Saat aku hendak
menitipkan luka, pada burung-burung kertas yang kehilangan nyawa itu, kau
datang dengan sekeranjang rindu yang tiba-tiba kau sandarkan pada kepiluan
diantara kita. Ini terlalu berat untuk kubawa sendiri, untuk kujamah hingga ke
dasar keranjang, tanganku tak cukup kuat, tak cukup panjang. Tapi kau bersikeras
memintaku membawa keranjang rindu itu sendiri. Kau jahat. Masih dalam umpatan
yang sama kupegang erat keranjang itu, dengan seluruh ketangguhan rindu yang
kupunya kueratkan pegangan di keranjang besar. Kau tertawa, melihat peluh yang
tiba-tiba bercucuran hangat. Rindu itu tak bisa kuangkat sedikitpun, tapi kau
masih memaksaku mengangkatnya. Untuk apa kau bawakan aku rindu? Aku sudah punya
banyak rindu, di setiap jejak yang kita ciptakan, di butir-butir pasir yang
kita genggam, di tiap-tiap air mata. Rinduku terlalu banyak bahkan, sampai
kutitipkan pada bintang gemintang atau rinai hujan. Kadang kubiarkan rinduku
menjadi bekal berkicau si burung camar. Lalu kau datang dengan sekeranjang
rindu yang beratnya tiada terkira, untuk apa? Ketika kau pulang dengan mengulum
senyum dan bola mata berbinar-binar, aku masih terpaku pada tanya yang sama. Kupandangi
saja sekeranjang rindu itu. Kuperhatikan tiap lekuknya, indah. Lama kupandangi,
tiba-tiba ada selembar rindu yang jatuh. Kupungut perlahan, hangat. Seminggu berselang
kau datang lagi, dengan keranjang rindu (lagi). Setiap aku hendak menitipkan
luka pada burung-burung kertas itu kau selalu datang dengan keranjang-keranjang
rindumu—yang berat. Kau datang, dengan bola mata yang menyiratkan
pertanyaan-pertanyaan tentang hati, cinta atau kerinduan yang dalam.
Aku selalu bisu tentang
luka-luka, aku bisu tentang kesedihan atau air mata, tapi kau selalu tahu. Kedatanganmu
itu membuatku berfikir kau punya indera lebih dari lima, indera keenam. Seperti
yang banyak orang bicarakan. “Kau tak bisa berbohong padaku” ujarmu suatu
ketika sambil menyandarkan sekeranjang rindu baru disamping keranjang rindu
lain. Sekarang, keranjang rindu itu tak sedikit. Dan aku masih bisu tentang
lukaku, bisu tentang air mataku. Kau terus saja membawakan keranjang-keranjang
berisi rindu yang hangat itu. Keranjang itu masih terlalu berat untuk kubawa
sendiri, tapi kau membawanya dengan ringan lalu kau berikan padaku, untuk apa?
Suatu sore hujan
datang, rintiknya deras menciptakan melodi-melodi kepiluan. Sore itu, hujan
membasahi keranjang-keranjang rindu yang kau berikan itu. Aku takut, rindu itu
tak hangat lagi, tapi rindu itu terlalu berat untuk kubawa sendirian, dan kau
tak datang. Esoknya hujan-hujan itu datang lagi, mengolok-olokku. Membasahi rindumu
yang kau berikan padaku. Aku semakin takut, rindu itu makin tak hangat, dan kau
masih belum juga datang. Setiap hari hujan selalu datang, kurasa rindumu sudah
tak hangat lagi, harusnya kau bawakan aku keranjang rindu baru—yang hangat. Tapi
kau masih juga tak datang. Aku mulai merindukanmu. Kuputuskan menyimpan rinduku
dalam keranjang yang kupunya, lalu akan kuberikan padamu. Keranjang rindu
buatanku terlalu ringan, tak seperti buatanmu—berat. Dengan malu-malu,
kuberikan keranjang rindu itu. Sekarang kau juga punya keranjang rindu, seperti
yang kupunya. Tapi kau menolak menerimanya. Tanganmu menghampiri keranjang
rindu dariku, “Kita bawa berdua, menuju muara rindu”. Kuikuti saja maumu. Kita beriringan
menuju muara rindu seperti yang kau bilang. Sebuah senja dan hamparan ilalang—lanskap
yang kau ciptakan. “akan kita apakan rindu ini?” aku masih keheranan. Lalu kau
mengajakku beriringan, berjalan jauh lalu berhenti di sebuah tepian laut dengan
ombak ringan, dan angin-angin bersiulan. “biarkan rindumu hanyut, akan
kubiarkan rinduku hanyut, lalu rindu kita juga akan hanyut, disini”. Aku merasakan
kehangatan masuk ketubuhku, mengalir dalam setiap darah. Bahagia.
Sejak saat itu aku tahu
untuk apa kau bawa keranjang rindu yang berat itu padaku. Sekarang, setiap kau
bawakan rindu itu, kita akan berjalan beriringan membawa rindu berdua, lalu
menghanyutkannya di muara rindu. Selalu begitu, hingga aku lupa tentang luka
yang kutitipkan pada burung-burung kertas itu. Kau dan rindumu, seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar