan. “Kau tak bisa berbohong padaku” ujarmu suatu ketika sambil menyandarkan sekeranjang rindu baru disamping keranjang rindu lain. Sekarang, keranjang rindu itu tak sedikit. Dan aku masih bisu tentang lukaku, bisu tentang air mataku. Kau terus saja membawakan keranjang-keranjang berisi rindu yang hangat itu. Keranjang itu masih terlalu berat untuk kubawa sendiri, tapi kau membawanya dengan ringan lalu kau berikan padaku, untuk apa?
Suatu sore hujan datang, rintiknya deras menciptakan melodi-melodi kepiluan. Sore itu, hujan membasahi keranjang-keranjang rindu yang kau berikan itu. Aku takut, rindu itu tak hangat lagi, tapi rindu itu terlalu berat untuk kubawa sendirian, dan kau tak datang. Esoknya hujan-hujan itu datang lagi, mengolok-olokku. Membasahi rindumu yang kau berikan padaku. Aku semakin takut, rindu itu makin tak hangat, dan kau masih belum juga datang. Setiap hari hujan selalu datang, kurasa rindumu sudah tak hangat lagi, harusnya kau bawakan aku keranjang rindu baru—yang hangat. Tapi kau masih juga tak datang. Aku mulai merindukanmu. Kuputuskan menyimpan rinduku dalam keranjang yang kupunya, lalu akan kuberikan padamu. Keranjang rindu buatanku terlalu ringan, tak seperti buatanmu—berat. Dengan malu-malu, kuberikan keranjang rindu itu. Sekarang kau juga punya keranjang rindu, seperti yang kupunya. Tapi kau menolak menerimanya. Tanganmu menghampiri keranjang rindu dariku, “Kita bawa berdua, menuju muara rindu”. Kuikuti saja maumu. Kita beriringan menuju muara rindu seperti yang kau bilang. Sebuah senja dan hamparan ilalang—lanskap yang kau ciptakan. “akan kita apakan rindu ini?” aku masih keheranan. Lalu kau mengajakku beriringan, berjalan jauh lalu berhenti di sebuah tepian laut dengan ombak ringan, dan angin-angin bersiulan. “biarkan rindumu hanyut, akan kubiarkan rinduku hanyut, lalu rindu kita juga akan hanyut, disini”. Aku merasakan kehangatan masuk ketubuhku, mengalir dalam setiap darah. Bahagia.

Sejak saat itu aku tahu untuk apa kau bawa keranjang rindu yang berat itu padaku. Sekarang, setiap kau bawakan rindu itu, kita akan berjalan beriringan membawa rindu berdua, lalu menghanyutkannya di muara rindu. Selalu begitu, hingga aku lupa tentang luka yang kutitipkan pada burung-burung kertas itu. Kau dan rindumu, seperti itu. 

Sabtu, 17 Januari 2015

Sepaket Senja

Masih pada senja yang sama, aku menatapi sisa-sisa jingga sore itu. Semua dekat, terasa dekat. Masih dengan manusia-manusia yang sama. Bahagia? Tentu. Aku masuk dalam kehidupan mereka atau mereka yang memasuki kehidupanku tak pernah penting itu dicari penyebabnya. Senja masih sama, dengan wajahnya yang elok dan semburat-semburat keceriaan. Aromanya masih pekat kurasa. Seperti tahun-tahun sebelumnya, cintaku pada senja tak pernah berubah meski manusianya tak lagi sama. Senja masih menawarkan sejuta kebahagiaan. Menghapus luka dan kerinduan. Siapa yang tak bahagia, bercumbu dengan senja diselingi tawa orang-orang yang menghadirkan kebahagiaan. Aku mencintai senja, aku mencintai mereka. Secawan senja sore itu kupeluk dingin bersama manusia terkasih. Begitulah senja ia tak pernah berubah, menawan. Sore itu kutitipkan rindu pada senja, kuselipkan cinta pada senja. Kusiapkan secawan untuk seseorang terkasih, hingga nantinya ketika senja kembali merekah kan kupetik, kami hirup bersama pada kebahagiaan baru yang tak dinyana sebelumnya.

Senja selalu setia, pada sore itu senja tahu bagaimana bersikap menebarkan keindahannya dalam bahagia yang semakin sempurna. Aku percaya, Allah selalu menyiapkan senja terindah untuk manusia-manusia yang tak lupa jalan bersyukur. Jika terluka, hadapi saja karena kebahagiaan pasti akan hadir setelahnya. Hidup selalu menawarkan sepaket senja, di dalamnya ada suka dan duka. Semuanya berjalan beriringan. Ketika cakrawala mulai menebar biduk senja, berlabuhlah. Semua akan bermuara pada titik bahagia. Yakin saja bahagia itu ada waktunya.
Hingga kehidupan mulai senja dan beranjak malam, lalu semuanya gelap dan usai sepaket senja akan masih jadi warna utama. Kusiapkan secawan senja dipetik dari salah satu sisi paket senja, untukmu. Agar nantinya akan kita hirup aroma senja yang sama pada kehidupan yang semakin menua. Kularutkan rindu dalam cawan senja yang diambil dari sisi paket senja, untukmu. Supaya kelak mata kita menatap senja yang sama dibawah langit yang jingga. Untukmu, kupersembahkan sepaket senjaku.


Senja, 14 Januari 2015.

Mereka masih jadi ladang bahagiaku.  

Aliva Medy C. P, Sasmitha Arofa M, Renjana Dyahpastika A (dari kiri ke kanan)



Selamat Ulang Tahun Aldik Wahyu Ramadhan




Saya dan teman-teman Passmasa, meski ini bukan dunia saya tapi mereka membuat saya bahagia