Mengenai Saya

Foto saya
Segala sebab akibat perihal rindu. Selamat membaca! Semoga bermanfaat :) other social media: ig : https://www.instagram.com/sasmitha.arf/ id line :sasmitha06. See you soon!

Senin, 21 Agustus 2017

PARAU #3

Rinduku terus bermetamorfosa
Menganyam kisah sedih
Dari puing kenangan
Di tubuhku
Sisa pelukanmu kala itu


Pagi ini aku tidak menemukan Sri di pasar. Biasanya ia nampak lalu lalang di dalam pasar. Hilir mudik mengangkat karung-karung beras di warung Abah di ujung pasar, atau sekedar membantu ibu-ibu yang keberatan membawa belanjaan. Ia lakukan apa saja, asal ada yang bisa ia bantu pasti dengan cekatan Sri bertindak. Sri tak butuh uang banyak, asal bisa mengisi perutnya itu sudah cukup. Sebab yang ia butuhkan saat ini, hanyalah Tong. Harta berharga paling akhir dalam hidupnya. Sri sudah miskin, sejak Tong pergi maka jelas makin miskin jiwa raganya. Kurasa Sri adalah pemilik definisi kesedihan paling hakiki, tapi rupanya tidak sebab ia selalu punya senyum saban pagi, setiap hari, meski batinnya merintih. Semenjak Tong menghilang, fisik Sri menjadi lebih kuat walaupun kehilangan terus menginjak-injak batinnya.

Pukul 09.00 pasar hampir sepi, tinggal beberapa kios sembako yang  masih terlihat melayani pembeli. Pemilik Kios sayur, buah, dan ikan sudah bersiap meninggalkan pasar. Dagangan mereka hampir habis, kalaupun ada beberapa sayuran nampak tidak segar karena hampir siang. Kecuali warung nasi di pasar bagian depan, masih ramai sampai menjelang ashar. Tapi Sri belum juga menampakkan batang hidungnya. Mungkinkah Sri sakit? Massa rindu yang ia tampung mungkin terlalu berat. Tapi bukankah fisik Sri sangat kuat? Pun ia tak pernah telat makan barang sehari saja. Seberat apapun pilu yang ia tanggung masih mampu ia mengangkut beras puluhan karung. Bu Balok, pemilik warung nasi juga bertanya-tanya  mengapa Sri belum juga datang ke warungnya, biasanya Sri tak pernah terlambat sarapan dan makan siang.

Hampir pukul 10 kulihat Sri dari kejauhan, membawa beberapa kertas sambil mengusap peluh di dahinya. Matanya terlihat sembab, masih ada bekas kesedihan di sana. Kuhampiri Sri, ia nampak sangat kelelahan. Aku hendak bertanya namun urung kulakukan sebab kurasa Sri sedang teramat sedih, bukan waktunya untuk bertanya macam-macam. “Sudah makan?” hanya itu yang harus kutanyakan kepadanya saat ini, ia menggeleng. Kubantu Sri berjalan, ketika sampai di depan warung aku hendak berteriak memesankan makanan untuk Sri. Tapi rupanya Bu Balok sudah mengetahui kedatangan Sri yang tanpa disuruh langsung mengambil piring dan menyiapkan menu sarapan untuk Sri. Setelah sarapan Sri mengusap keringat di dahinya, sambal Bu Balok terlalu pedas tapi cocok untuk membangkitkan semangat. “Nikmat”, katanya. Rupanya Sri sudah lebih baik setelah makan. Bu Balok menghampiri kami yang duduk di dalam, tidak jauh dari tempatnya memasak. Bu Balok yang sangat baik hati memperbolehkan kami makan di dalam, tidak berdesakan dengan pembeli lain di bagian depan, “supaya makannya lebih leluasa”, katanya kepada kami sebulan lalu. Aku dan Sri adalah pembeli tetap Bu Balok setiap sarapan maka dari itu beliau memberi kami keistimewaan.

Warung sudah agak sepi, setengah jam lagi waktunya makan siang dan Bu Balok akan kembali kuwalahan melayani pembeli. Sesekali aku dan Sri membantu jika sedang tidak ada pekerjaan. “Kau dari mana saja, Sri?”, tanya Bu Balok tiba-tiba. Sri menghela napas, aku menanti jawabannya. “Ini, menempelkan selebaran di tiang-tiang kesedihan,” katanya “barangkali ada yang baru saja dari kota kemudian tidak sengaja bertemu Tong”. Aku menarik napas panjang, sedih mendengar kalimat Sri. Ia masih saja keras hati, berusaha mencari suaminya. Ternyata benar, Sri adalah definisi kesedihan yang hakiki. “Kok sampai siang begini?”, Bu Balok bertanya lagi. “Iya, kutempelkan sampai ke ujung kampung seberang. Semua orang harus tahu, kalau aku sangat kehilangan Tong”. Aku hampir menangis melihat Sri, tapi tidak mungkin kulakukan itu. Aku hanya diam menyaksikan kesedihan di balik wajah Sri.

Kemudian Sri bercerita, terlihat jelas bahwa ia berusaha menyembunyikan air mata. Katanya, semalam ia memimpikan Tong lagi. Ini sudah kali kesekian mimpi itu datang. Tapi Sri senang, sebab ia bisa bertemu dengan kekasihnya itu walau hanya sebatas mimpi. Dua bulan sejak Tong pergi, Sri tidur sendirian. Setiap hari sepulang dari pasar ia bersihkan rumahnya dari kenangan-kenangan bersama Tong. Sore harinya ia pergi ke laut, menghanyutkan surat yang ternyata tidak pernah sampai ke tengah laut. Pagi tadi Sri memutuskan menempelkan selebaran itu setelah sebulan lalu dibuatnya. Ditempelkannya pelan-pelan bersamaan dengan kenangan tentang Tong yang terus berlarian di kepalanya. Kesedihan terus mengiringinya sampai ujung kampung sebrang. Sri kembali ke kampungnya dengan tertatih-tatih. Disaksikan oleh orang-orang yang ikut bersedih tapi tidak tahu harus melakukan apa untuk membantunya. Tong benar-benar pergi tanpa satu pesan apapun. Tidak ada seorangpun yang menangkap basah kepergiannya. Jejaknya tidak sekalipun ditemui oleh seluruh warga kampung. Kepala kampung sesekali mendatangi rumah Sri, untuk memastikan kesehatan Sri sekaligus menanyakan perkembangan kabar Tong. Namun Sri selalu menyambutnya dengan isak tangis. Jika sudah begitu tidak ada yang bisa dilakukan oleh kepala kampung, selain pulang dan membiarkan Sri menikmati kesendiriannya. Di akhir ceritanya, Sri menangis. Ditumpahkannya segala kesedihan yang selama ini ia pendam. Bu Balok ikut menangis sambil mengaduk teh hangat untuk Sri. Suasana warung itu berubah menjadi mendung.

Sudah dua bulan Sri kehilangan, selama itu pula Sri berusaha menutup kesedihan. Tapi Sri tetaplah wanita berperasaan. Ia tetap keberatan jika harus menanggung rindu yang massanya tiap hari bertambah. Kebahagiaan yang ia bangun bertahun-tahun bersama Tong hilang begitu saja. Hidupnya kemudian berantakan, hatinya tersiksa, pikirannya carut marut tapi ia tetap tegar. Besok jika Tong belum juga datang dihadapan Sri, ia akan tetap sedih. Dan Sri akan kembali mengulang rutinitasnya. Menyulam senyum setiap pagi, bekerja keras hingga bercucuran keringat di pasar, petangnya ia kirimkan sajak-sajak kerinduan kepada Tong yang ia hanyutkan di lautan, sayangnya ia tidak pernah tahu bahwa sajak itu tidak pernah sampai. Sajak itu hanya berenang di bibir pantai yang kemudian dipungut Amron dengan bulir air mata. Sri tidak pernah sadar, diam-diam ada yang menginginkannya. Entah berapa lama kisah sedih ini  terus berulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar