Teruntuk yang terkasih, Tong.
Ini aku
Kau tinggalkan
Hempas bersama rindu
Hampa tanpa kamu
Hai
Tong, apa kabar? Kau masih hidup atau sudah pindah alam? Hidung kau berubah
jadi pesek kah? Kau masih suka jailin tukang sate yang lewat tengah malam di
taman kota? Tong, kau masih suka menjelma jadi monyet pencuri pisang di ladang
sebelah rumah? Ah, Tong aku masih dengan rindu yang sama sejak kau pergi. Pergi
dari aku, pergi dari kita Tong. Sejauh ini kau masih saja bisu. Sejak kau
pergi, aku jadi bodoh Tong. Hendak saja aku menampang fotomu dengan tulisan
besar “DICARI”. Aku masih berantakan Tong. Kau bilang akan menitipkan rindu
pada hujan. Haha kau jangan gila Tong, hujan saja tidak mampu membawa dirinya
bagaimana hendak membawa rindu?. Setiap kali hujan datang dan mampir di teras
rumah kita selalu kutanyakan adakah titipan rindu dari kekasihku, Tong? Mereka
acuh saja Tong, lalu untuk apa kau menitipkan rindu pada yang acuh? Kau juga
pernah bilang, senja bisa sekali membawakan rindu dalam jingganya. Sayangnya
senja tak mau bicara Tong, lalu sia-sia kau titipkan rindu pada kebisuan. Tong,
tolonglah berpikir panjang bila hendak menitipkan rindu. Jangan pergi seenak
kau mau. Aku ini hanya hidup denganmu, tiba-tiba saja aromamu tak pernah
menggelikan bulu hidungku. Tiba-tiba saja suaramu tak memenuhi gendang
telingaku. Semuanya serba tiba-tiba Tong. Aku belum siap, bahkan tak akan
pernah siap Tong. Sejak kau pergi aku miskin seketika, Tong. Bagaimana tidak?
kamu kan kekayaanku satu-satunya. Untungnya aku masih bisa hidup meskipun
setiap hari harus makan dengan rindu. Tong maumu itu apa? Menggeletakkan kebahagiaan
yang sudah kita bangun mati-matian. Jangan bodoh Tong, sekalipun aku biasa
bekerja keras mengangkat karung-karung beras di pasar tapi aku tak cukup kuat
untuk membangun kebahagiaan dengan sendiri begini. Tak lucu lah Tong, rumah
bahagia yang kita bangun itu baru separuh. Lalu kau biarkan saja begitu?
Menganga, menerima hujatan-hujatan luka akibat kau tinggalkan. Sudah separuh,
hampir roboh pula. Bangunan itu terlalu rapuh lah, Tong. Aku ini sudah miskin
malah kau buat makin miskin. Bosan Tong setiap hari makan nasi berlauk rindu,
sekali-kali lah kau pulang, mewarnai sarapanku hingga tak jadi sesunyi ini. Kau
kemana, Tong? Mulutmu itu kau museumkan kah? Pergi tak bilang-bilang, belum ada
persiapanku untuk kesepian begini. Tong,
aku lelah menangisi kesendirian ini saban hari. Remuklah aku, Tong, kau titipi
kenangan yang menyeret-nyeret langkahku untuk tetap tinggal di sini. Pulanglah
Tong, pintu rumah kita selalu menganga, siap menelanmu dengan berbagai rupa
kerinduan yang mahal. Bayar semua kesalahanmu Tong, cumbui rinduku. Jangan kau
pasung aku begini, hidup dalam ketidakpastian tanpa matamu dan sumpah serapahmu
yang romantis. Jangan sadis Tong, cepatlah pulang. Sebelum rumah kita usang,
dan aku tergeletak didalamnya lalu kukuburkan diriku sendiri dalam gundukan
kenangan yang kau ciptakan. Pulang Tong, Pulang!
*Tulisan ini diposting ulang dengan sedikit perubahan*
Catatan penulis : Terimakasih untuk yang sudah berkenan membaca. Akan sangat bahagia jika Anda berkenan meninggalkan saran dan komentar :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar